Al-Qur’an mensugesti kaum muslimin untuk menggunakan akalnya guna merenungkan secara mendalam akhir kehidupan manusia yang berorientasi dunia. Ketika berorientasi dunia, maka hidupnya akan berhasil dan berujung pada hidup mewah dan bermegah-megahan. Kemewahan hidup inilah yang membuatnya merasa cukup. Mereka tanpa perlu lagi norma lain untuk mengatur dirinya. Dengan kekayaannya, mereka tenggelam dalam kemaksiatan. Di saat kemaksiatan tersebar secara terbuka, dan lalai terhadap peringatan rasul itu, maka Allah mengirim adzab dari langit untuk mengakhiri hidup para pendosa. Ramadhan merupakan momentum yang tepat untuk merenungkan dan mengasah kepekaan sosial, sehingga bisa merenungkan kembali tujuan hidup dengan mendekatkan diri kepada Allah dan menjauhkan diri dari berbagai kemaksiatan di dunia.
Kesombongan dan Kemewahan
Orientasi kepada dunia mendorong manusia untuk mengejar dan mengumpulkan harta kekayaan. Sebagai Maha Pencipta dan Maha Bijaksana, Allah mengapresiasi hasil kerja siapapun yang bekerja ketas dengan memberikan harta kekayaan yang melimpah. Dengan banyaknya harta kekayaan, manusia bukan mengingat kebesaran Allah, tetapi justru melalaikan-Nya. Mereka justru hidup bermega-megahan dalam kemewahan. Mereka merasa tujuan hidupnya tercapai. Di puncak kemewahan itu datang ajaran yang mengajaknya untuk mengingat akherat dengan mempergunakan harta kekayaannya secara ketentuan Sang Pemberi rejeki.
Alih-alih percaya, para pemuka yang kaya raya dan hidup mewah ini justru menolak secara kolektif. Kemapanan hidup mereka merasa terusik ketika diajak untuk mengingat akherat dan menghentikan perilaku menyimpangnya. Dengan harta kekayaan dan kekuatan fisiknya, digunakan untuk melakukan perlawanan terhadap rasul. Hal ini diabadikan Allah sebagaimana firman-Nya :
اَوَلَمْ يَسِيْرُوْا فِى الْاَ رْضِ فَيَنْظُرُوْا كَيْفَ كَا نَ عَا قِبَةُ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَكَا نُوْۤا اَشَدَّ مِنْهُمْ قُوَّةً ۗ وَمَا كَا نَ اللّٰهُ لِيُعْجِزَهٗ مِنْ شَيْءٍ فِى السَّمٰوٰتِ وَلَا فِى الْاَ رْضِ ۗ اِنَّهٗ كَا نَ عَلِيْمًا قَدِيْرًا
“Dan tidakkah mereka bepergian di bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul), padahal orang-orang itu lebih besar kekuatannya dari mereka ? Dan tidak ada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sungguh, Dia Maha Mengetahui, Maha Kuasa.” (QS. Fatir : 44)
Allah menunjukkan bahwa fisik mereka sangat kuat. Mereka bekerja siang malam untuk melahirkan berbagai karya dunia. Bahkan dengan kekuatan yang mereka miliki, mereka membangun rumah, istana, hingga tempat-tempat yang bisa dinikmati untuk bermaksiat. Atas kerja kerasnya, lahirlah peradaban besar dengan sarana fisik yang mengagumkan. Kekuatan peradaban inilah yang mereka banggakan, dan mereka berbuat apa saja termasuk berbuat kerusakan.
Tersebarnya kerusakan itu, maka datang rasul untuk memperbaiki keadaan. Alih-alih menerima nasehat rasul, mereka justru merekayasa untuk menolak ajaran dan bahkan ingin membunuh rasul. Atas perilaku jahat itu, maka Allah mengazab tanpa ada yang bisa melindunginya. Hal ini diabadikan Allah sebagaimana firman-Nya :
۞ اَوَلَمْ يَسِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَيَنْظُرُوْا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِيْنَ كَانُوْا مِنْ قَبْلِهِمْۗ كَانُوْا هُمْ اَشَدَّ مِنْهُمْ قُوَّةً وَّاٰثَارًا فِى الْاَرْضِ فَاَخَذَهُمُ اللّٰهُ بِذُنُوْبِهِمْۗ وَمَا كَانَ لَهُمْ مِّنَ اللّٰهِ مِنْ وَّاقٍ ٢١
Apakah mereka tidak berjalan di bumi, lalu memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka? Orang-orang itu lebih hebat kekuatannya daripada mereka dan (lebih banyak) peninggalan (peradaban)-nya di bumi. Akan tetapi, Allah mengazab mereka karena dosa-dosanya. Tidak ada suatu pun yang melindungi mereka dari (azab) Allah. (QS. Ghafir : 21)
Azab yang mereka terima tidak lepas dari pendustaan terhadap rasul. Rasul mengingatkan kepada mereka untuk menghentikan perilaku menyimpang mereka. Salah satu bentuk penyimpangan itu bekerja tanpa mengenal waktu. Seluruh waktunya dihabiskan untuk menumpuk dan memperbesar kekayaan. Penghalalan segala cara dilakukan hingga tanpa sadar melakukan penyimpangan. Tersebarnya penyimpangan itu tidak berhenti ketika datang peringatan dari rasul. Mereka bukan hanya tidak menghentikan perilaku menyimpang tetapi juga tidak berhenti memusuhi ajaran rasul. Hal ini diabadikan Allah sebagaimana firman-Nya :
أَوَلَمْ يَسِيرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ فَيَنظُرُوا۟ كَيْفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۚ كَانُوٓا۟ أَشَدَّ مِنْهُمْ قُوَّةً وَأَثَارُوا۟ ٱلْأَرْضَ وَعَمَرُوهَآ أَكْثَرَ مِمَّا عَمَرُوهَا وَجَآءَتْهُمْ رُسُلُهُم بِٱلْبَيِّنَٰتِ ۖ فَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَٰكِن كَانُوٓا۟ أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ
:Tidakkah mereka bepergian di bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul)? Orang-orang itu lebih kuat dari mereka (sendiri) dan mereka telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya melebihi apa yang telah mereka makmurkan. Para rasul telah datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang jelas. Allah sama sekali tidak menzalimi mereka, tetapi merekalah yang menzalimi dirinya sendiri. (QS. Ar-Rum : 9)
Allah menjelaskan bahwa perbuatan dzalim itu telah mendatangkan musibah besar yang menimpa para pendosa dan siapapun membiarkan kedzaliman itu. Orientasi pada dunia dan melalaikan akherat, di satu sisi mendatangkan kemakmuran dan kemapanan, tetapi di sisi lain memicu hidup mewah dan bermegah-megahan. Hal ini merupakan penyimpangan karena lalai terhadap kehidupa akherat.
Apa yang menimpa umat terdahulu hendaknya menjadi pelajaran berharga. Para pelaku maksiat terbesar umumnya mereka yang memiliki kekayaan harta dan hidup dalam kemewahan dan kemegahan. Kesuksesan dan kemapanan hidup membuat mereka merasa cukup, dan mereka merasa bahwa cara kerja dan aturan yang mereka ciptakan sudah terbaik.
Perilaku curang dan culas, seperti korupsi dan menindas orang dipandang hal yang biasa. Di saat itulah datang peringatan rasul untuk mengingatkan perilaku menyimpang. Bukannya sada, mereka justru ingin membunuh ajaran itu serta berupaya untuk membunuh rasul. Ketika tak sadar atas penyimpangan itu, maka Allah mengirimkan bencana yang mengakhiri kehidupan mereka. Mereka bukan hanya terbunuh tetapi binasa dan mengakhiri peradaban mereka. Surabaya, 26 Maret 2024
[Slamet Muliono Redjosari; Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat]