Column
Oleh: Prof. Akh. Muzakki,M.Ag, Grad.Dip.SEA,M.Phil, Ph.D (Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya)

Judul di atas aslinya diambil dari judul buku. Dengan redaksi yang sama. Dari karya pengarang motivator, William Guidara. Panggilan akrabnya, Will Guidara. Dia adalah Pengusaha muda. Kelahiran 1979. Bergerak di bidang layanan hospitality. Mulai dari restoran hingga perhotelan. Selain memiliki restoran Amerika yang berbasis di New York City, dia juga pada tahun 2011 mendirikan grup perhotelan bersama chef Daniel Humm. Namanya, Make It Nice. Sejumlah hotel didirikan dan dikelolanya secara patungan, di antaranya Eleven Madison Park, NoMad New York, NoMad Los Angeles, NoMad Las Vegas, NoMad Bar, dan Made Nice.

Inilah judul lengkap buku karya Will Guidara itu: Unreasonable Hospitality: The Remarkable Power of Giving People More Than They Expect (Optimism Press, 2022). Untuk bisa memahami konsep unreasonable hospitality yang kujadikan sebagai judul tulisan ini, aku pun dari awal sekali tertarik dan ingin memahami isi yang dikandung oleh subjudul buku itu: The Remarkable Power of Giving People More Than They Expect. Kekuatan Luar Biasa dalam Memberi Orang Lebih dari yang Mereka Harapkan. Buku ini memberi banyak inspirasi. Tentang prinsip hospitality. Itu karena pekerjaan Will Guidara, sang penulis, adalah di sektor hospitality. Khususnya bidang restoran dan perhotelan. Seperti dijelaskan di atas.

Foto: Sampul Depan Buku Karya Will Guidara

Tiba-tiba saja kuingat buku itu. Kala ikut menjamu makan malam tamu kehormatan untuk Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEBI) UINSA Surabaya, pada Senen (15 Juli 2024). Ada dua tamu kehormatan dari sesama akademisi serumpun. Sama-sama di bidang ilmu ekonomi. Namanya Bu Shanty Oktavilia dari Universitas Negeri Semarang dan Bu Ernawati dari Universitas Halu Oleo. Jamuan makan malam itu di sebuah restoran ternama di Surabaya. Khusus untuk makanan serba sari laut. Letaknya di kawasan Kertajaya. Hampir semua kenal restoran yang terkenal dengan masakan seafood yang maknyus itu. 

Semua menu pun tersaji di atas meja. Penuh. Kami yang duduk di ruang khusus itu tinggal memilih makanan kesukaan. Mulai yang goreng maupun yang berkuah. Namun, tiba-tiba saja aku kaget luar biasa. Karena, Bu Shanty mengambil masakan ikan berkuah dan meletakkannya di piring. “Lho..lho…, tolong mintakan mangkuk kecil dong?” sahutku begitu melihat Bu Shanty meletakkan ikan berkuah itu di piringnya. “Ini gimana pelayan resto ini. Mestinya kalau ada pesanan ikan berkuah, disediakan pula mangkuk kecil. Jika tidak, kan kuah ikan akan melebar sepiring. Kuahnya pun akhirnya tak bisa dinikmati. Bersama daging ikan yang bikin selera membuncah itu.” Begitu kataku kala itu.  

Dipanggillah si Mbak pelayan resto yang siaga di depan ruangan. Oleh teman-teman FEBI, ditanyalah dia apakah bisa menyediakan mangkuk kecil untuk sajian ikan berkuah atau tidak. Ternyata tak lama dari itu, dia pun masuk ke ruang makan dengan membawa mangkuk kecil itu. “Nah, ini baru keren. Masa sih, makan ikan berkuah di piring yang melebar? Apa nikmatnya?” sahutku seketika begitu melihat mangkuk kecil itu akhirnya diterimakan kepada Bu Shanty dan teman-teman malam itu. 

Mumpung mendapati kejadian yang patut jadi pelajaran bersama itu, aku pun berujar ke teman-teman seisi ruangan. Begini ucapku: “Nah, ini contoh yang baik untuk tidak ditiru. Bekerja dengan abai pada detail. Memberikan pelayanan tak sempurna. Bukankah mangkuk kecil juga tersedia di restoran ini. Bukankah restoran juga tahu bahwa makan ikan berkuah tidak akan nyaman jika ditumpahkan di piring pipih-melebar? Bukankah pegawai restoran itu juga sudah tahu bahwa makan masakan berkuah butuh mangkuk kecil untuk mewadahi kuahnya? Lalu kenapa tak dilakukan tadi?”

Mendengar celotehanku ini, seisi ruangan tampak makin asyek. Sambil makan, kami semua akhirnya berdiskusi ringan. Tentang penyelenggaraan layanan yang terbaik. Salah satunya harus tampil sempurna dengan layanan yang diberikan. Tidak boleh memberi layanan biasa-biasa saja. Dan macam-macam isu ikutan yang muncul kala itu. Semua akhirnya membincang soal pentingnya layanan prima. Apalagi, jika bisnis yang diperdagangkan mengandalkan keramahtamahan seperti layanan kuliner dan perhotelan. Tentu saja juga berlaku bagi penyelenggaraan layanan sektor-sektor lainnya pada umumnya.

Karena kejadian di restoran seafood itulah, ku jadi ingat kembali buku karya Will Guidara di atas. Bagiku, pelayan restoran itu memberikan pelayanan yang tidak sempurna. Indikatornya sederhana. Masakan ikan berkuah yang seharusnya difasilitasi dengan mangkuk kecil tak juga dilakukan dari awal.  Hingga konsumen pun harus meminta. Itu artinya, layanan yang diberikan kepada konsumen di bawah ekspektasi yang dimiliki oleh konsumen. Ini menjadi kelemahan yang tak patut dicontoh. Karena, layanan itu, sekali lagi, di bawah ekspektasi konsumen, dan karena itu di bawah standar kesempurnaan layanan pula.

Padahal, kesempurnaan merupakan kata kunci dalam bisnis layanan. Apa saja jenis dan bentuknya. Itu juga yang menjadi perhatian Will Guidara dalam karyanya di atas. Dia menggunakan kata unreasonable untuk memaknai kata yang dia puja dalam industri layanan (service industry): perfection atau kesempurnaan. Dalam bukunya itu, dia menstimulasi pembaca dengan pertanyaan yang menjadi favoritnya: “What’s the difference between service and hospitality?” Apa bedanya service dan hospitality? Secara leksikologis, service berpadanan dengan kata “pelayanan” dalam Bahasa Indonesia. Hospitality serupa dengan “keramahtamahan”.

Will Guidara memang orang yang sangat profesional. Tak akan menutup atas kebaikan. Oleh siapapun. Bahkan pada pegawai yang dia berhentikan pun, tetap saja dia mengenang kebaikannya. Lihatlah bagaimana dia menemukan jawaban atas pertanyaan esensial tentang perbedaan antara service dan hospitality di atas. Dia justeru mengutip jawaban dari pegawai yang pernah dipekerjakannya namun kemudian dipecatnya. Seperti diceritakan dalam bukunya Unreasonable Hospitality (2022:4) di atas, dia pun bilang begini: The best answer I ever got came from a woman I ended up not hiring. She said, “Service is black and white; hospitality is color.” Terjemahannya begini: Jawaban terbaik yang pernah saya dapatkan datang dari seorang wanita yang akhirnya tidak saya pekerjakan. Dia berkata, “Layanan bersifat hitam dan putih; keramahtamahan adalah warna.”

Lalu apa yang dimaksud dengan ungkapan “Service is black and white; hospitality is color” di atas? Apa makna filosofis di balik ungkapan warna atas layanan (service)dan keramahtamahan (hospitality)di atas? “Black and white”, kata Will Guidara (2022:5), berarti “Anda melakukan pekerjaan dengan kompetensi dan efisiensi.” Dalam makna inferensial dari rumus Will Guidara itu, sebuah penunaian pekerjaan akan bernilai putih atau white jika di sana terlaksana prinsip kompetensi dan efisiensi. Saat kedua prinsip ini absen dalam penunaian pekerjaan, maka penunaian pekerjaan itu akan masuk kategori hitam atau black.  

Meskipun prinsip kompetensi dan efisiensi akan menentukan apakah penunaian pekerjaan seseorang masuk kategori layanan hitam atau putih, Anda disarankan oleh Will Guidara untuk tidak berhenti pada praktik penunaian pekerjaan layanan itu semata. Anda harus meningkatkan kualitas layanan kepada tingkat yang lebih besar yang diilustrasikan dengan rumpun konsep warna (color). Apa itu? Begini kata Will Guidara (2022:5), “color” means you make people feel great about the job you’re doing for them.” Terjemahan mudah begini: “Warna” berarti Anda membuat orang merasa senang dengan pekerjaan yang Anda lakukan untuk mereka. Kata kuncinya adalah making people feel great. Membuat orang merasa senang.

Nah, perasaan senang adalah indikator kepuasan. Dan hospitality sendiri adalah persoalan kepuasan. Dan sebaliknya, kepuasan adalah hospitality. Maka, memberi service tak otomatis berarti telah menunaikan hospitality. Memberi pelayanan tak serta-merta berarti kita telah menyelenggarakan keramahtamahan. Service itu hanya awal. Hospitality itu ujung dari proses kerja pelaksanaan. Tak serta-merta saat service dilakukan lalu membuat Anda sampai kepada hospitality. Sekali lagi, tidak. Kalau boleh diungkapan dengan kalimat lain, service itu hanya kulit. Hospitality adalah isinya. Tak selalu menyentuh kulit membuat kita sampai kepada isi.

Maka, jangan berhenti di kulit. Engkau harus bergerak terus ke relung yang lebih dalam lagi untuk bisa menyentuh isi. Will Guidara (2022:5) mengilustrasikan begini: Getting the right plate to the right person at the right table is service. But genuinely engaging with the person you’re serving, so you can make an authentic connection—that’s hospitality. Untuk mudahnya, begini terjemahannya: “Memberikan piring yang tepat kepada orang yang tepat di meja yang tepat adalah sebuah pelayanan. Namun benar-benar terlibat dengan orang yang Anda layani, sehingga Anda dapat menjalin hubungan yang autentik—itulah keramahtamahan.

Sebabnya sederhana sekali. Service tak bisa bergerak sendiri ke arah hospitality. Karena, dalam gambaran proses, service hanya awalan saja. Juga, dalam ilustrasi lain, kulit tak bisa disebut isi. Dan kulit tak bisa mengantarkan orang yang menyentuhnya untuk sampai kepada isi. Mengingat keberadaanya hanya sebatas awal dan atau kulit semata, maka service perlu digerakkan ke arah lapisan yang lebih dalam. Agar bisa sampai bersentuhan dengan isi. Sebab, yang lebih penting adalah isi, bukan kulit, atau ujung perjalanan, dan bukan awalan. Kata “isi” dan “ujung” di sini, sekali lagi, adalah substansi dari sesuatu.

Lalu pertanyaannya, bagaimanakah menggerakkan service agar bisa terkonversi menjadi hospitality? Jawabannya: engaging. Melibatkan diri dengan yang dilayani. Atau terlibat dengan orang yang dilayani. Maka, menyapa dengan segala kesantunan dan kemurahan hati adalah langkah awal. Lalu, menyatakan “silakan menikmati, semoga penuh berkah” adalah salah satu cara lanjutan untuk melakukan proses engaging dengan mereka yang dilayani. Unkgkapan untuk engaging itu dilakukan di awal pemberian pelayanan kepada konsumen. Juga, mengungkapkan “Terima kasih atas kunjungannya, semoga berkenan berkunjung kembali dan bertambah berkah” adalah contoh cara lanjutan untuk melakukan praktik engaging kepada konsumen di akhir pelayanan.  

Contoh konversi di atas bisa digunakan untuk konteks pelayanan lainnya. Apa saja. Bidang apa saja. Oleh siapa saja. Pesan dasarnya sangat sederhana. Dalam melaksanakan tugas pelayanan, jangan berhenti pada praktik penyuguhan layanan semata. Praktik pemberian layanan itu harus diikuti dengan sapaan, kesantunan, keriangan, dan semacamnya dalam proses pelayanan itu. Bukan hanya sekadar menyuguhkan makanan-minuman dalam bisnis layanan kuliner. Tapi praktik penyuguhan itu diikuti dengan segala kesepenuhhatian. Indikatornya adalah sapaan, kesantunan, keriangan, seperti dijelaskan sebelumnya. Itu semua dibutuhkan agar service bisa segera bergerak naik menjadi hospitality. Pelayanan segera naik menjadi keramahtamahan. Karena, keramahtamahan adalah penghormatan. Aku pun lalu jadi teringat dengan ayat al-Qur’an Surat An-Nisa Ayat 86. Begini bunyi ayat itu:

وَإِذَا حُيِّيتُم بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا۟ بِأَحْسَنَ مِنْهَآ أَوْ رُدُّوهَآ

Apabila engkau diberi penghormatan dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu dengan yang serupa. Ini adalah ajaran kemuliaan. Sumbernya memang agama. Tapi, manajemen modern pun juga mengamalkannya. Bukankah kehadiran konsumen adalah kehormatan? Direspon balik dengan penghormatan lebih, bukankah itu juga ajaran agama? Maka, berilah lebih dari yang diharapkan. Berilah layanan lebih sebelum harus diminta. Kurang dari yang diharapkan, tentu itu sebuah pencedaraan atas prinsip unreasonable hospitality. Dan itu bukan saja prinsip manajemen modern semata, tapi juga ajaran agama.