EMANG BOLEH SEPUAS INI?
Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
“Ayo main tebakan! Yang akan dihidangkan ini sesuai pesanan atau tidak?” tanyaku seketika kepada istri dan kedua anakku. Pagi itu memang sedang ramai sekali. Penuh pengunjung. Semua ingin menikmati enaknya soto ayam yang cukup terkenal. Nama kedainya Soto Ayam Manchester United. Di area Taman Pinang Sidoarjo. Kami berempat sedang berada di kedai soto itu. Karena ramai sekali, semua pengunjung mengantre. Kali ini antrenya agak lama. Panjang gilirannya. Ramainya pengunjung menjadi penyebabnya. Dan, tebakan di atas pun ku munculkan untuk menguji kesesuaian paket menu soto yang datang dan pesanan yang ku sampaikan sebelumnya.
Mendengar pertanyaan tebakanku di atas, isteriku menyahut, “Emangnya kenapa, Ayah? Nggak percaya sama pelayan soto itu?” “Bukan nggak percaya,” jawabku. “Hanya, melihat pengunjung yang begitu banyak, dan makanan pesanan kita pun belum datang dalam waktu yang agak lama, saya khawatir pelayan itu lupa ragam pesanan kita.” Begitu tambahan jawabanku kala itu. Sebab, kebetulan, kami berempat sedang memesan empat porsi soto ayam dalam dua ragam paket menu. “Saya kurang yakin saja. Saat kondisi antre giliran panjang begini, jika pelayan itu datang dengan empat porsi saja sudah bagus. Tak berharap jenis paket soto persis sesuai pesanan.” Demikian ku sampaikan lebih lanjut kekhawatiranku itu.
Anak lelakiku yang duduk persis di sebelah depanku lalu mengungkapkan pendapatnya. Dia berujar begini: “Pelayan tadi salah juga sih. Dia nggak mencatat pesanan dalam kertas. Dia cuma mengandalkan ingatan saja. Sebab, dia tadi hanya mengangguk begitu saja saat kita memesan empat porsi soto dalam dua ragam menu itu.” Mendengar anak remajaku berpendapat begitu, hatiku pun senang di pagi Hari Minggu (25 Februari 2024) itu. Anak lelakiku yang masih duduk kelas 9 pun sudah berkenan menyampaikan pikirannya. Membuat catatan kritisnya. Bahkan juga mengungkapkan ide kritisnya itu saat harus menganalisis cara kerja pelayan kedai soto ayam yang handal itu.
Setelah ku menunggu lebih dari tiga putaran layanan untuk kelompok pengunjung lain, soto pesanan kami pun akhirnya datang. Pelayan itu lalu menyodorkan empat porsi soto pesanan kami seraya berkata: “Ini ya, pesanannya empat porsi. Tiga porsi dengan paket daging ayam plus kulitnya, dan satu porsi hanya daging ayam saja.” Kami berempat pun terkesima. Saling pandang satu sama lain. Lalu tertawa kecil. “Eh pelayan ini keren; yang didatangkan sesuai pesanan!’ komentarku. “Makanya, Ayah jangan underestimate ke pelayan,” ujar isteriku kepadaku sesaat seusai pelayan itu beralih kembali ke bagian depan kedai untuk mempersiapkan pesanan makanan soto untuk pengunjung lainnya.
“Bukan underestimate. Namun melihat banyaknya pengunjung beserta pesanannya, Ayah tadi sempat pesimis bahwa pesanan yang akan datang sesuai order awal. Karena pelayan tidak mencatat pesanan kita di kertas.” Begitu kataku kala itu kepada isteriku. Aku memang sempat ragu karena pesanan tidak dicatat. Nunggu datangnya pesanan pun cukup lama. Karena yang ngantre sangat banyak. Pesanannya pun pasti macam-macam. Tak sama satu sama lainnya. Kekhawatiran atas kesalahan layanan akhirnya musnah begitu saja saat pelayan itu datang dengan primanya. Membawa serta soto pesanan sesuai keinginan kami bersama.
Foto: Kedai Soto Ayam Manchester United di Sidoarjo dari Sisi Dalam
Intinya, pesanan soto yang datang ke kami berempat persis seperti yang kami order di awal. Tak ada yang salah. Tak ada yang meleset. Padahal pelayan itu tidak membuat catatan apapun atas pesanan. Tak ada kertas pesanan yang dia bawa serta. Dia hanya mengandalkan ingatan saja. Dan dia pun terlihat mondar-mandir melayani setiap pengunjung yang datang. Tentu dengan selera dan menu yang diinginkan. Oleh masing-masingnya. Tapi, faktanya, dia pun tak salah. Pesanan datang persis seperti yang direncanakan. Persis seperti yang dipesan. Padahal tugasnya bejibun. Ya melayani pemesanan makanan-minuman! Ya mengantarkan pesanan itu saat sudah siap!
Tapi, yang istimewa, pelayan tadi melakukan semua pekerjaan itu dengan luar biasa. Dalam kinerja prima. Dan hebatnya lagi, dia tampak mengingat betul, siapa di antara kami berempat yang memesan soto dengan paket tertentu. Siapa yang memesan soto dengan paket daging ayam plus kulit, atau hanya daging ayam saja. Seakan dia hafal sekali. Begitu kesanku saat itu. Cara kerjanya membanggakan. Mutu layanannya juga sangat mengagumkan. Kami berempat pun akhirnya tertegun puas. Betul! Kami berempat pun puas dibuatnya. Hingga kami menyantap soto ayam itu dengan nikmatnya.
Sobat,
Belajar bisa pada siapa saja. Belajar juga bisa pada jenis pekerjaan apa saja. Pula, belajar bisa kapan saja. Jika sekolah membuat murid memiliki guru sebagai pengajar, belajar tidak berbatas itu. Jika sekolah ada batas waktunya, belajar tidak. Jika sekolah ada area khususnya, belajar tidak. Sekolah, intinya, memiliki sejumlah pembatasan dan kekhususan. Belajar, tidak. Itulah perbedaan esensial antara sekolah (schooling) dan belajar (learning). Buku karya Lyn Lesch berjudul Learning Not Schooling: Reimagining the Purpose of Education (2009) mengafirmasi hal ini. Intinya, belajar bisa pada siapa saja yang dapat memungkinkan refleksi sebagai proses pembelajaran yang bisa dilakukan. Termasuk kepada pelayan kedai soto ayam yang semakin terkenal itu.
Tentu, kita pun perlu mengambil pelajaran penting. Dari pelayan soto yang hebat itu. Pelajaran pertama, bahwa jaminan mutu itu perlu ditampakkan. Perlu dipertunjukkan. Sejak awal sekali. Biar orang melihat. Biar orang mendengar. Dan biar orang mencatatnya. Sehebat apapun kualitas kerja, jaminan mutu itu harus diperlihatkan kepada konsumen sedari dini. Sehebat apapun pola kerja pegawai, tetap saja bahwa mempertunjukkan isyarat mutu sejak dini penting dilakukan. Pelayan kedai soto di atas bekerja dengan kinerja prima. Tapi, karena tidak ada proses pencatatan saat ada pesanan, dia pun mengandalkan daya ingatnya. Dan, praktik itu membuat pengunjung yang bukan konsumen rutin-fanatik sepertiku jadi ragu di awal. Walaupun keraguan langsung musnah saat layanan riilnya kemudian terbukti keren.
Di situlah, semua penting direncanakan. Ukurannya sederhana. Ditulis. Petunjuk teknisnya begini: tulislah apa yang ingin engkau lakukan. Jangan disimpan semata hanya dalam ingatan. Apalagi jika yang ingin engkau lakukan itu mewakili keinginan lembaga. Tentu keharusan untuk menuliskannya lebih besar. Karena keinginan lembaga terwakili dalam dirimu. Maka, engkau sejatinya adalah duta dari lembaga. Sebagai duta, maka apa yang sedang menjadi kehendak lembaga terefleksikan dalam dirimu. Menuliskannya adalah bagian dari langkah awal untuk merepresentasikan kemauan lembaga ke publik lebih luas. Agar publik dapat merasa yakin terhadap mutu layanan dari awal.
Jadi, sederhananya, merencanakan (planning) itu menuliskan keinginan dalam lembar catatan. Bukan semata mendata dalam ingatan. Sebab, mutu utama sudah dimulai sejak dalam perencanaan. Karena, perencanaan itu harus terdokumentasikan. Bukan dalam ingatan. Ada dokumen mutu yang bisa dibaca dan ditelaah oleh siapa saja. Dengan begitu, siapapun akan menjadikan dokumen mutu itu sebagai titik rujukan utama. Dalam proses apa saja. Lebih-lebih dalam pelaksanaan. Sebab, setiap langkah penyelenggaraan layanan harus bisa dijaminmutukan. Tak bisa hanya nggelundung semprong, kata Orang Jawa. Business as usual, kata orang Barat.
Bahkan bagi perguruan tinggi, akreditasi pun merupakan proses yang seharusnya menyatu (embedded) dan mengikat setiap pekerjaan penjaminmutuan diri. Informasi soal akreditasi, karena itu, penting menjadi kesadaran perguruan tinggi. Suka atau tidak suka, akreditasi itu bermakna besar. Bahkan bisa saja segalanya. Sebab core business perguruan tinggi adalah layanan akademik. Akreditasi itu bagian dari jaminan layanan pendidikan prima. Apakah itu akreditasi program studi, ataukah institusi perguruan tinggi. Sama saja pentingnya. Sama saja berartinya. Lebih-lebih saat tagihan mutu pada rubrik penilaian akreditasi semakin lama semakin menantang. Untuk tidak mengatakan makin rumit.
Saat akreditasi sudah unggul, itu jaminan bahwa semua layanan di dalamnya terkonfirmasi unggul pula. Di sinilah perguruan penting memberikan atensi. Tak ada artinya infrastruktur fisik yang mewah jika akreditasi berantakan. Tak ada mulianya kampus saat akreditasi tak pernah jadi perhatian. Di situlah perencanaan menjadi kata kunci awal. Semua proses perencanaan harus sudah diiringi dengan komitmen mutu. Baru disempurnakan dalam implementasi. Walaupun implementasi yang baik mesti diawali oleh perencanaan yang mapan dulu. Lalu, semua proses pelaksanaan disempurnakan dengan pemantauan dan evaluasi yang utama pula. Jika rangkaian perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan-evaluasi terjaga dengan baik, maka status ungul dalam akreditasi hanya soal waktu semata.
Perangkingan perguruan tinggi juga serupa. Orang boleh jengah dengan urusan ini. Tapi, di era yang menjadikan mutu sebagai standar layanan, perangkingan adalah panggung depan dari jaminan layanan pendidikan. Memang, lembaga penilai rangking perguruan tinggi banyak ragamnya. Tapi semua semangat dan rujukan utamanya sama: jaminan mutu atas kinerja lembaga. Indikator memang tidak persis sama. Tapi fokus masing-masingnya tetap merujuk kepada prestasi dalam penyelenggaraan tridharma. Dan, perangkingan adalah bagian dari bentuk rekognisi untuk capaian penyelenggaraan tridharma yang mulia.
Kita pun juga bisa memetik pelajaran kedua dari pelayanan soto di kedai Soto Manchester United di atas. Yakni, bahwa setiap lembaga layanan tak boleh mengesampingkan peran pelaksana layanan garda depan (frontliners). Mungkin pemilik kedai soto itu sudah yakin dengan kemampuan pemberian layanan oleh seorang pegawai di atas. Itu bisa saja dasarnya adalah pengalaman. Selama ini pegawai kedai soto itu mungkin sudah terbukti top dalam penerimaan pesanan dan sekaligus pemberian layanan. Hingga pemilik kedai itu pun tak pernah ragu atas mutu layanan yang diberikan oleh pegawainya itu. Namun, tetap saja bahwa dibutuhkan pelembagaan mutu layanan secara berkesinambungan. Plus berbasis sistem layanan yang terlembaga pula.
Salah satu dari rangkaian sistem layanan dimaksud adalah keberadaan pelaksana garda depan layanan. Bisa saja SOP pemberian layanan sudah dibuat oleh lembaga. Standar bisa saja telah dideklarasikan. Semua disadari penting untuk diselenggarakan dengan mutu yang tinggi. Tapi, semua akan terasa sirna saat pelaksana teknis garda depan tak pernah diopeni. Tak pernah diedukasi. Tak pernah dipastikan mutu kerja diri. Sebab, sebaik apapun dokumen standar mutu layanan, semua akan berantakan jika cara kerja pelaksana teknis garda depan acak-acakan. Ujungnya, kepuasan konsumen pun tak akan pernah bisa dirasakan. Akhirnya, komplain atas layanan pun semakin sempurna oleh kekecewaan.
Don’t let me down. Jangan bikin ku kecewa. Itu memang prinsip yang mulia. Hanya saja, prinsip ini tak terbatas pada urusan individu semata. Melainkan juga berlaku untuk persoalan penjaminan mutu lembaga sesuai yang didamba. Untuk semua urusan pekerjaan. Apapun jenis dan skala yang ditentukan. Karena itu, prinsip don’t let me down harus diterjemahkan ke dalam praktik penjaminan mutu yang terukur dan diidamkan. Jangan beri ruang keraguan sekecil apapun pada diri pengguna layanan. Apalagi di awal pertemuan. Atau di awal pelaksanaan pemberian layanan. Seperti dalam kisah pelayan kedai Soto Manchester United yang sebelumnya diuraikan. Tetap saja di awal dia sempat meninggalkan keraguan. Pada diri pengunjung atas jaminan mutu layanan yang diberikan. Meskipun pada akhirnya dia datang dengan keterpenuhan kepuasan pelanggan.
Pelayan soto pada kedai Soto Manchester United di atas mungkin hanya lulusan SMA. Atau malah di bawahnya. Tapi kemuliaan di balik kinerjanya tetap saja sebuah keutamaan yang patut diasup oleh setiap kita. Termasuk oleh manajemen perguruan tinggi mana saja. Betapa memuaskan pengguna itu hal utama. Mengingat dan menerjemahkan pesanan ke dalam layanan prima adalah strateginya. Dalam layanan kuliner, memesan makanan sama dengan berharap. Memenuhi pesanan sama dengan kenyataan. Bertemunya harapan dan kenyataan adalah kepuasan.
Maka, setiap penyelenggara layanan harus mampu menjadikan kepuasan sebagai fokus perhatian. Hilangkan keraguan. Enyahkan kekhawatiran. Ganti dengan jaminan kepuasan. Pastikan kepuasan diutamakan. Hingga setiap pengguna pun akan segera bilang: “Emang boleh sepuas ini?” Dan soal jaminan kepuasan ini, manajemen perguruan tinggi pun tak boleh ketinggalan.