Berita

“Di sini itu harus tegas, Ine. Kalau tidak, mereka tidak akan mau mendengarkan kau berbicara,” ujar Bu Zohrah. Ine merupakan panggilan untuk perempuan di budaya masyarakat Ende.

Bu Zohrah adalah seorang penyuluh agama Islam yang ditugaskan untuk melakukan penyuluhan agama di Lapas Klas IIB Ende, Nusa Tenggara Timur. Ia mengabdi berdasarkan surat tugas yang ia peroleh sejak 2008, terhitung sudah empat belas tahun hingga sekarang ini. Tapi ini bukan kisah tentang Bu Zohrah. Ini adalah secuil cerita dari perjalanan mahasiswa magang Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) di lingkungan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya.

Saya, Arum Puspita, adalah mahasiswi program studi Aqidah dan Filsafat Islam semester enam yang sekarang ini tengah menjalankan kewajiban masa studi dengan mengambil salah satu dari beberapa program yang ditawarkan MBKM yaitu magang atau Praktik Kerja Lapangan yang disingkat PKL.

Pengalaman saya berawal dari minggu-minggu pertama sejak magang di kantor Kementerian Agama Kabupaten Ende, khususnya di ruangan BBimbingan Masyarakat (Bimas) Islam. Sebagaimana mahasiswa magang pada umumnya, saya tentu harus  aktif mencari tahu seputar kegiatan di kantor dengan membuka percakapan dengan para pegawai di sana. Dari sini saya tahu bahwa di ruangan Bimas tersebut hampir semua diisi oleh para penyuluh, yang mana mereka menjalankan tugas fungsional daripada tugas administrasi Kementerian Agama Kabupaten Ende.

Kegiatan yang telah saya ikuti sangat beragam selama magang, mulai dari menginput data, membuat daftar jadwal sholat, mencetak jadwal imsakiyyah dan jadwal khotbah Jumat yang kemudian diedarkan di setiap masjid, mengikuti penyuluhan agama di lingkungan anak-anak, remaja, ibu-ibu, para mualaf, hingga yang paling berkesan yaitu penyuluhan agama di Lapas Klas IIB Kabupaten Ende.

Lapas Klas IIB Kabupaten Ende. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Tepatnya pada Kamis, 22 Februari 2024 pertama kali saya menginjakkan kaki di bangunan dengan pintu dan jendela jeruji besi tersebut. Perasaan saya campur aduk, entahlah, di sana ada sedikit rasa takut. Tibalah di pintu depan, terdapat pemeriksaan dan mereka menyita ponsel untuk sementara selagi berada di dalam lingkungan lapas. Petugas kemudian memberikan ID Card pengunjung. Para petugas dan penjaga di sana tentu sudah mengenal Bu Zohrah karena setiap minggu ia selalu memberikan peyuluhan untuk para narapidana. Bu Zohrah memperkenalkan saya sebagai mahasiswi yang ikut bersamanya selintas lalu, kemudian langsung masuk ke musholla At-Taqwa, tempat berlangsungnya penyuluhan agama.

Total 35 orang yang mengikuti kegiatan penyuluhan pada saat itu yang semuanya laki-laki. Kegiatan penyuluhan berjalan lancar bahkan ketika sesi tanya jawab, mereka sangat antusias dan saling berebut untuk bertanya. Menatap wajah-wajah antusias mereka, wajah ingin tahu, senyum, tawa, ada yang pecicilan bahkan ada juga yang hanya menunduk menghayati sepanjang jalannya acara penyuluhan memberikan kesan tersendiri. Dilengkapi dengan gaya penuturan Bu Zohrah yang lugas dan sangat tegas, suasana di mushola pagi itu tetap khidmat.

Suasana penyuluhan di Lapas Klas IIB Ende. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Saya teringat percakapan bersama Bu Zohrah sebelum masuk ke lapas, “Di sini itu harus tegas, Ine. Saya dulu awal-awal menyampaikan ceramah dengan lemah lembut mereka malah main-main, tidak mendengarkan,” kata Bu Zohrah. Dan akhirnya saya mengerti situasinya sekarang. Namun, lebih dari itu semua, bagi saya ini sungguh sebuah pelajaran berharga. Pelajaran hidup yang tak dapat dilupakan, bahwa seburuk apapun kejahatan, kesalahan yang pernah kita lakukan, selalu ada kesempatan untuk menjadi manusia yang  lebih baik lagi di hari depan. (Arum Puspita – Mahasiswi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat)