Hari itu, Senin, 27 Mei 2024, barangkali jadi kali pertama, seorang rabi Yahudi duduk di hadapan seratusan mahasiswa UINSA. Rabi Yaakov Baruch terbang dari Minahasa, Sulawesi Utara, tempat di mana ia memimpin sinagoga Sha’ar Hasyamayim -satu-satunya rumah ibadah Yahudi Ortodoks di Indonesia, demi memberi kuliah umum, memenuhi undangan Prodi Studi Agama-Agama.
Tidak saja kippah di kepala dan tzitzit yang menjuntai dari balik jubahnya memantik rasa penasaran audiens, mahasiswa juga tergelitik menanyakan respon Sang Rabi terkait genosida Palestina yang belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. “Bagaimana tanggapan Rabi,” tanya seorang mahasiswi berjilbab, “terhadap posisi umat Yahudi yang oleh sebagian pihak dianggap turut bertanggung jawab atas genosida di Palestina?” Sang Rabi menghela nafas panjang.
Sejak Oktober, eskalasi kekerasan di Gaza telah menyedot atensi global. Serangan demi serangan Israel telah mengakibatkan sedikitnya 36.000 jiwa penduduk Gaza melayang, mayoritas perempuan dan anak-anak. Era kiwari, pertumpahan darah di tanah terjajah itu terpampang nyata di berbagai platform sosial media. Respons terhadap isu ini pun berevolusi. Media sosial menunjukkan bagaimana gerakan sosial hari ini muncul sebagai reaksi atas kebrutalan Israel.
Narasi Demonisasi ke Genosida
Ketegangan Israel dan Palestina memiliki akar sejarah yang panjang. Begitu pula dengan gerakan sosial pro-Palestina.
Di Indonesia sendiri, gerakan pro-Palestina bukan hal yang baru. Akan tetapi, sebelum ini, aktivisme bela Palestina sangat kental dengan nuansa identitas dan sering diasosiasikan pada kelompok atau kepentingan politik tertentu.
Banyak dari masyarakat memandang situasi yang terjadi di Palestina begitu kompleks dan sulit dipahami sehingga gaung solidaritas yang ada masih terdengar samar-samar. Narasi keagamaan yang menekankan pada jihad atau perang agama an sich hingga demonisasi Yahudi, alih-alih pembacaan situasi sebagai bentuk penjajahan modern menyebabkan fragmentasi bahkan di kalangan umat Muslim sendiri.
Namun, berkat eksposur agresi Israel di media sosial sejak genosida memuncak pada 2023, opini publik terbentuk lebih cepat dan solid. Fakta yang disuguhkan media sosial membantu menjelaskan kepada masyarakat global situasi sederhana yang terjadi: tentang kolonialisme dan genosida.
Keberpihakan publik yang menguat, menegaskan apa yang disebut Noam Chomsky dan Ilan Pappe dalam bukunya On Palestine (2024) sebagai masa transisi dari ‘percakapan lama’ menuju ‘percakapan baru’ tentang Palestina.
Nahasnya, baru setelah puluhan ribu nyawa melayang, ‘percakapan baru’ ini menguat.
Clicktivism Netizen: Keberpihakan dan Perlawanan
Para jurnalis Palestina menyebut apa yang terjadi di Gaza sejak Oktober sebagai the second Nakba. Nakba yang secara literal berarti kehancuran (disaster), merujuk pada peristiwa pengusiran (atau lebih tepatnya penghapusan etnis) ratusan ribu warga Palestina sesaat setelah pembentukan negara Israel pada Mei 1948.
Pada Nakba kedua kali ini, pembantaian dan pengusiran penduduk Gaza bisa disaksikan secara terang benderang lewat media sosial. Sebagai konsekuensi, gerakan sosial pro-Palestina muncul dengan cepat dan masif di dunia maya.
Meski telah ada gerakan boikot, divestasi, dan sanksi (BDS) sebelumnya, seruan boikot terhadap produk-produk yang dianggap terafiliasi Israel teramplifikasi berkali-kali lipat menyusul genosida yang terjadi. Di linimasa beragam merek ditandai untuk memastikan konsumen berpindah haluan. Sejumlah meme yang mengilustrasikan granat, misil, dan senjata api di balik sebungkus kentang McDonald’s dan segelas kopi Starbucks tersebar luas secara global.
Di Indonesia, perlawanan unik netizen muncul lewat pemborbadiran akun-akun Pasukan Pertahanan Israel (IDF). Erlangga Greschinov (@Greschinov), salah seorang influencer X, menjadi pionir psychological warfare (psywar) ini dengan menggalang netizen menumpahkan sumpah serapah di akun-akun media sosial tentara IDF. Tanpa memedulikan hambatan bahasa, netizen melontarkan kegeraman lewat kosakata apapun yang mereka punya, tidak sedikit mengumpat dengan bahasa daerah.
Aksi yang disebut-sebut dengan pelintiran istilah julid fi sabilillah ini bisa dibaca sebagai bentuk keputusasaan netizen pada otoritas global yang tidak menunjukkan political will terhadap keadilan bagi Palestina. Warga melawan dengan senjata apapun yang dipunya.
James Scott (1985) menyebut perlawanan semacam ini sebagai senjata orang-orang kalah. Sebuah resistensi melalui tindakan-tindakan “sederhana” demi menjaga otonomi dan martabat kelompok lemah. Dalam kasus gerakan pro-Palestina ini, netizen menyadari dampak perlawanannya barangkali tak seberapa. Namun setidaknya tindakan tersebut mewakili keberpihakan mereka.
Genosida di Gaza telah mengubah media sosial menjadi lanskap hitam putih. Setiap pengguna media sosial dituntut menunjukkan keberpihakannya. Diam tidak lagi bisa ditoleransi. Jurnalis Gaza Bisan Owda (@wizard_bisan1) baru-baru ini mengajak netizen untuk ramai-ramai memblokir para pesohor, publik figur Barat hingga Korea, yang belum bersuara atas tragedi di Gaza.
Akhir Mei lalu, saat roket-roket Israel membakar kamp-kamp pengungsian di Rafah secara membabi buta, slogan “All Eyes on Rafah” mengudara di linimasa. Sedikitnya 45 juta orang memposting kalimat tersebut di Instagram.
Fenomena aktivisme sosial lewat dunia maya, atau yang disebut sebagai clicktivism ini, di satu sisi berhasil menghubungkan orang-orang dari berbagai latar belakang secara global, menciptakan solidaritas dan kesadaran yang sama. Namun di sisi lain dikhawatirkan partisipasi yang terbatas pada klik, share, dan like di media sosial dapat mengurangi kualitas aktivisme dan kurangnya komitmen nyata untuk perubahan sosial.
Kendati demikian, sebagaimana gelombang demonstrasi muncul di sejumlah kampus Barat, kegelisahan akan nasib Palestina juga merembes hingga ruang auditorium UINSA siang itu. Menjawab pertanyaan yang dilontarkan mahasiswi peserta kuliah umum tadi, Rabi Yaakov Baruch menegaskan bahwa apa yang dilakukan oleh Israel adalah tindakan sebuah negara dan bukan representasi umat Yahudi di seluruh dunia. Ia menyitir sebuah perintah Taurat, “Orang asing yang tinggal padamu harus sama bagimu seperti orang dari antaramu, kasihilah dia seperti dirimu sendiri, karena kamu juga orang asing dahulu di tanah Mesir.”
Dengan demikian, apa lagi justifikasi yang tersisa untuk kolonisasi ini?
Khalimatu Nisa (Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya)