Berita

Pada Kamis (19/09), antusiasme mahasiswa dan dosen FISIP memenuhi Amphitheater lantai 9 sejak pagi. Sejak pukul 08.00 WIB, sebagian besar kursi telah terisi oleh peserta yang tak ingin melewatkan kesempatan langka ini. Kuliah tamu yang mengusung tema “Religious Moderation and Indonesia’s Religious Diplomacy” ini tidak hanya menarik mahasiswa, tetapi juga dosen, meski harus mengorbankan jadwal beberapa mata kuliah reguler.

Pukul 09.34 WIB, Prof. Greg Fealy, seorang pakar dari Australian National University (ANU), memulai presentasinya dengan penuh kehangatan. Sebelumnya, acara dibuka dengan serangkaian pidato, dimulai dari MC, pembacaan doa oleh Bapak Zaky Ismail, serta pidato sambutan dari Prof. Dr. Abdul Chalik dan Rektor UINSA, Prof. Akh. Muzakki M.Ag. Pada pidato penyambutan yang disampaikan Rektor UINSA, beliau menceritakan bahwa Prof. Greg merupakan gurunya saat beliau menempuh pendidikan di Australian National University (ANU). Beberapa hari sebelumnya UINSA melakukan kolaborasi pengabdian masyarakat dalam hibah Penelitian Kelompok Mahasiswa (PKM) dengan ANU. Atas dasar kolaborasi tersebut, Prof. Greg dan Prof. Edward sebagai wakil konsultan dari ANU akan berada di Indonesia mulai tanggal 15-27. Mereka juga akan mengunjungi tiga wilayah berbeda di Jawa Timur. Namun, karena terdapat suatu halangan, Prof. Edward batal terbang ke Indonesia dan menjadikan Prof. Greg sebagai salah satu konsultan dari ANU. Di tengah padatnya jadwal yang dimiliki, Prof. Akh. Muzakki mencoba mencari celah waktu dan meminta Prof. Greg menjadi pemateri dalam kuliah tamu. Penjelasan tersebut didapat dari hasil wawancara kami bersama Miss Ajeng Widya yang bertepatan menjadi moderator perkuliahan ini.

Materi yang dibawakan oleh Prof. Greg berpusat pada pentingnya moderasi beragama, topik yang sangat relevan di Indonesia. Diskusi semakin menarik ketika salah satu peserta, Kautsar, mengajukan pertanyaan mengenai batasan dalam moderasi beragama. Prof. Greg menjawab dengan bijak, menekankan bahwa moderasi tidak memiliki satu definisi tunggal dan aplikasinya bergantung pada konteks lokal. Sebagai contoh, ia menyebutkan keberadaan Masjid Agung Al-Akbar Surabaya yang berdampingan dengan Gereja Katolik Paroki sebagai wujud harmoni antar-umat beragama di Indonesia. Di Australia, moderasi beragama terlihat dari bagaimana masyarakatnya menghormati komunitas LGBT, sebuah realitas yang mungkin sulit diterapkan di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa moderasi beragama adalah konsep yang dinamis, menyesuaikan dengan adat istiadat dan budaya setempat.

Prof. Greg menutup sesi dengan satu pesan yang kuat: “Living in Peace and Harmony,” sebuah pernyataan yang mengingatkan bahwa inti dari moderasi beragama adalah terciptanya kedamaian dan harmoni dalam keberagaman. (KZ, SDR, ZMRA/repost lpmparlemen)