Column

Manusia tidak bisa lepas dari ketergantungannya pada alam.  Manusia dapat maju dan berkembang karena alam.  Seperti halnya makhluk hidup lainnya, manusia merupakan bagian integral dari alam di mana ia hidup, berkembang dan menentukan masa depannya.  Dari alam, manusia bernafas dan memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Dari alam pula, ia dapat melakukan kontemplasi atas berbagai makna dan misteri yang terkandung dalam hidup ini. 

Melalui alam, manusia dapat mengenal Tuhan, karena alampun merupakan “Kitab Suci” yang diturunkan oleh Sang Pencipta sebagai tanda-tanda kebesaran-Nya. Oleh karena itu, alam bukanlah tanpa makna dan tujuan. Ia ada dan diciptakan untuk membantu manusia menemukan dirinya dan mencapai jalan yang ingin ditujunya. Secara teologis, alam menyediakan kearifan sebagai bahan kontemplasi untuk mengingat kematian. Gugurnya dedaunan adalah salah satu tanda bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini, kecuali Allah.

Namun kearifan alam terhadap manusia itu justru dibalas dengan cubitan dan cibiran.  Manusia terasa dungu dan egois, mengekploitasi alam dengan tanpa batas dan tanpa kompromi padahal alam memiliki aturan main sendiri yang harus dihormati. Karena ketamakannya, manusia ingin memenuhi kebutuhannya sendiri secara keseluruhan dengan menelanjangi alam dan merusaknya tanpa ada sedikit rasa hormat kepadanya. 

Di samping ketamakannya, satu hal yang mendorong manusia untuk bersifat eksploitatif adalah kebebasannya.  Kebebasan ini membukakan jalan baginya untuk melakukan apa saja guna mencapai tujuan yang diinginkannya. Dalam diri manusia ada kehendak yang bersifat motivasional yang mendasari perilaku dan tindakannya. Kehendak itu bisa saja dipengaruhi oleh agama, politik, budaya atau yang lainnya. Karena itu, kehendak dapat kita bagi menjadi kehendak agamis, politis, atau budaya.

Dalam masyarakat kita sering melihat terdapat beragam konsekuensi dari kehendak; yaitu konsekuensi yang dipengaruhi oleh agama, politik dan budaya. Konsekuensi yang ditimbulkan dari kehendak agama berbeda dengan yang didorong oleh kehendak politik atau budaya. Bahkan kehendak yang didorong oleh ajaran agama yang satu berbeda dengan konsekuensi yang dipengaruhi oleh ajaran agama yang lain.  Islam menghasilkan konsekuensi yang berbeda dari Kristen. Dan itu dapat dijelaskan dengan mengatakan bahwa struktur masyarakat berikut norma dan kebiasaannya yang terbangun atas dasar ajaran Islam akan berbeda dengan struktur masyarakat yang dibangun atas dasar ajaran Kristen. Hal yang sama berlaku bagi agama lain mulai dari Hindu, Buddha dan lainnya. Ini juga berlaku di dunia politik dan budaya. 

Dalam dunia pemikiran pun demikian. Kita dapati umpama, bahwa materialisme memunculkan budaya dan mentalitas materialistik, kapitalisme melahirkan budaya kapitalistik, demikian seterusnya. 

Terlepas dari itu semua, bisa pula kita beranggapan bahwa sebenarnya manusia adalah makhluk yang independen yang tidak dipengaruhi oleh apapun juga termasuk oleh agama, politik, budaya, ideologi maupun pemikiran yang berkembang. Dalam konteks ini, kita dapat mengatakan bahwa apa yang terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari adalah murni hasil dari kebebasannya sendiri. Ini ada benarnya jika kita melihat manusia sebagai makhluk rasional yang memiliki kesadaran dalam bertindak. Sebagai manusia, kita selalu sadar dalam menentukan tindakan kita, sehingga apapun yang kita lakukan bisa saja tidak ada sangkut pautnya dengan ajaran agama tertentu atau dengan dogma politik, budaya, ideologi atau aliran pemikiran.

Anggapan manapun yang kita ambil akan mempengaruhi pandangan kita tentang pola sejarah manusia.  Jika kita mengambil pandangan yang pertama, maka kita akan cenderung mengatakan bahwa sejarah manusia dan kehidupannya bersifat deterministik, yaitu ditentukan oleh kekuatan lain di luar manusia seperti agama, politik dan budaya. Namun jika kita mengambil pandangan yang kedua, maka kita cenderung berpandangan bahwa pola dan nasib sejarah amat tergantung pada sikap dan perilaku manusia sebagai makhluk yang independen.

Pandangan yang pertama bisa saja kita terima selama ini berarti bahwa manusia tidak selamanya mampu menentukan nasibnya sendiri dan membuat aturan mainnya sendiri dalam kehidupannya.  Kendati manusia memiliki kebebasan, ia tidak selalu mampu untuk mengupayakan yang terbaik bagi dirinya sendiri dan kehidupannya. Determinisme mutlak memang tidak bisa diterima karena manusia harus diakui independensinya. Dan independensi mutlak pun tidak berlaku bagi manusia sebab ada beberapa hal di dalam dunia ini yang manusia tidak memiliki otoritas atau kemampuan untuk menghadapinya.  Hal-hal seperti kelahiran, kematian, dan perkawinan merupakan wilayah-wilayah di mana manusia tidak memiliki campur tangan di dalamnya. Itu semua tidak tunduk pada kehendak manusia melainkan takluk pada kehendak Tuhan yang Maha Kuasa. Untuk itulah, independensi manusia harus dibatasi karena tidak dapat menerobos semua wilayah yang ada di dalam kehidupannya. (Bersambung)

Prof. Abdul Kadir Riyadi, Ph.D.
Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat