Dr. Nyong Eka Teguh Iman Santosa, M.Fil.I.
Kaprodi Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Ampel Surabaya
Salah seorang dosen di Prodi Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Ampel Surabaya bercerita jika awalnya ia sama sekali tak bercita-cita menjadi pendidik. Bahkan menurutnya, sejak kelas 4 Sekolah Dasar ia sudah berkeinginan agar kelak jangan sampai (amit-amit) menjadi guru, apalagi dosen. Pemantiknya mungkin sepele. Seusai jam olahraga, ketika kembali ke kelas untuk mengganti seragam kaos dengan pakaian seragam Pramuka, ia sempat bersitegang dengan teman. Rebutan pakaian seragam yang memang biasa ditumpuk begitu saja sebelum ke lapangan. Ia merasa yakin bahwa salah satu seragam itu miliknya, tetapi salah satu temannya mengaku itu punyanya. Si teman kemudian mengangsurkan seragam lainnya yang menurutnya itulah baju dia. Pakaian itu terlihat seperti baju bekas. Warna coklatnya sudah memudar dan ada sedikit robekan yang sudah disulam dengan benang. Ketika mereka eyel-eyelan, ibu guru kemudian datang menengahi. Beliau kemudian mengatakan kepadanya dengan suara lembut bahwa seragam yang tengah mereka perebutkan itu memang milik temannya. Artinya, baju yang sebenarnya milik dia adalah ‘yang bekas’. Ia akhirnya manut. Meski dalam hati masih merasa itu bukan bajunya, bukan seragam yang biasa ia kenakan.
Sepulang sekolah langsung saja ia tanyakan itu ke ibunya. Ia ceritakan kejadiannya dan lalu menanyakan apa benar seragam yang ia pakai itu adalah baju yang tadi pagi sang ibu bantu mengenakannya. Beliau mengangguk. Dan seketika ia saksikan pendar membasah di kedua mata ibunya. Tak kuasa berucap lagi, karena ia tahu apa artinya. Itu memang ‘seragam baru’-nya, yang ia tak lagi berani bertanya, dari mana sang ibu mendapatkannya. Pada detik itulah ia bersumpah tak akan pernah menyoal apapun yang orang tua berikan kepadanya. Ia akan terima dan syukuri apapun keadaannya. Gak oleh ngersulo! Gak oleh anyi-anyi! Hidup ini tak selalu akan sesuai atau menuruti kemauan kita. Maka, kalau ada, ya disyukuri. Kalau tidak ada, ya sabar. Titik!
Hanya saja, peristiwa itu rupanya juga mengusik sisi gelap benaknya dengan serapah: Aku gak kepingin dadi guru! Menginsyafi dari pengalaman nyata betapa kehidupan keluarga guru itu serba pas-pasan. Tak heran jika di lubuk hati terbersit keinginan bisa merasakan kehidupan keluarga bukan-guru seperti beberapa temannya yang terlihat serba mudah dan begitu berkecukupan. Asa itu tetap terpelihara hingga jelang lulus dari SMA Negeri 1 Sidoarjo (SMANISDA). Ia sudah berencana ikut ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN) dengan pilihan pertama Ekonomi Unibraw dan Ekonomi Unair pilihan kedua. Mimpinya, Ia ingin kehidupan yang berbeda dengan orang tua. Bahkan minat pada sastra yang sempat menggodanya untuk bisa kuliah di Bahasa dan Sastra Indonesia Unair pun tersisihkan. Dan akhirnya, ikutlah ia ujian itu dengan kedua pilihan tersebut. Meski tak pernah ikut les di lembaga bimbingan belajar (bimbel) karena alasan biaya, kepercayaan dirinya masih cukup tinggi. Sebagai siswa yang pernah dipercaya jadi salah satu Wakil Ketua OSIS SMANISDA, bisa-lah! Meski kemudian terbukti, ia terlampau kepedean. Hehehe! Tapi hal ini akhirnya ia syukuri. Mengapa?
Seusai mengikuti UMPTN, bapaknya menyodorkan sebuah majalah keagamaan. Di halaman yang terbuka, ada iklan sebuah pesantren di Semarang, Jawa Tengah. “Kamu mondok ae Le,” ucap sang bapak. “Nek biayane semono, insya Allah, bapak iso.” Ia mencermati rincian biaya pendidikannya plus hidup sebagai santri di sana. Sangat terjangkau, ia membatin. “Injih, Pak,” ia mengiyakan anjuran bapaknya. Prinsip yang sudah ditanamkan sejak kecil, taat sama orang tua, jangan membantah mereka. Walau ia sadar betul ketika itu, dengan mondok, ‘mimpi’-nya mungkin harus terkubur. Maka jadi berangkatlah ia mondok. Singkat cerita, sungguh, hal yang paling ia syukuri di belakang hari salah satunya justru adalah karena telah mengikuti arahan bapaknya untuk mondok saat itu. Pengetahuan dan pengalaman selama nyantri pada akhirnya banyak merubah cara pandang tentang apa yang sebenarnya harus dicari manusia dalam hidupnya di dunia ini. Hingga tanpa dipaksa, seolah mengalir begitu saja, pada akhirnya, perjalanan hidup justru mengantarkannya mengikuti jejak kedua orang tuanya. Menjadi guru juga, sama-sama pendidik meski sebutannya berbeda, dosen. Soal ‘ekonomi’, sebelum meninggalkan halaman pondok sudah ia azamkan, “Kutitipkan periuk nasi kehidupanku pada-Mu, ya Rabb.”
Ketika hendak memulai tugas sebagai dosen, sang bapak ‘mendudukkan’-nya untuk dinasehati. Inti pesannya ada tiga. Dan ketiga pesan itu sekaligus menjadi alasan mengapa guru atau dosen itu merupakan profesi yang tetiba tampak ‘mengerikan’ baginya. Bukan ‘ngeri’ karena harus siap hidup dalam kesederhanaan, tetapi ‘ngeri’ lebih karena beratnya tanggung jawab profesi ini harus ditunaikan. Apa saja pesan beliau kepadanya?
Pertama, “Dadi guru iku kudu ikhlas.” Bagi sang bapak yang sudah lebih dari separuh hidupnya diabdikan sebagai seorang guru, profesi ini adalah jalan kesucian, jalan kenabian. Dalam falsafah Jawa, guru adalah seseorang yang seharusnya sudah selesai ngelmu jati-diri, ngelmu sangkan paraning dumadi, dan ngelmu rahayu mukti. Karenanya, jalan seorang guru semestinya sudah memasuki maqam ngelmu sejati. Di titik ini, ‘dunia’ bukan lagi menjadi puncak keinginannya. Di titik ini, lakunya hanyalah satu, nyuwung, supaya bisa nyawang.
Kedua, “Ojo nganti duweni rasa serik marang murid-muridmu.” Sang bapak menjelaskan jika guru itu bisa dipandang sebagai orang tua kedua bagi peserta didik. Wajib bagi seorang guru bisa menjaga lisannya, lebih-lebih lagi hatinya. Ucapan lisan maupun kemerjab batin (krenteke ati) seorang guru bisa merupakan doa bagi murid-muridnya. Maka senakal atau sebandel apapun seorang murid, sebagai guru tetap berusaha-lah hanya mengucapkan hal yang baik bagi murid dan berprasangka baik pada masa depan si murid. Bisa jadi, mereka yang mungkin ‘masih bandel’ hari ini, dari sebuah doa yang terucap oleh lisan guru atau sebuah pengharapan yang terbetik di hati guru, Tuhan mengijabah dengan memberi kehidupan yang baik baginya di masa depan. Sebaliknya, jika lisan dan hati guru senantiasa ‘negatif’ kepada si murid, pada hakikatnya, dia sudah kehilangan hakikat jati dirinya sebagai seorang guru. Dia pada detik itu juga bukan lagi seorang pendidik, tetapi perusak anak didik.
Ketiga, “Ojo nganti ilang kurmatmu marang guru-gurumu.” Kata sang bapak, sampai kapanpun, seorang guru ataukah dosen, pada saat yang sama adalah tetap seorang murid atau mahasiswa juga. Karena dia bisa menjadi guru adalah karena berkat asuhan dari para guru juga. Maka ketika suatu saat, katakanlah, seorang guru secara akademik, profesional, maupun sosial, memiliki capaian prestasi atau kedudukan yang mungkin lebih tinggi dari guru-gurunya, tidak sepantasnya, dan sudah tidak seharusnya ia menjadi kurang apalagi hilang rasa hormatnya kepada mereka yang pernah mendidik dan mengasuhnya di masa lalu. Bisa jadi, bukan materi pengetahuan yang mereka ajarkan di kelas yang ikut mengantarnya menjadi seorang yang dipandang sukses oleh kebanyakan manusia, tetapi tidak mustahil, bahwa pencapaiannya itu justru karena Tuhan telah mengijabah sebagian doa dan pengharapan dari salah satu atau lebih guru-gurunya. Doa atau pengharapan yang mungkin tak sempat ia dengar, karena sang guru memunajatkannya di kesunyian malam saat ia bersujud di hadapan Sang Penguasa Semesta Alam.