Kontributor : Fathoni Hakim, Dosen Pendamping PkM Internasional FISIP

Titik program KKN Internasional FISIP UINSA yang pertama adalah masjid dan surau. Pada tahap awal PCI-NU Malaysia merekomendasikan satu masjid dan satu surau, yakni Masjid Al-Falah di Kampung Sungai Ramal Dalam serta Surau Al-Amin di sektor 8 Bandar Baru Bangi. Alasan pemilihan titik pengabdian tersebut sangat sederhana, pertama karena lokasi masjid dan surau tidak jauh dari tempat pemondokan (basecamp) dan bisa diakses dengan jalan kaki. Kedua, karena ini program KKN Internasional, harusnya juga berinteraksi dan sinergi langsung dengan muslim melayu khususnya yang berada di masjid dan surau tersebut. Karena selama ini pihak PCI-NU Malaysia melakukan MoU dengan beberapa kampus tentang program KKN dan magang internasional, penempatannya sebatas di sanggar belajar saja. Sanggar belajar seperti Sekolah Indonesia Kuala Lumpur (SIKL), Sanggar Belajar Sungai Buloh, Sanggar Belajar Kampung Baru, Sanggar Belajar Kepong, Sanggar Belajar Al-Nahdloh, dll. “Sanggar Belajar (SB) tersebut merupakan binaan KBRI di Malaysia. Muridnya orang Indonesia semua, anak para buruh migran kita. Saya sebagai Sekretaris PCI-NU Malaysia yang sekaligus alumni UINSA ingin sesuatu yang berbeda. Jika konsepnya KKN internasional, maka harus sinergi dengan muslim melayu di Malaysia, bukan orang Indonesia yang berada di Malaysia” ujar Ustadz Arif, alumni Fakultas Dakwah UINSA Angkatan 2010.

Setelah mengantar mahasiswa silaturahim ke Nadzir Masjid Al-Falah (Haji Yahya) dan Pengurusi Surau Al-Amin (Ustadz Abu Hasan), saya mendapat kesan positif, alhamdulillah keduanya memberikan sambutan yang hangat penuh kekeluargaan. Karena bagi mereka para takmir masjid dan surau, ini pertama kali mereka menerima mahasiswa KKN dari luar Malaysia, karena selama ini yang melakukan program KKN di masjid sebatas mahasiswa dari kampus Malaysia. Jika program-program mahasiswa KKN Internasional FISIP UINSA bisa diterima baik oleh para nadzir masjid dan surau, maka UINSA menjadi penggagas pertama kampus luar Malaysia yang menjalankan program KKN Internasional di masjid Malaysia. Disisi lain, saya teringat kolega di FISIP Pak Zaky Ismail yang bertugas komunikasi awal dengan pihak KBRI terkait program ini. Intinya pihak KBRI merekomendasikan KKN Internasional UINSA sebatas di sanggar belajar binaan KBRI, seperti yang dilakukan oleh kampus-kampus lain sebelumnya. Sehingga pemahaman Atase Pendidikan & Kebudayaan (Atdikbud) ketika memaknai KKN sebatas masuk dan praktik mengajar di Sanggar Belajar (SB). Ketika FISIP UINSA ingin langsung sinergi dengan masyarakat lokal Malaysia, disarankan menggunakan frasa kata pengabdian kepada masyarakat, meskipun sebenarnya berat bagi Atdikbud untuk memberi ijin. Bahkan staf KBRI sempat berucap jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dengan program KKN Internasional FISIP UINSA, maka pihak KBRI lepas tanggung jawab.

Tentu harapan dan tantangan diatas harus bisa dikompromikan oleh mahasiswa KKN Internasional FISIP UINSA, lebih-lebih dosen pembimbing (pensyarah) yang ikut mendampingi di awal program ini. Saya dan Dr. H.M. Ilyas Rolis, M.Si kemudian lebih intensif melakukan diskusi dengan para Nadzir (takmir) guna memahami karakter dan arti penting masjid – surau di Selangor. Setelah mendapatkan informasi tentang peran masjid dan surau yang begitu besar dalam kehidupan sosial agama, politik, pendidikan, bahkan ekonomi, maka kami putuskan untuk totalitas dalam mengawal program KKN internasional.

Perlu diketahui, intervensi Kerajaan Negeri Selangor terhadap masjid dan surau di Selangor sangat besar. Semua nadzir (takmir) masjid dan surau terpilih atas restu kerajaan melalui Jabatan Agama Islam Selangor (JAIS). Sehingga garis komunikasi para takmir (nadzir) masjid langsung tersentral kepada JAIS sebagai representasi Kerajaan Negeri Selangor. Tentu jika program KKN Internasional FISIP UINSA dipandang berhasil (sedap) bagi para takmir (nadzir), maka bukan hanya hubungan antar masyarakat (people to people contact) yang akan menguat, namun juga mampu menguatkan hubungan antar aktor pemerintah kedua negara khususnya di isu Pendidikan Islam. Sekali lagi, ini kami pandang sangat strategis kedepannya bagi FISIP dan UINSA untuk bersama-sama mensukseskan program KKN Internasional di Malaysia.

Bayangan kami di awal, peran masjid dan surau di Malaysia kurang lebih sama dengan realitas di Indonesia, termasuk dengan budayanya. Setelah mengetahui secara langsung posisi masjid dan surau yang sangat strategis di Malaysia, serta budaya masyarakat Malaysia yang tidak mudah menerima sesuatu yang baru, terbesit niat untuk mendampingi lebih intensif peserta KKN Internasional. Tiket balik Surabaya yang sudah terbeli direlakan hangus demi komitmen bersama dan pembangunan trust. Kami berdua rela menemani mahasiswa KKN Internasional lebih lama dan memastikan program berjalan baik, meskipun keluarga dirumah menanti. Belajar dari peristiwa ini, pendampingan KKN internasional tidak bisa dilakukan hanya 2-3 hari seperti KKN nasional. Pendampingan KKN Internasional minimal dilakukan 1 minggu, khususnya masa pendampingan di awal, karena disanalah pihak internasional mengukur salah satu keseriusan kita dalam menjalin kerjasama.