
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
Mataku tertuju ke layar televisi. Selebar 50 Inchi. Ada beberapa tulisan menarik di layar itu. Salah satunya berbunyi begini: If you don’t respect me, simply ignoring you is a relief. Terjemahannya seperti ini: “Jika Anda tidak menghormati saya, mengabaikan Anda adalah kelegaan.” Beberapa tulisan lain mengandung pesan serupa. Kira-kira pesan konkretnya seperti ini: “Tidak Sopan Tak Berhak atas Layanan.”Artinya,terdapat pesan yang sederhana namun konkret: jangan kurang ajar. Jangan kehilangan kesantunan. Jangan sok jagoan. Jangan suka tekan-menekan.
Tentu saja pesan moral seperti di atas bergerak di ruang publik. Yakni, ruang yang menjadi titik pertemuan lintas individu. Ruang yang menjadi tempat para individu menunaikan kebutuhannya. Tempat di mana berbagai individu yang berbeda kecenderungan budaya dan selainnya memenuhi kepentingannya. Di ruang publik itu, lalu semua individu harus berbagi. Berbagi ruang. Berbagi kesempatan. Berbagai perasaan. Dan berbagi kepentingan. Itu semua terjadi saat Anda berada di ruang publik. Apalagi, saat Anda berada dalam kebutuhan atas sebuah layanan pada ruang bersama.
Layar televisi dengan pesan etika di atas kudapati saat menunggu antrean pengambilan visa ke Amerika Serikat. Di Kantor VFS Global. Di Mal Mega Kuningan, Jakarta. Pada Hari Rabu (26 Maret 2025). Kala itu, saya harus mengambil visa itu. Untuk kepergian ke Hawaii, Amerika Serikat. Untuk presentasi pada sebuah konferensi internasional. Temanya Human Dignity and ASEAN. Aku memang harus mengambil visa itu di hari itu karena hari itu merupakan dua hari sebelum akhir kerja jelang lebaran Idul Fitri. Kebetulan, kala itu aku sedang bertugas untuk mengikuti penyusunan program kerja di Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI di Jakarta. Siang itu saat waktu rehat, aku izin untuk pergi ke Kantor VFS Global di Kuningan itu sebelum libur lebaran.
Aku merasa sangat tertarik dengan pesan moral yang ada di layar layanan kantor pengambilan visa di atas. Itu semua karena, seluruh bentuk praktik buruk seperti diindikasikan di atas tak akan diterima oleh akal publik. Termasuk dalam kaitannya dengan pelayanan. Artinya, sopan itu penting. Santun itu mutlak. Tak bisa ditawar-tawar. Itulah etika ruang publik. Seakan sebuah nyanyian jiwa yang melantun kencang, pesan konkretnya seperti yang jamak ditemukan. Di antaranya seperti ini: If you tolerate disrespectful behaviour, it will get worse over time. Jika Anda mentolerir perilaku tidak sopan, perilaku buruk itu akan menjadi lebih buruk seiring berjalannya waktu.
Artinya, nalar publik tak akan bisa menerima perilaku buruk di ruang publik. Dalam bentuk apapun. Termasuk ketidaksopanan (rudeness) dan ketidaksantunan (impoliteness). Ekspresi ketidaksopanan dan ketidaksantunan memang bermacam-macam. Tapi tetap masih ada ragam dan bentuk yang hampir dirasakan secara serupa oleh individu-individu atau gugusan sosial lintas batas budaya dan peradaban. Contoh di antaranya adalah praktik penekanan, intimidasi, dan pengancaman. Praktik-praktik buruk di ruang publik seperti ini tak akan bisa ditolerir. Karena itu pula, semua gugus sosial di manapun berada tak memberi tempat sama sekali terhadap praktik buruk di ruang publik seperti itu.
Aku pun lalu tergelitik untuk menelaah lebih lanjut kalimat pesan etika di atas. Sebab, di sejumlah kantor layanan publik domestik Indonesia, pesan serupa juga terpampang. Di antaranya, ada yang berbunyi begini: “Anda Sopan, Kami Segan.” Pesan lainnya berbunyi seperti ini: “Hanya Yang Sopan Yang Berhak Dilayani.” Mungkin setiap kita bisa mendapati pesan serupa. Di banyak lokasi dan tempat umum. Artinya, di ruang publik yang ada walau beda bentuk dan penamaan, praktik buruk seperti disinggung di atas tak mendapatkan tempat sama sekali. Oleh siapapun. Lintas batas sosial budaya dan peradaban.
Pertanyaannya, mengapa muncul kalimat-kalimat dengan pesan etis yang sama seperti di atas? Mengapa banyak yang konsen soal etika dalam permohonan pelayanan di ruang publik? Jawabannya sederhana. Perhatian yang serupa atas etika dalam permohonan pelayanan di sejumlah kantor pelayanan berarti bahwa kesopanan dan kesantunan adalah perhatian Bersama. Tak mengenal Anda dari latar belakang budaya apa. Tak ada kaitannya dengan latar belakang agama dan keyakinan. Juga tak ada hubungan sama sekali dengan soal kelas sosial ekonomi. Semua memiliki perhatian yang sama: jangan kehilangan etika di ruang publik.
Behave yourself. Kendalikan diri. Jangan ngawur. Jangan sembarangan. Jangan kurang ajar. Begitulah pesan yang sering kita dengar dalam Bahasa Inggris. Biasanya kalimat itu diucapkan untuk meminta perhatian seseorang agar tak kehilangan kesantunan dan kesopanan. Kalimat itu disampaikan agar ruang publik tidak bopeng. Agar semua proses yang berlangsung dalam relasi individu dan individu lainnya atau gugus sosial yang lebih besar tak tercederai dengan abainya seseorang terhadap standar moral dalam bentuk kesantunan dan kesopanan.
Nah, terhadap proses permohonan dan pemberian layanan seperti di atas saja, prinsip etis berlaku, apalagi pada urusan kerja kolegial dalam struktur birokrasi layanan. Maka, tekan-menekan, tidak sopan, tidak santun, kurang ajar, adalah contoh praktik buruk atas proses penyelenggaraan tugas jabatan di birokrasi. Maka, tak boleh ada praktik yang kurang ajar pada sesama. Tak boleh ada praktik tidak sopan kepada rekan kerja. Semangat kolegial terhadap sesama rekan kerja menjadi sangat penting dan dibutuhkan. Sopan, santun, dan respek adalah bagian dari semangat untuk menjaga penghormatan yang dibutuhkan bagi terciptanya kolegialisme dalam kerja bersama sesama.
Sikap tekan-menekan, tidak sopan, tidak santun, dan kurang ajar di atas lebih-lebih akan menabrak fatsun birokrasi manakala dilakukan kepada mereka yang berada dalam struktur yang lebih superior dalam birokrasi. Nama lain dari struktur yang lebih superior dalam birokrasi adalah atasan. Kepada sesama rekan kerja saja, sikap dan praktik buruk itu tak boleh dilakukan. Apalagi kepada mereka yang berada dalam struktur atasan di birokrasi. Tentu semua itu pasti dilarang. Pasti melanggar prinsip etis birokrasi. Tak pandang bulu posisi dalam struktur jabatannya apa. Sebab, penunaian pekerjaan di birokrasi, sebagaimana di ruang publik lainnya, harus dilaksanakan dengan menjunjung tinggi etika jabatan.
Maka, ada dua pelajaran penting yang bisa dipetik dari nilai dan praktik baik pelayanan di kantor pengurusan visa di VFS Global Jakarta di atas. Pertama, ketidaksopanan dan ketidaksantunan jangan pernah ada di ruang publik. Saat seseorang berada di ruang publik, maka dia langsung diikat oleh norma yang mengikat semua individu di dalamnya ke dalam cakupannya. Norma ini kemudian menjadi ukuran etika dan atau moral yang diberlakukan secara umum di dalamnya. Mengapa norma publik ini penting? Karena, saat sudah keluar dari ruang domestik, seseorang secara kontan beririsan atau bersentuhan dengan sesamanya. Nah, untuk menghindari munculnya peluang masalah antar individu di ruang publik itu, maka dimunculkanlah norma yang menjadi etika umum itu.
Maka, respect atau penghormatan kepada sesama adalah bagian sentral dari norma yang menjadi etika umum itu. Bahkan jika ditarik lebih jauh, bisa dirumuskan lebih sederhana begini: jati dirimu bergantung perilakumu di ruang publik. Sebaik apapun praktik hidupmu di rumah, semua akan ditakar oleh perangaimu di tempat umum. Karena itu, berlaku sopan kepada sesama, sejatinya, bukanlah untuk kepentingan orang lain. Melainkan justru untuk kepentingan diri sendiri dalam berhubungan dengan sesama. Berlaku santun pun juga demikian. Kepentingannya justru kembali kepada diri sendiri. Karena sekali lagi, siapakah kita bergantung perilaku kita di ruang publik.
Maka, respect atau penghormatan kepada sesama adalah bagian dari etika publik yang tak boleh dilanggar. Melanggarnya hanya akan menjerumuskan diri ke dalam jurang keburukan. Tidak saja praktik itu akan menabrak etika publik, melainkan juga membuat pelakunya akan terjauh dari penerimaan publik kepadanya. Sebab, di sana tak ada penghormatan kepada sesama. Di sana tak ada pemuliaan pada orang selain dirinya. Sebab, yang bersangkutan sudah kehilangan standar kesopanan publik. Juga kehilangan nilai dan ukuran kesantunan publik. Padahal, respect atau penghormatan kepada sesama itu pasti mewujud dalam bentuk kesopanan dan kesantunan terhadap sesamanya di ruang publik.
Sebagai pelajaran kedua, yakinlah bahwa tak ada baiknya sama sekali dengan perilaku tidak sopan dan tidak santun di ruang publik. Tak ada insentif apapun yang bisa dipetik dari perangai dan perilaku tidak sopan dan tidak santun di ruang publik itu. Alih-alih, disinsentif akan menyeruak. Nilai investasi prestasi diri yang selama ini ditanam kuat sudah pasti akan terkoreksi oleh perangai dan perilaku tidak sopan dan tidak santun itu. Orang-orang yang berada di sekitar akan segera berpikir bahwa pelaku ketidaksopanan dan ketidaksantunan di ruang publik itu hanya mementingkan dirinya saja dengan cara merugikan kepentingan sesamanya.
Sikap dan praktik suka menekan, intimidatif, dan bahkan sok jagoan hanya akan menunjukkan ke publik semata bahwa sang pelaku punya kuasa. Lalu kuasa itu digunakan untuk kebutuhan penyanjungan diri. Meminjam bahasa gaul terkini, praktik seperti ini cenderung terjadi karena kepentingan self-validation. Validasi diri. Ya, untuk kepentingan menunjukkan kuasa diri di hadapan banyak orang. Dengan begitu, akan muncul rasa percaya diri yang tinggi di hadapan sesamanya. Rasa percaya diri itu dibutuhkan untuk memperkuat indeks penilaian (judgement) orang lain terhadap diri pelakunya sendiri.
Eratnya hubungan antara kepercayaan diri dan penilaian atas diri dalam kerangka self-validation di atas telah menjadi diskusi hangat di kalangan ilmuwan psikologi sosial. Pablo Brinol and Richard E. Petty(“Persuasion: Insights from the Self-Validation Hypothesis,” Advances in Experimental Social Psychology, volume 41 [2009], 74), sebagai misal, seraya mendetailkan konsep self-validation di atas, mengilustrasikan kepercayaan diri itu sebagai berikut: the greater confidence in the thought, the greater its impact on judgment. Artinya, semakin besar kepercayaan diri dalam pikiran, semakin besar dampaknya terhadap penilaian.

Jadi, gejala self-validation menyeruak pada diri seseorang untuk kepentingan memperkuat penilaian orang lain terhadap diri sang pelaku. Penilaian itu tentu diharapkan positif untuk diri sang pelaku, namun dalam senyatanya justru bisa sebaliknya. Makna balikan itu muncul saat norma publik dilanggar. Di antaranya melalui praktik ketidaksopanan dan ketidaksantunan. Padahal, jabatan dan kuasa adalah amanah. Saat diterimakan, maka harus ditunaikan. Untuk seluas-luasnya kemaslahatan publik. Saat tersalahgunakan, maka jabatan dan kuasa itu lebih banyak untuk mengabdi pada kepentingan eksklusif diri.
Karena itulah, praktik self-validation lazimnya muncul karena pemujaan yang berlebihan pada kepentingan kuasa diri pelakunya. Hanya catatannya, praktik yang demikian ini tak akan bisa berbuah apapun kecuali membutuhkan pengakuan sesama. Karena itulah, apapun biasanya dilakukan untuk bisa mendapatkan pengakuan dari publik. Nah, pada titik inilah praktik self-validation bermula. Lalu, aksi pemujaan diri terjadi, bahkan secara berlebihan. Karena itulah, kepentingan sesama sangat bisa jadi diabaikan. Dengan cara apapun. Hingga nilai kesopanan dan kesantunan pun dilanggar. Bentuknya mulai suka menekan, intimidasi, hingga praktik sok jagoan seperti diuraikan sebelumnya.
Sebagai akibat langsung dari hilangnya nilai kesopanan dan kesantunan di atas, nilai investasi diri yang ditanamkan langsung ditakar oleh perangai buruk di ruang publik. Sebab, bagaimanapun, nilai investasi sangat membutuhkan nilai kepercayaan atau trust dari pasar. Itu tinjauan ekonomi yang juga bisa digunakan untuk mengukur keberhasilan investasi diri melalui capaian prestasi. Sebab, nilai kepercayaan atau trust orang lain sangat bergantung dari bagaimana seseorang bisa membawakan diri saat berada di ruang publik. Apalagi, publik memiliki nalar dan nurani tersendiri. Saat dicederai, hukuman sosial pun bisa dimulai.
Dalam konteks pelayanan umum secara partikular, ajaran kesopanan dan kesantunan di ruang publik berlaku tak hanya pada ranah penyelenggaraan dan pemberian layanan umum, melainkan juga pada praktik permintaan layanan umum itu. Karena itu, sopan dan santun itu berlaku secara resiprokal, baik bagi peminta maupun pemberi layanan. Bagaimanapun layanan umum adalah bagian dari aktivitas di ruang publik. Sebagai konsekuensinya, maka berlaku norma publik yang menunjuk secara khusus prinsip respect atau penghormatan terhadap sesama. Sopan dan santun adalah wujud konkret dari respect itu.
Sopan dan santun di ruang publik itu milik semua peradaban. Orang Barat memiliki konsep behave yourself yang sudah disinggung di atas. Anggitan behave yourself ini memiliki padanan, yakni behave well. Keduanya sama-sama bermakna perintah untuk berperilaku baik. Karena itu, orang yang berperangai dan atau berperilaku baik disebut a well-behaved person. Orang yang demikian berarti, seperti diuraikan oleh kamus Oxford (lihat URL: https://www.oxfordlearnersdictionaries.com/definition/english/well-behaved), someone who behaves in a way that other people think is polite or correct. Terjemahannya: “Seseorang yang berperilaku dengan cara yang menurut orang lain sopan atau benar.”
Bukankah Islam juga menaruh perhatian sangat tinggi pada urusan penghormatan kepada sesama? Bukankah Islam juga sangat menghargai orang yang berperilaku respect kepada sesama? Ajaran nubuat dalam Islam juga menekankan perintah berperangai dan atau berperilaku baik di ruang publik seperti yang dikandung pula oleh konsep behave yourself atau behave well di atas. Artinya, perilaku sopan dan santun adalah milik semua. Basisnya bisa nilai peradaban bangsa atau bisa pula ajaran agama yang diyakini. Semua sama-sama menempatkan sopan dan santun ke dalam untaian nilai dan perilaku baik di ruang publik.
Tentu masing-masing kita masih ingat terhadap Hadits riwayat Ahmad, at-Tirmidzi, ad-Darimi, al-Bazzar, al-Hakim dan al-Baihaqi berikut ini: اِتَّقِ اللّٰهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَاَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ . Bertakwalah kepada Allah dimana dan kapan saja kalian berada, ikutilah keburukan dengan kebaikan yang akan menghapusnya dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik. Secara spesifik, tersampaikan dengan jelas dalam ajaran nubuat ini bahwa sejajar dengan perintah bertakwa kepada Allah SWT adalah perintah berperangai atau berperilaku baik. Sopan dan santun di ruang publik, termasuk di antaranya di tempat kerja, adalah bagian dari terjemahan konkretnya.