Column
Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag., Grad.Dip.SEA., M.Phil., Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

“Mana yang sekarang ini lebih laku, penjahit tailor atau vermak?” begitu tanyaku pagi itu. Rabu, 23 Oktober 2024. Kutanya itu kepada sahabatku. Markus, namanya. Nama panggung mayanya, Firdaus Markus. Kepala Bagian Tata Usaha Fakultas Psikologi dan Kesehatan (FPK), UIN Sunan Ampel Surabaya.  Kebetulan setiap Rabu pagi, ku harus mengajar di Program Studi Sosiologi, FISIP, kampus itu. Gedungnya bersebelahan dengan FPK. Aku mengajar sendiri kelas sarjana itu. Tanpa asisten. Karena aku senang sekali mengajar. It’s my passion. Maka, aku pun bahagia sekali untuk bertemu dengan dan mengajar langsung kelas mahasiswa program sarjana itu.    

“Jadi, mana yang saat ini lebih laku?” tanyaku lagi untuk memastikan. “Ya vermak, Pak Rektor,” jawab Pak Markus kontan. Aku pun lalu menimpali jawaban dia itu dengan pertanyaan lanjutan. Begini bunyi pertanyaan itu: “Apa makna semua itu, Pak Markus?” Ku ajak sahabatku itu untuk membincang santai fenomena itu. Fenomena yang lagi menyeruak. “Kira-kira, apa maknanya ya Pak Rektor?” tanya Pak Markus kembali ke aku. Lalu, jadilah isu fenomena penjahit vermak itu menjadi materi bincang ringan pagi itu. Sesuatu yang mungkin terlihat biasa-biasa saja. Sehari-hari dijumpai. Tapi bagiku, fenomena vermak itu menyiratkan banyak makna mendalam. Lalu kubahaslah isu itu bersama sahabatku itu secara lebih jauh.

Tentu, ada kopi dan camilan di meja. Itu yang membuat bincang santai itu makin terasa gayeng saja. Jadi, di kantor administrasi FPK itu, tiap Rabu pagi selalu ada perbincangan ringan untuk membicarakan fenomena yang lagi menguat. Semacam fenomena penjahit vermak di atas. Isinya bisa serius. Membincang banyak hal yang lagi viral. Tapi membincangnya selalu dengan penuh santai. Siapa saja bisa bergabung. Ngobrol nyantai di ruangan administrasi fakultas itu. Sambil menunggu waktu aku mengajar tiba. Begitu jam menunjuk 07:40, maka bincang santai itu harus disudahi. Karena aku harus bergegas ke FISIP untuk mulai mengajar. Lumayan ada waktu sejam untuk terlibat dalam bincang santai itu. Tiap rabu. Saat aku tak ada tugas dinas ke luar kota.

Fenomena menyeruaknya penjahit vermak di atas memang belakangan ini makin menguat. Setiap pergi ke banyak tempat, setiap kali itu pula mata mudah menemukan layanan vermak pakaian. Layanan jahit tailor malah sudah mulai jarang bisa ditemukan. Kalaulah ada, tersentral di pusat-pusat perbelanjaan besar. Itu pun dengan model cluster business. Yakni, layanan bisnis yang terdiri dari sekelompok bisnis, pemasok, dan institusi yang berlokasi di area yang sama secara terhubung dalam komoditas dan layanan bisnis yang sama pula. Nah, penyedia layanan jahit tailor dalam perkembangan terkini justru banyak terkonsentrasi dalam layanan berbasis cluster business dimaksud.

Berbeda dengan penyedia layanan jahit tailor di atas, fenomena menyeruaknya penjahit vermak bisa dijumpai di banyak kota. Apakah di kota besar maupun tidak, fenomena vermak itu kini makin ramai. Tumbuh bak jamur di musim penghujan. Mudah ditemukan. Dan, pasti tampak ramai. Yang di-vermak pun macam-macam. Ada kemeja. Ada juga celana. Bahkan baju perempuan untuk peruntukan khusus, seperti kebaya pun, juga menjadi materi pakaian yang di-vermak di konter-konter layanan vermak itu. Itu meskipun jumlah baju khusus seperti kebaya itu tak banyak jumlahnya. Karena menyelesaikannya butuh keterampilan dan alat agak khusus. Meskipun begitu, tetap saja baju khusus seperti kebaya itu bisa dijumpai pula di penjahit vermak.

Lalu, apa yang bisa dipelajari dari fenomena menjamurnya penjahit vermak pakaian di atas? Ada dua pelajaran penting yang bisa dipetik. Pertama, berubah itu watak dari kecenderungan bisnis. Mengapa begitu? Karena selera pasar selalu berubah. Sesuai dengan perkembangan beserta tantangan yang menyertai. Karena selera berubah, kecenderungan konsumsi pasar pun juga berubah. Penjahit tailor, sebagai kasus yang sedang dibicarakan, pernah lama merajai bisnis jahit pakaian di tengah masyarakat. Mengiringi kebutuhan orang untuk menutup aurat dan melindungi diri dari perubahan cuaca.

Kebutuhan pada layanan jahit tailor di atas cenderung tetap tinggi terutama saat bisnis konveksi pakaian belum membesar. Juga, bisnis pakaian jadi dalam volume besar seperti model retail dan boutique juga belum mewarnai dunia bisnis pakaian. Pada masa seperti itu, maka penjahit tailor adalah jujugan warga masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pakaian masing-masing dari mereka. Mereka tinggal membeli kain potongan di toko kain untuk dijahitkan ke penjahit tailor. Saat hadir di tukang jahit tailor dengan potongan kain di tangan, individu warga masyarakat itu lalu meminta tukang jahit tailor itu untuk melakukan ukur jahit atas model pakaian yang diinginkan. Lalu proses jahit atas potongan kain hingga menjadi pakaian lahir di tangan tukang jahit tailor itu.

Tapi, saat bisnis pakaian hadir dalam skema dan porsi besar hadir, saat itu pula ketersohoran penjahit tailor mulai meredup. Dominasi penjahit tailor mulai tergerus. Tak lagi merajai bisnis pembuatan pakaian warga masyarakat. Posisinya sudah digantikan oleh “pemain besar” bisnis pakaian. Ada bisnis konveksi. Ada juga boutique. Apalagi, lalu dalam perkembangan lanjutannya, penyedia bisnis pakaian model “pemain besar” itu masing-masing memiliki ruang pamer, konter, atau toko sendiri. Apakah secara tersendiri dan milik sendiri. Ataukah menjadi bagian dari penyewaan ruang pamer di pusat-pusat keramaian, seperti  pusat perbelanjaan. Pada perubahan seperti ini, dominasi penjahit tailor pun langsung meredup.

Perubahan gaya konsumsi warga masyarakat juga menjadi faktor penunjang tambahan bagi meredupnya bisnis jahit tailor. Warga masyarakat mulai menjadikan pakaian tidak saja sebagai penutup aurat. Melainkan sudah menjadi gaya hidup. Bahkan, di sejumlah kesempatan justru menjadi pemantik gaya hidup (trendsetter). Karena itulah, yang mereka butuhkan adalah keleluasaan yang tersedia bagi mereka untuk memilih. Tentu sesuai selera yang muncul. Apalagi, biasanya selera itu dipengaruhi oleh perkembangan gaya berpakaian yang sedang mengemuka di tengah masyarakat. Maka, layanan bisnis pakaian yang memungkinkan mereka memilah dan memilih akan laku di pasaran. 

Pada titik inilah, pelaku bisnis jahit tailor gagal memenuhi ekspektasi pasar yang demikian. Mereka tak bisa menyediakan ruang yang leluasa bagi konsumen untuk memilah dan memilih pakaian sesuai selera dan gaya yang diinginkan. Konsumen hanya bergantung dari hasil jahitan tukang jahit tailor semata. Apalagi, pesanan jahitan yang sebelumnya dilakukan, lebih-lebih dengan melakukan pengukuran terlebih dulu, tak selalu datang dengan hasil sesuai yang diinginkan di titik awal. Karena itu, ruang kekecewaan, atau minimal keluhan, sangat terbuka lebar pada layanan jahit tailor saat hasil jahitan bergeser dari ekspektasi awal.

Hal itu berbeda dengan bisnis pakaian jadi. Sebuah layanan yang disediakan oleh “pemain besar” bisnis pakaian, mulai dari konveksi hingga boutique. Dengan pakaian jadi yang digelar di ruang pamer, konter, atau toko pakaian di pusat keramaian, konsumen tinggal mencoba semata. Melakukan fitting atas model dan jenis pakaian yang disukai. Jika suka, tinggal dilakukan transaksi di kasir. Jika tidak, tinggal dikembalikan ke rak atau pelayan. Bahkan, saat suka sudah di hati, kurang sana-sini dianggap tak menjadi masalah berarti. Mengapa? Karena bisa disesuaikan. Bisa dilakukan penyesuaian ulang. Melalui aksi penyesuaian yang layanannya bisa didapatkan dari tukang jahit tertentu.

Dari sinilah, bisnis jahit vermak mulai mengemuka. Menggantikan dominasi layanan jahit tailor. Karena, jahit vermak dianggap lebih menguntungkan konsumen daripada jahit tailor. Itu karena, layanan utama jahit vermak adalah menyesuaikan kembali pakaian jadi dengan selera dan kecenderungan sesuka-suka masing-masing konsumen. Dan, dengan vermak itu, ekspektasi masing-masing konsumen terpenuhi. Karena, pakaian sudah jadi sebelumnya, dan tukang jahit vermak hanya melakukan penyesuaian jahitan sana-sini saja. Tak menjahit dari nol. Kelebihan ini yang tidak dimiliki oleh pelaku layanan jahit tailor. Semua dari nol. Karena itu, potensi ketidaksesuaian dengan ekspektasi konsumen lebih tinggi dibanding layanan jahit vermak.    

Nah, apa yang terjadi di dunia bisnis pakaian jadi di atas sejatinya bukan saja terbatas pada bisnis pakaian semata. Melainkan juga bisa berlaku di bisnis layanan pada umumnya. Hampir semua. Artinya, pelajaran yang timbul dan bisa dipetik dari bisnis jahit vermak di atas bisa diperluas ke bisnis dan layanan lainnya. Tanpa terkecuali. Termasuk layanan pendidikan tinggi sekalipun. Karena itu, tak ada pengecualian apapun bagi penyelenggara perguruan tinggi sekalipun. Minimal yang harus dilakukan oleh penyelenggara perguruan tinggi, atau paling tidak program studi, adalah selalu melakukan review atas kurikulum yang mereka belajarkan.

Review itu harus rutin dilakukan dalam masa penerapan kurikulum yang diberlakukan dalam kurun waktu tertentu. Hasilnya dibawa ke proses redesain dan atau pengembangan kurikulum selanjutnya. Itu semua harus dilakukan agar layanan pendidikan tinggi tidak jauh-jauh dari perkembangan terkini keilmuan dan kebutuhan masyarakat. Termasuk kecenderungan kesukaan konsumen mahasiswa dan pengguna lulusan. Dengan begitu, apa yang ditawarkan oleh perguruan tinggi akan dekat dengan ekspektasi dan para pemangku kepentingan. Termasuk kebutuhan mahasiswa sebagai konsumen dan dunia usaha, dunia industri, dan dunia kerja sebagai pengguna lulusan.

Sebagai pelajaran kedua, ada kecenderungan kini orang lebih menyukai apa yang bisa dipersonalisasi daripada yang tidak. Semua disesuaikan dengan preferensi personal diri sendiri. Karena itulah, muncul fenomena customize. Yakni, kecenderungan untuk melakukan penyetelan ulang atas apa yang sudah ada dengan selera pribadi. Saya pernah menulis khusus soal fenomena customize ini sebelumnya (lihat “Customise It! Itu Saja” di link: https://uinsa.ac.id/blog/customise-it-itu-saja). Karena itu, yang bisa disetel, akan laku. Yang bisa disesuaikan dengan selera personal, akan lekas terjual. Yang tak bisa di-customize akan dijauhi oleh pasar. Itulah tren pola produksi dan konsumsi terkini.

Menjamurnya bisnis jahit vermak memberi pelajaran kepada kita bersama tentang pentingnya kecakapan customize di atas. Layanan apapun penting untuk melakukan proses customize produk yang ditawarkan kepada konsumen. Penting bagi pelaku bisnis dan penyedia layanan apapun untuk selalu menyediakan ruang kepada konsumen dengan beragam kecenderungan soal konsumsinya untuk munculnya proses customize dimaksud bagi mereka. Dengan adanya ruang yang memungkinkan lahirnya proses customize dimaksud, masing-masing konsumen bisa melakukan penyesuaian produk yang akan dikonsumsi dengan selera dan kesukaan diri yang dimiliki. Dengan begitu, akan selalu muncul ruang kepuasan di internal mereka. 

Karena itu, individual differences atau perbedaan yang dimiliki masing-masing pribadi bukan saja sebuah fakta yang harus diapresiasi, melainkan juga harus dilayani. Prinsip seperti ini sejatinya juga bukan hanya berlaku dalam layanan bisnis dan komersial, tapi juga layanan sosial. Bukan saja pelaku bisnis yang harus mempertimbangkan betul prinsip dimaksud dalam kegiatan produksi barang dan jasanya. Penyedia layanan sosial pun juga penting menjalankan prinsip dimaksud dalam produksi layanan yang disediakan untuk konsumen. Semakin sempit ruang customize, semakin rendah kemungkinan konsumsi oleh konsumen.  

Layanan pembelajaran pun, sebagai contoh layanan sosial, juga wajib menjadikan prinsip dimaksud sebagai spirit dalam melangsungkan pembelajaran terhadap peserta didiknya. Yakni, bagaimana perbedaan kecenderungan yang dimiliki masing-masing peserta didiknya tidak saja dihargai, tapi juga dilayani dalam proses pembelajaran. Sehingga kecenderungan yang berbeda-beda dari beragam peserta didik terlayani dengan baik dalam pembelajaran. Sebab, seperti disebut oleh Jonathan E. Larson (lihat bukunya Educational Psychology: Cognition and Learning, Individual Differences and Motivation, 2009), kecenderungan yang berbeda-beda dari beragam peserta didik memiliki kaitan yang erat dengan motivasi dalam pembelajaran beserta ritme pencapaian hasilnya.

Foto: Sampul Buku Karya Jonathan E. Larson

Merujuk prinsip di atas, semakin cakap seorang pendidik dalam memahami, mengapresiasi dan melayani kebutuhan yang muncul akibat perbedaan kecenderungan yang dimiliki masing-masing peserta didik, makin besar potensi suksesnya dalam penunaian pembelajaran. Hal itu karena penjagaan motivasi belajar peserta didik bisa dimitigasi dan sekaligus dilakukan dengan baik. Bahkan, dengan pembacaan yang baik atas perbedaan kecenderungan yang dimiliki masing-masing peserta didik itu akan bisa melapangkan aksi peningkatan motivasi mereka semua.

Nah, prestasi belajar di antaranya justru dimulai saat motivasi terjaga dengan baik dalam proses pembelajaran. Memahami perbedaan kecenderungan yang dimiliki masing-masing peserta didik adalah langkah penting untuk menjaga motivasi masing-masing mereka. Bahkan, bukan hanya menjaga, pemahaman yang baik itu akan memperkuat motivasi belajar peserta didik. Sebab, masing-masing dari mereka akan diperlakukan sesuai dengan kekuatan internal dirinya. Dan langkah itu menjadi jangkar pengaman bagi terjaganya motivasi mereka untuk meraih prestasi dalam pembelajaran.

Saat kecakapan customize yang menjadi pelajaran pertama dan kecakapan untuk memahami-melayani individual differences yang menjadi pelajaran kedua dari praktik bisnis vermak di atas bertemu pada satu titik, maka sukses untuk memenangi perubahan segera bisa di tangan. Itu karena, perubahan adalah suara alam. Perubahan adalah denyut nadi kehidupan semesta. Maka, siapa yang bisa mengikuti perubahan akan memenangi zaman. Karena itulah dibutuhkan daya kenyal dan elastisitas untuk menghadapi dan sekaligus memenangi perubahan. Seiring dengan daya kenyal dan elastisitas itu adalah kecakapan untuk beradaptasi dengan, dan sekaligus mengelola, situasi terkini.

Karena itu, atas perubahan yang terjadi, kelenturan dan kecepatan untuk beradaptasi dengan situasi baru adalah langkah penting untuk memenangi perubahan. Prinsip ini berlaku untuk semua jenis bisnis dan layanan. Tanpa kecuali. Bisnis vermak memberikan contoh penting kepada kita semua. Kemampuan pelaku jahit vermak untuk melakukan customize dan sekaligus memahami-melayani individual differences membuatnya mampu mendobrak dominasi tukang jahit tailor. Lalu, pelaku jahit vermak itu pun bisa memenangi perubahan gaya konsumsi warga masyarakat atas bisnis pakaian.

Prinsip yang dicontohkan oleh bisnis jahit vermak di atas, sejatinya, juga mengena ke pelaku layanan pada umumnya, termasuk pendidikan tinggi. Kecenderungan yang berubah dari pola konsumsi warga masyarakat serta respon apik yang dicontohkan oleh pelaku layanan jahit vermak pada bisnis pakaian di atas sejatinya bukan hanya efektif dalam urusan bisnis komersial semata, melainkan juga layanan sosial. Salah satu jenis dan bentuk layanan sosial di sini adalah perguruan tinggi. Karena itu, pengelola perguruan tinggi pun harus cakap melakukan antisipasi dan respon apik serupa terhadap perubahan pola konsumsi warga masyarakat.