Column

TERLALU MANIS UNTUK DILUPAKAN 

Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Tawa itu pun pecah. Kami bertiga tak mampu menahannya. Dipicu oleh kisah lucu penuh canda. Lucu yang berasal dari sikap lugu. Polos. Karena memang dasarnya tidak tahu. Ya, siang itu Prof Inung, Direktur Pendidikan Tinggi Islam (Diktis) berbisik ke arahku. Sambil melirik sahabatku yang lain. Prof Muhibbin Zuhri, namanya. Wakil dekan bidang kemahasiswaan dan kerjasama Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Ampel Surabaya. Dengan suara pelan nan pasti, Prof Inung berujar lirih: “Pak Bos, Prof Muhibbin nggak bisa membuka tutup botol😁.”

Kulihat memang Prof Muhibbin sedang memegang botol berisi air putih. Tangannya memegang tutupnya. Sambil menggeserkan pandangan ke sisi kiri dan kanan botol. Dia memang sedang membolak-balik tutup botol. Ditarik ke atas, tutup tidak terbuka. Ditarik ke bawah, tetap tak terbuka. Diputar ke samping, juga tak mau terbuka juga. “Awalnya kukira beliau ini sedang bermain-main dengan botol berisi air putih itu, tapi lama-lama saya baru tersadar beliau tak bisa membuka botol berisi air putih itu,” ujar Prof Inung sambil tertawa terkekeh-kekeh.

Siang itu, Minggu (21/01/2024), sedang berlangsung pengukuhan guru profesional Batch 2. Hasil proses Pendidikan Profesi Guru Dalam Jabatan. Atau dikenal dengan akronim PPG Daljab. Oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) UINSA Surabaya. Di Hotel Harris, Sukomanunggal, Surabaya. Pengukuhan kali itu cukup Istimewa. Dihadiri langsung oleh Direktur Diktis. Setelah hampir dua jam berlangsung, tampak pimpinan yang hadir di atas panggung mulai butuh minum. Prof. Muhibbin Zuhri adalah salah satu di antara kami yang mulai merasa butuh minum. Dia pun kontan mengambil botol air minuman yang tersaji di meja di hadapannya. Terjadilah kisah lucu sebagaimana kuuraikan di atas.

Foto:  Prof Inung Sedang Membriefing Prof Muhibbin Cara Membuka Botol

Kisah lucu di atas patut menjadi bahan refleksi. Betapa dalam hidup selalu ada keterbatasan. Kuat di satu sisi, tapi bisa lemah di sisi lainnya. Menguasai di satu bidang, tapi bisa saja awam pada bidang yang lain. Dan itu biasa saja. Lumrah dalam hidup. Lazim dalam keseharian. Pertanda bahwa kemanusiaan ada pada semua tanpa ada pembatasan. Maka, saat muncul tawa dan sejenisnya, itu adalah bagian dari respon atas kelucuan. Tertawa adalah bagian dari cara untuk menertawakan diri sendiri atas berbagai keterbatasan. Yang bisa bermunculan tanpa mengenal kapan. Bisa terjadi kepada siapa saja yang bersifat kebetulan. Walaupun maknanya menunjukkan nilai dan derajat kemanusiaan. Bahwa kita semua dalam keterbatasan. Hanya, ukuran dan ekspresinya saja bisa berlainan.

Memang, tak semua kita pasti mengetahui semuanya. Tak semua kita memang pasti menguasai seluruhnya. Tak semua kita senantiasa paham atas apa saja. Keterbatasan kerap menjadi bagian dari hidup. Pengetahuan pun tetap bisa dipahami serba terbatas. Dari seluruh pengetahuan yang ada, tak semuanya dalam penguasaan. Keterampilan pun juga tak lengkap. Dari seluruh keterampilan hidup yang dibutuhkan. Ditambah lagi, pengalaman tak selalu sempurna. Bahkan, pengetahuan sering tak lengkap dan sempurna saat pengalaman juga menjadi bagian dari keterbatasan dalam kehidupan.

Untung saja, ada anggitan peer learning. Belajar pada dan oleh teman sejawat. Konsep ini menjadikan kita semua sadar atas keterbatasan. Sebagai isyarat penguat nilai kemanusiaan. Caranya, kepada sejawat pun kita perlu belajar. Kepada rekan pun kita disadarkan untuk tetap merunduk dan belajar. Memang kalau dalam pendidikan formal, peer learning selalu mempersyaratkan fasilitasi dalam bentuk kegiatan yang didesain secara sengaja untuk terjadinya proses belajar mengajar. Tapi, dalam kehidupan lebih luas, peer learning itu berlaku untuk dan dalam kegiatan apapun. Bisa saja muncul saat ngopi. Bisa pula muncul saat bermain musik bareng. Dan seterusnya.

“Sementara pendidikan formal itu sebuah keharusan,” kata Noriko Hara dalam bukunya Communities of Practice (2009:51), penting pula dilakukannya “pembelajaran informal melalui percakapan dengan rekan sejawat atau pengamatan atas sesama… .” Dalam redaksi aslinya, ilmuwan dari School of Library & Information Science (SLIS), Indiana University, Bloomington, itu menyatakan begini: While formal education is necessary, …informal learning via conversations with colleagues or observation of other[s]… .” Itulah sebetulnya di antara substansi dasar yang menjadi pembangun anggitan peer learning. Baik untuk kepentingan pendidikan formal maupun informal.

Dalam kasus membuka tutup botol di atas, kebetulan Prof Muhibbin dalam posisi merasa perlu belajar karena ketidaktahuan. Dan Prof Inung dalam posisi terpanggil untuk memberi masukan atas dasar pengalaman. Proses berbagi pengetahuan dan keterampilan ini kebetulan saja terjadi pada kasus keperluan untuk membuka tutup botol. Dan keduanya sedang mempertontonkan kepada kita semua bahwa proses berbagi bisa terjadi oleh dan dari siapa saja. Tak perlu ada malu di sana. Tak perlu ada rikuh di sana. Tak perlu ada segan. Tak perlu ada canggung di sana. Karena, berbagi pengetahuan dan keterampilan bisa oleh dan dari siapa saja. Di situlah sejatinya anggitan peer learning harus diletakkan.

Lebih dari itu, proses berbagi pengetahuan dan keterampilan dalam kerangka peer learning ini dapat diberlakukan untuk kegiatan apa saja. Selama hayat di kandung badan, selama itu pula aktivitas berbagi ini tak boleh dikesampingkan. Karena itu, penting untuk melihat orang lain dari segala kelebihan dan kebaikan yang dimilikinya. Bukan kelemahan dan kekurangan yang ada padanya. Sebab, dengan cara begitu, kita bisa belajar atas dan pada sesama. Kita bisa menghargai kelebihan sesama. Kita bisa menempatkan orang lain dengan segala kelebihan dan keistimewaan yang dipunya. Bukan “menginjak” orang lain karena kelemahan dan atau kekurangan yang dimilikinya.

Karena itu, terlalu manis untuk dilupakan adalah nasehat hidup untuk sebuah kemuliaan. Petunjuk hidup dalam kebajikan. Sekecil apapun, setiap orang pasti punya kelebihan. Seremeh apapun, setiap kita pasti memiliki kebaikan. Terlalu sayang jika kelebihan itu tak diasup. Terlalu sayang jika kebaikan itu dilupakan. Dari siapapun kelebihan dan kebaikan itu berasal. Dan juga oleh siapapun pengasupan dilakukan. Jangan sampai melupakan kebajikan dan kelebihan sesama hanya karena kesombongan yang mengedepan. Terlalu merugi jika kebaikan itu tak dijadikan sebagai pelajaran. Dari siapapun kebaikan itu tertumbuhkan. Juga dalam konteks dan kesempatan apapun kebaikan itu tersemaikan.

Yang harus dilakukan, justeru, adalah aksi ambil tindakan. Berupa pengambilan pelajaran. Belajar dari kelebihan sesama. Bahkan, kelemahan sesama pun bisa merupakan kebajikan untuk diambil sebagai sebuah pelajaran. Untuk hidup dalam kemuliaan. Dengan cara tidak meniru pengalaman negatif yang pernah dilalui sesama. Tidak mengulang keburukan yang pernah dilakukan atau dialami sesama. Kedewasaan seseorang ditakar oleh seberapa terampil dia bisa mengambil pelajaran hidup dari pengalaman oleh yang lainnya. Baik ataukah buruk pengalaman itu mewujud dalam senyatanya.

Berangkat dari anggitan peer learning di atas, kisah lucu tentang membuka tutup botol di atas memberikan sejumlah pelajaran penting. Terutama bagi mereka yang berada dalam posisi kepemimpinan. Termasuk di kampus yang didambakan. Pertama, tetaplah rendah hati pada yang dipunya. Setiap pribadi pemimpin manajemen patut yakin bahwa yang belum dipunya jauh lebih banyak daripada yang sudah dimilikinya. Maka, penting untuk terbuka pada nasehat dan masukan. Dari siapa saja. Dan oleh siapa saja. Tak perlu menutup diri dari masukan sesama. Termasuk dari mereka yang berada dalam struktur jabatan yang lebih rendah atau di bawahnya.

Kisah membuka tutup botol di atas menjelaskan kerendahhatian kedua profesor itu.  Yang diketahui dan yang tidak diketahui dibagi setara di antara keduanya. Yang dipunya dan yang tidak dipunya dibagi habis di antara mereka berdua. Dan kisah tetap rendah hati di atas kebetulan saja terjadi pada keterampilan teknis membuka tutup botol air putih. Bisa jadi cerita serupa muncul pada kasus dan pengalaman yang berbeda. Bisa dalam melaksanakan tugas pekerjaan. Bisa pula dalam hal keseharian. Hanya, catatannya cuma satu: rendah hati dalam penguasaan pengetahuan. Rendah hati dalam praktik hidup yang dijalankan. Nah, saat rendah hati sudah menjadi irama hidup, saling berbagi bisa menjadi solusi yang diikhtiarkan.

Kedua, jangan remehkan detil. Jangan acuh pada soal teknis. Manajemen yang baik adalah yang menghitung semua potensi dan tantangan. Kenapa dalam manajemen modern di banyak birokrasi mapan negeri ini dikenal istilah Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)? DIM ini dimunculkan sebagai bentuk nyata dari aksi cermat pada yang detil. Tidak abai atas yang teknis. Selalu jeli pada yang kecil. Tentu apalagi pada yang besar. Dibuatnya DIM adalah dalam rangka menghitung semua potensi dan resiko. Agar kinerja selalu tumbuh lebih baik. Dan potensi masalah yang merintanginya pun bisa diantisipasi dan dicarikan solusi yang terlaik. Resiko pun bisa diupayakan untuk diminimalisir secara apik.

Siapakah yang merasa sekolahnya selalu kompatibel dengan tugas jabatannya? Siapakah yang merasa kuliahnya di masa sebelumnya selalu sesuai dengan kebutuhan jabatannya? Mungkin ada. Mungkin terdapat orang yang sekolah formalnya linear dengan jabatannya. Tapi, kalaulah memang itu ada, tetap penting diingat, pengetahuan yang didapat di bangku sekolah atau kuliah jauh kalah cepat dibanding dengan perkembangan yang riil terjadi di lapangan. Yang kerap terjadi justeru sebaliknya. Tak sedikit yang merasa sekolahnya/kuliahnya tak kompatibel dengan tugas jabatan yang sedang diembannya.

Maka, tak ada cara lain kecuali ini: selalu belajar. Termasuk atas hal yang teknis. Tak abai atas yang detil. Itu lebih-lebih terasa penting bagi mereka yang pengetahuan formalnya di bangku sekolah/kuliah tak kompatibel dengan tugas jabatannya. Nah pada kasus yang disebut terakhir, prinsip dan cara kerja dimaksud semakin terasa sangat penting dilakukan. Semakin tinggi daya keterlibatan (engagement) kita pada yang detil, semakin moncer penguasaan keterampilan teknis kita. Dan, penguasaan atas yang detil akan membuat setiap proses pembuatan kebijakan cenderung cermat dan tepat sasaran.

Ketiga, jadilah pembelajar yang berkesinambungan (continuous learner). Pembelajar jenis ini mampu beradaptasi dan memperoleh keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan di tengah perubahan yang terus-menerus terjadi dan menjadi tantangan di tempat kerja. Sederhana sekali alasannya. Yang belum kita tahu jauh lebih banyak dari yang kita tahu. Yang belum kita pahami jauh lebih banyak dari yang kita pahami. Yang belum kita kuasai jauh lebih banyak dari yang sudah kita kuasai. Karena itu, konsep “terdidik” berbeda dari “pintar”. Kata yang disebut pertama lebih cenderung ke pemaknaan terampil, baik atas yang sudah maupun yang akan terjadi. Kalau yang disebut kedua lebih kepada penguasaan atas yang telah lewat.

Maka, menjadi pejabat manajemen harus terdidik. Tidak cukup hanya pintar. Itu semua dibutuhkan agar tercipta pembelajar yang berkesinambungan pada diri tim manajemen. Seluruh tim manajemen harus menjadi pembelajar terus-menerus dalam perjalanan jabatan. Tidak ada jabatan yang tuntutan pekerjaannya selalu sama. Alih-alih, selalu bertambah dan makin berat. Perubahan selalu menyasar dan bersama tugas jabatan. Maka, pejabat manajemen yang baik selalu hadir dengan keterdidikan diri yang berkesinambungan. Cirinya, selalu terampil melakukan antisipasi atas setiap perkembangan. Agar tugas jabatan bisa mempersembahkan kinerja yang diharapkan. Oleh institusi yang mempekerjakan.

Setiap yang datang adalah emas. Besar atau kecil. Jangan dilewatkan. Setiap pengalaman adalah kesempatan. Jangan disia-siakan.  Konversilah setiap yang datang menjadi kesempatan untuk memperbesar kebajikan. Caranya? Berbagilah. Bukalah hati untuk saling memberi dan menerima. Apalagi oleh seorang pemimpin. Karena kebajikan hidup tak selalu bermula dari angka nol. Bisa bermula dari apa yang telah dialami sesama. Pengalaman sesama menjadikan hidup bisa mengasup. Atas kebajikan yang tak pernah redup. Atas pembelajaran yang sebelumnya dialami sesama yang masih hidup. Kalau pemimpin sudah bisa begitu, kinerja lembaga tak akan pernah mengenal kata sayup. Tidak pula kata cukup.

Hanya dengan berbagi atas pengalaman, kebajikan hidup tak harus dimulai dan diraih dari titik nol. Agar hidup selalu maju untuk meraih jempol. Dan yakinlah, setiap pengalaman hidup itu terlalu manis untuk dilupakan. Untuk sebuah kemuliaan yang didambakan. Karena kemuliaan bukan hanya untuk masa yang terlewatkan. Juga tentu untuk masa depan. Melupakan hanya berarti membuang kenikmatan. Melupakan hanya berarti menjauhkan harapan. Maka, berbagi pengalaman adalah sebuah kemuliaan. Memberi dan menerima kebajikan adalah rasa manis bagi kehidupan. Jangan pernah dilupakan.