Articles

Akhir pekan lalu, penulis berkesempatan ikut takziah ke Malang. Mengantar istri dan ibu mertua menyampaikan duka cita ke kediaman seorang kerabat yang ditinggal oleh istrinya. Beliau bercerita tentang belahan hatinya yang telah sakit sejak delapan tahun lalu. Tentang perjalanan dan perjuangannya berikhtiar untuk mendapatkan kesembuhan. Siapapun yang mendengarnya pasti akan berkesimpulan, betapa tidak mudahnya memelihara kesabaran dan ketabahan. Tak semua orang akan bisa bertahan jika berada dalam situasi yang sama seperti yang dihadapi oleh salah satu guru besar Universitas Brawijaya ini. Tetapi mereka berdua tampaknya telah purna berhasil melewati ujian hidup itu, meskipun harus berakhir dengan perpisahan di pelukan takdir: sang istri berpulang ke haribaan Ilahi karena kanker yang diidapnya.

Sepulang dari rumah duka, istri dan ibu mertua seolah sempat mengalami dejavu dengan penggalan cerita yang barusan didengarnya. Momen-momen di mana seseorang yang tengah mengalami sakit yang berat bisa diliputi suasana psikologis tertentu yang menjadikannya merasa marah dengan orang-orang di sekitarnya. Terutama dengan orang yang justru selama ini menaruh perhatian dan membersamainya secara dekat. Adakalanya juga ia bisa merasa begitu sedih dan tidak berdaya, hingga merasa diabaikan, tidak dicintai lagi, atau tidak diurus lagi secara patut dan semestinya. Suatu fenomena psikologis yang bisa kita kenali dalam teori Stages of Grief-nya Elisabeth Kübler-Ross, yang mencakup lima gejala berupa penyangkalan (denial), marah (anger), menawar (bargaining), depresi (depression), dan penerimaan (acceptance). Istri dan ibu mertua bercerita bagaimana dulu ketika bapak mertua di masa sakitnya yang sudah menahun pun sempat beberapa kali menunjukkan gejala serupa.

Di titik psikologis semacam itu, terkadang nasehat kesabaran dari orang tercinta atau orang yang dipandang sebagai ulama, seolah tak lagi memiliki tuah. “Enak nek ngomong, coba’ ngalami dewe!” Ungkapan yang mungkin bisa juga kita dengar dari orang yang sudah bertahun-tahun mengalami kepedihan, kesempitan, atau apapun nama dan bentuknya dari beban-beban berat kehidupan. Seperti orang yang sudah sakit kronis sekian lama dinasehati agar bersabar oleh seseorang yang belum pernah mengalami sakit serupa. Atau seperti orang yang sudah hidup susah secara ekonomi sekian lama dinasehati agar bersabar oleh agamawan yang kehidupannya justru diliputi serba kemudahan atau bahkan kemewahan. “Gampang nek ngomong, coba’ ngalami dewe!” Ibarat percikan api yang tetiba letup ketika setetes air jatuh di tungku besar api yang sudah menghanguskan dan mengarangkan tumpukan hari-hari hidupnya yang tidak mudah. Ironisnya, orang-orang tercinta yang sudah turut berjuang di sisinya, menemaninya untuk tetap tegar dan tak menyerah, jika terkena percikan itu pun tak jarang harus buncah airmatanya. Seolah apa yang telah mereka lakukan selama ini masih saja kurang, tidak berarti, tidak diapresiasi. Jika hal ini tidak diinsyafi, kedukaan (grief) benar-benar bisa menjadi lingkaran resiko psikis yang berbahaya. Tidak saja bagi yang bersangkutan, tetapi juga orang-orang yang berada di sekitarnya. Hasil riset tentang Efek Janda (the Widowhood Effect), yakni seseorang yang baru kehilangan pasangan hidupnya, bisa menjadi bukti ilmiah bahwa kedukaan memang mampu menimbulkan dampak negatif, tidak saja secara psikis, tetapi juga fisiologis dan sosial.

Fenomena ‘kedukaan’ semacam ini tak mustahil berimbas ke dunia pendidikan. Karena pendidikan pada dasarnya berisi interaksi antar manusia yang tak pernah lepas dari dimensi psikisnya. Di kampus misalnya, ‘kedukaan’ yang dialami dosen dan mahasiswa juga bisa terbawa dalam keseharian mereka. Bahkan, mahasiswa bisa mengalami persoalan akademis karena kehilangan dukungan sosial setelah kematian orang yang dicintainya. Situasi ini tentu berpeluang kian memburuk jika berkelindan dengan adanya kondisi ketidakpuasan terhadap kegiatan atau layanan yang ada di kampus (academic grievance) maupun kondisi kelelahan akibat tekanan akademis (academic burnout). Pada situasi demikian, entah dosen atau mahasiswa, yang menjumpai gejala ‘kedukaan’ itu tengah mempengaruhi psikis koleganya, sikap ‘menggurui’ atau ‘sok tahu’ yang akrab menggoda para pebelajar, hendaknya diinsyafi. Kata-kata menasehati seringkali bukanlah yang diharapkan. Justru yang mereka butuhkan bisa jadi adalah diam. Mereka hanya butuh ditemani. Dibersamai. Didengarkan ceritanya. Sembari dibantu semampu yang bisa dilakukan sesuai yang mereka inginkan.

Kisah abadi berikut ini adalah cermin pelajaran. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam rutin mendatangi seorang Yahudi buta dan miskin di sebuah sudut pasar Madinah. Beliau datang bukan untuk menceramahinya. Beliau datang bukan untuk menasehatinya. Beliau datang hanya untuk mendengar kesahnya dengan antusias. Meski keluhannya seringkali hanya berisi ‘percikan-percikan api’ berupa cacian dan makian penuh fitnah tentang pribadi beliau. Tetapi tetap saja, beliau masih meluangkan waktunya untuk menyuapi pengemis buta tersebut dengan makanan penuh kelembutan. Beliau membersamainya, seseorang yang tengah menanggung beban-berat hidup (entah karena kondisi fisik atau sosialnya), tanpa berlaku menggurui (meski beliau adalah guru terbaik) kala itu. Beliau menemaninya, seseorang yang tengah menanggung beban-berat psikis (karena kebenciannya kepada sosok Rasul akhir zaman), tanpa berlaku sok tahu (meski beliau adalah manusia paling berpengatahuan) saat itu.

Tiba di kampus pagi ini, mendekati kaca bening yang memantulkan bayangan siapapun yang menghampiri, membuat penulis jadi teringat efek janda: Ah, ndak mungkin!

lelaki itu tak pernah lagi menulis puisi
bukan karena tak mampu menyusun rima saat mentari menandai pagi
atau sebab mimpi yang tetiba hilang dari ingatan saat malam pergi
tetapi …

________
Ditulis oleh Nyong Eka Teguh Iman Santosa, Dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam FAH UIN Sunan Ampel Surabaya (Email: nyongeka@uinsa.ac.id)