DELAYED VS TIMELY PERFORMANCE
Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
Seorang teman pejabat bertanya, “Mengapa Anda sering mengatakan, saya tidak tahu apakah minggu depan masih jadi rektor?” Juga, dia tanya lagi, apa maksud pernyataanku di lain kesempatan: “Saya juga tidak tahu apakah bulan depan masih jadi rektor?” Aku pun bertanya balik, “Memang kenapa?” Sang teman itu pun menimpali, “Karena ada beberapa orang menganggap bahwa akan ada sesuatu yang bakal terjadi dalam waktu dekat dengan jabatan Anda.” “Maksudnya?” sergahku buru-buru. “Jangan-jangan Anda mau pergi?,” begitu jawab sahabatku itu sambil menjelaskan bahwa kata “pergi” di sini maksudnya adalah meninggalkan jabatan. “Ha? Oh gitu ya?” sahutku kontan. Kami pun saling pandang. Lalu pecahlah tawa di antara kami. Pecah sekali. Lalu kami berdua ngobrol kesana-kemari. Dengan penuh santai sekali.
Aku pun makin yakin. Setiap ucapan pemimpin akan dianggap sebuah kebijakan. Jangankan tindakan, ucapannya saja akan diperhatikan banyak orang. Bahkan, mimik wajah dan gestur tubuh saja akan selalu dipantau orang. Aku pun sadar sesadar-sadarnya. Berulang kali memang dalam sejumlah kesempatan, aku kerap menyampaikan pernyataan ini: “Mari kita tunaikan amanah jabatan ini dengan baik. Karena kita tidak pernah tahu apa yang terjadi dengan hari esok. Saya pun juga tidak tahu, apakah minggu depan saya masih jadi rektor. Pun saya tidak tahu, apakah bulan depan saya masih menjadi rektor.”
Kami berdua pun mengingat-ingat kembali pernyataan yang sering kulepaskan dalam sejumlah kesempatan briefing jabatan itu. “Nah, pernyataan Anda itu yang bikin misteri?” begitu sergah temanku itu sambil bertanya-tanya dalam hatinya apa maksudku dengan pernyataan itu. Dan begitu ada kesempatan ngobrol santai, diungkapkanlah isi hati itu kepadaku. Sambil memintaku untuk menjelaskan apa maksud statement yang berulang-ulang kusampaikan kepada pejabat internal kampus. Kami berdua sangat menikmati obrolan ringan nan menyenangkan kala itu. Membincang perihal yang serius tapi dengan penuh santai begitu. Gelak tawa kerap menyela perbincangan ini dan itu. Pertanda seru dan kadang lucu.
“Ingatkah nasehat popular ini: “I’mal li akhiratika ka annaka tamutu ghadan?” Begitu kataku kepada temanku itu untuk mengawali penjelasanku. Aku memang sangat terinspirasi oleh nasehat mulia ini. Kuterpesona banget oleh nasehat itu. Kutermotivasi sekali oleh nasehat bijak itu. Isi nasehat itu, bagiku, adalah untaian hikmah yang tak boleh dihafal semata. Apalagi hanya dibaca. Untaian hikmah tersebut merupakan bagian dari nasehat dalam kalimat utuh berikut ini: I’mal li dunyaka ka annaka ta’isyu abadan; wa i’mal li akhiratika ka annaka tamutu ghadan. Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya; dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau mati besok. Substansi yang dikandung sangat dalam untuk penunaian tugas jabatan.
Bagiku, untaian-untaian nasehat mulia di atas adalah mutiara. Berharga mahal. Bukan saja untuk urusan yang berkaitan dengan ritual ibadah semata. Bukan. Tidak. Sama sekali tidak. Sama sekali bukan. Nasehat mulia itu bisa dijadikan sebagai prinsip dasar dan nilai kerja. Untuk penunaian amanah dan jabatan apapun yang diberikan kepada kita. Rasanya nggak perlu lagi terlibat dalam pembahasan mengenai status nasehat mulia di atas. Apakah hadits betulan. Atau hadits dla’if. “Hadits buatan” oleh orang lain selain Nabi Muhammad SAW. Yang lebih penting justeru menjadikan isi nasehat di atas sebagai salah satu nilai kerja (work value). Untuk penunaian amanah jabatan. Atau tugas dan tanggung jawab pekerjaan. Itu karena, isi nasehat itu sangat bagus. Muatannya mulia. Akupun terpesona.
Dan, aku pun ingin membuktikan bahwa manajemen modern dan nilai tradisional Islam itu sejalan. Berseiring. Bahkan, dalam banyak hal, justeru cara kerjaku kuakui banyak diinspirasi oleh nilai-nilai tradisional Islam, seperti di antaranya yang ada dalam teks-teks normatifnya. Salah satunya adalah nilai yang dikandung oleh teks i’mal li akhiratika ka annaka tamutu ghadan di atas. Itu yang juga ingin kukatakan pada sahabatku yang sore itu sedang ngobrol santai bersamaku. Aku tahu, aku baca, dan aku mengerti manajemen modern. Tapi, nilai tradisional Islam yang sejak kecil kubaca dan bahkan kuhafal menjadi energi penggerak (driving force) bagi diriku dalam menunaikan tugas dan amanah jabatan secara maksimal.
Ibadah memang bukan hanya shalat. Juga tidak terbatas puasa, zakat dan haji. Semua kegiatan sehari-hari juga bisa menjadi ibadah. Walaupun bisa juga tidak sama sekali. Lalu, apa yang membedakan? Apa yang menentukan nilai perbedaan keduanya? Niat. Ya, niat. Bahasa teknisnya, motivasi. Aku pun memperkuat nilai dasar dalam diriku. “Shalat dan puasamu mungkin tidak sempurna. Ibadah lainmu juga mungkin serupa. Apalagi, masih banyak keinginanmu untuk dilihat orang lain. Ingin dipuji orang lain. Lalu, apa yang kau bisa jadikan sebagai faktor pemberat harapanmu untuk bisa masuk surga?” Demikian yang selalu kudoktrinkan ke diriku. Lalu, kukatakan pada diriku: “Amanah jabatan adalah jawabannya. Ya, salah satunya. Dari sekian banyak yang ada.”
Maka, aku pun berharap amanah jabatan bisa mengantarkanku ke surga-Nya. Begitu yang kerap kutanamkan kepada diriku sendiri yang jauh dari sempurna. Penting kusadari, amanah jabatan adalah urusan publik. Baiknya urusan umat dan bangsa sangat ditentukan oleh bagaimana urusan publik itu dikelola. Saat pengelolaannya baik, maka baik pula ruang publik. Dan berikutnya, otomatis baik pula urusan umat dan bangsa secara lebih luas. Karena itulah, amanah jabatan harus ditunaikan. Dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai main-main dengan amanah jabatan. Begitulah keyakinanku yang sekaligus menjadi doktrin internalku.
Untuk mengikat kuat pikiran dan tindakan pada kewajiban penunaian amanah jabatan, penting dibangun mental baru: pekerjaan dan amanah jabatan adalah ladang akhirat. Bukan urusan duniawi semata. Maka, teks i’mal li akhiratika ka annaka tamutu ghadan penting menjadi nilai kerja. Kata akhiratika (akhiratmu) bisa pula untuk konteks hidup profesional diganti dengan kata mihnatika (profesimu) atau syakilatika (jabatanmu). Detil penjelasannya bisa dijumpai di bagian bawah. Tapi pesannya tunggal: Jabatan adalah akhiratmu. Jangan abaikan akhiratmu. Jangan abaikan tugas jabatanmu. Karena, menunaikan jabatan dengan baik sama dengan berinvestasi untuk akhirat. Saat investasinya besar, maka akhirat akan hadir dan memberi banyak syafaat. Saat abai atas investasi, saat itu pula bisa segera disimpulkan bahwa nasib dan masa depan di akhirat bisa sekarat.
Karena itu, jika i’mal li akhiratika ka annaka tamutu ghadan bermakna “bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau mati besok”, maka saat jabatan engkau maknai juga dengan penentu akhiratmu, nilai kerja yang mulia juga akan muncul. Di antaranya begini: i’mal li mihnatika ka annaka tamutu ghadan. Bekerjalah untuk profesimu seakan-akan engkau mati besok. Lakukanlah tugas profesimu seakan-akan engkau mati besok. Juga, i’mal li syakilatika ka annaka tamutu ghadan. Bekerjalah untuk jabatanmu seakan-akan engkau mati besok. Tunaikanlah tugas jabatanmu seakan-akan engkau mati besok.
Karena itu, ajaran i’mal li akhiratika ka annaka tamutu ghadan itu mengajarkan nilai timely performance dalam pengalaman hidup masyarakat modern. Ya, kinerja tepat waktu. Manajemen modern sangat memperhatikan betul nilai timely performance sebagai pembangun kinerja prima dalam bekerja. Maka, sebetulnya, Muslim yang baik adalah mereka yang selalu bekerja dalam kinerja tepat waktu. Kinerja langsung, segera, dan disegerakan. Mengapa? Karena nilai dasar dalam khazanah Islam yang sudah lama dihafal dan diajarkan menghendaki agar tak menunda-nunda pekerjaan. Tak menunda-nunda kinerja. Karena menunda pekerjaan sama dengan menunda kinerja. Kinerja terganggu oleh kebiasaan menunda-nunda pekerjaan. Kalimat ka annaka tamutu ghadan dalam nasehat Islam di atas menandakan pentingnya penyegeraan dan maksimalisasi pekerjaan untuk kinerja yang prima.
Orang modern sangat menghitung betul prinsip timeliness of performance. Ketepatan waktu bekerja. Dan itu berarti dibutuhkan penyegeraan. Tanpa ada aksi tunda-menunda. Karena kinerja ditentukan oleh ketepatan dan kualitas kerja. Karena itu, praktik delayed performance atau kinerja yang tertunda sangat tidak dikehendaki dalam manajemen modern. Yang diinginkan adalah timely performance atau kinerja tepat waktu. Maka, ketika aku mengajak diriku dan tentu teman-teman di bawah kepemimpinanku untuk menunaikan amanah jabatan dengan baik, kepentingannya adalah untuk mewujudkan timely performance. Dasarku adalah semangat yang diajarkan oleh untaian mutiara i’mal li akhiratika ka annaka tamutu ghadan di atas.
Untuk menjaga kuat prinsip timeliness of performance dalam bekerja, aku pun merasa butuh pengingat. Butuh reminder. Maka, diksi kematian dan ketidakmampuan melihat hari esok adalah bagian saja dari pengingat untuk bekerja maksimal. Sebagai contoh, kalimatku “karena kita tidak pernah tahu apa yang terjadi dengan hari esok” atau “saya pun juga tidak tahu, apakah minggu depan saya masih jadi rektor” adalah peringatan dini pada diriku agar selalu berkinerja tepat waktu dengan kualitas yang prima. Tentu, sebagai pimpinan, aku pun punya kepentingan yang besar agar tim manajemenku juga selalu berkinerja tepat waktu dan terjamin bermutu.
Kata timeliness dan performance memang harus bersanding. Kata “tepat waktu” dan “kinerja” memang harus bergabung. Harus berseiring. Untuk bisa menjadi ukuran bagi sebuah kinerja. Berhasil banyak namun dilakukan jauh melebihi waktu yang ditentukan, tentu tidaklah istimewa. Tentu itu bukanlah yang dikehendaki oleh manajemen modern. Karena di situ tidak ada tenggat waktu. Padahal tenggat waktu dibutuhkan karena pekerjaan tidak pernah berhenti. Apalagi mundur. Semua pasti bergerak maju. Karena itu, tenggat waktu itu sekaligus digunakan untuk mengukur tingkat kecepatan (speed) kerja. Menuju kinerja yang diharapkan. Namun sebaliknya, cepat dilaksanakan namun hasilnya tidak maksimal, juga bukan harapan. Karena itu, timeliness dan performance diidealisasikan berjalan bersama menuju kinerja utama.
Dalama kaitan itu, hidup tak boleh minimalis: sing penting mlaku; yang penting jalan. Yang penting sampai. Tentu itu tidak bisa. Sebab, anak sekolah saja harus berkejaran dengan waktu saat harus menyelesaikan ujian atau ulangan. Itu latihan dari dini. Untuk bisa berkinerja optimal di masa nanti. Sebab, saat seseorang sudah terlatih untuk mampu bekerja di bawah tekanan, dia akan memiliki keterampilan tinggi untuk menunaikan pekerjaan apapun setelahnya. Frase “di bawah tekanan” ini bisa menunjuk ke waktu. Dan bisa pula ke target capaian. Maka, hidup tak sepatutnya dilakukan dengan prinsip asal jalan. Karena di sana dibutuhkan orientasi untuk arah perjalanan.
Karena itu, hidup sepatutnya digerakkan dengan target. Di situlah tepat waktu dan hasil kerja penting bertemu. Karena, semuanya akhirnya harus bisa diukur agar bermutu. Ukuran yang dipakai pun akhirnya harus bisa jelas dan tak semu. Dan itulah juga prinsip kinerja dalam jabatan dan pekerjaan yang diampu. Kalau soal waktu dibiarkan longgar, ukuran pencapaian target juga tak akan bisa ketemu. Akhirnya, mengukur capaian pun hanya isapan jempol melulu. Karena tak bisa ditunaikan dengan penuh jaminan mutu. Ujungnya, kualitas hidup pun tak bisa didorong maju.
Itulah mengapa dalam manajemen modern delayed performance sangat dijauhkan. Tak akan pernah dipikirkan. Apalagi didorong untuk disarankan. Bahkan, pasal pelanggaran pun bisa dikenakan. Terhadap kontrak kerja dan atau kontrak kinerja yang sebelumnya sudah menjadi kesepakatan. Itu jika ada yang tak terpenuhi dari unsur timeliness dan performance yang sebelumnya sudah ditentukan. Sebab, tiadanya timeliness hanya akan mengganggu tercapainya performance. Menunda atau telat hanya menghabiskan sumber daya saja. Waktu terlewat. Pikiran terbuang. Bahkan anggaran pun melayang. Sementara kinerja masih dalam bayang-bayang.
Jadi, basis konsep delayed performance dan timely performance yang menjadi diskursus manajemen modern sebetulnya juga berakar kuat dalam tradisi Islam. Untaian nilai pada nasehat i’mal li akhiratika ka annaka tamutu ghadan itu hanya sebagian saja dari khazanah tradisional Islam. Tak perlu dan tak harus menunggu orang modern menciptakan diskursus baru dalam banyak urusan. Agar kita tidak tenggelam. Karena kita pun sebetulnya juga bisa menarik nilai dasar serupa yang sudah mengalami eksperimentasi mendalam. Dalam sejarah peradaban Islam dan kehidupan Muslim di seluruh jagat alam. Saatnya mengulik kembali tradisi Islam yang penuh mutiara terpendam.