Column
Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag., Grad.Dip.SEA., M.Phil., Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Jam menunjuk angka 20:00 WIB malam itu. Angka persis bulat, 20:00. Hari Jumat, 09 Mei 2025. Kala itu, Menteri Agama RI Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar mendetailkan filosofi cinta. Dia memulai penjelasan mengenai substansi pemikirannya soal filosofi cinta itu dengan kalimat argumen yang sangat magis. Begini katanya: bahwa cinta memberi kesadaran (consciousness) baru. “Dengan cinta, bukan lagi seseorang berkata I have to pray, tapi I love to pray,” begitu kalimat kunci yang disampaikan untuk mengkonkretkan pentingnya cinta untuk lahirnya kesadaran baru. Jadi, cinta memberikan bukan saja pemahaman, melainkan juga kesadaran baru mengenai apa yang menjadi obyeknya.  

Kalimat “Dengan cinta, bukan lagi seseorang berkata I have to pray, tapi I love to pray” sangat layak untuk disebut sebagai mutiara hikmah. Bahkan, dalam bahasa kekinian,  patut pula menjadi quote of the day. Kata-kata hari ini. Mengapa begitu? Menteri Agama yang akademisi ternama itu pun menjelenterehkan alasannya. Penjelasannya sangat memukau siapa saja yang mengikuti arahannya malam itu. Baik mengikutinya secara luring maupun daring. Acara itu memang dilaksanakan di Jakarta. Tapi, pimpinan perguruan tinggi keagamaan Islam negeri di seluruh Indonesia difasilitasi untuk mengikutinya secara daring. Termasuk saya kala itu.

Lalu, apa alasan dan rahasia di balik pernyataan Menteri Agama RI di atas? Menteri yang juga imam besar Masjid Istiqlal itu menguraikan dengan jelas nan konkret. Alasannya, menurutnya, kalimat I have to pray hanya akan melahirkan kesadaran bahwa shalat itu wajib dan sekadar dipahami akan mengakibatkan hukuman jika ditinggalkan. Jadi, kesadaran itu hanya membuat orang bersedia melaksanakan shalat karena rasa takut pada hukuman. Tak ada ketulusan dalam shalat itu. Sebab, menurut Menteri Agama itu, yang mendorongnya untuk melaksanakan shalat, tak lain dan tak bukan, adalah rasa takut pada hukuman jika meninggalkannya.

Karena itulah, dibutuhkan nilai cinta dalam hidup. Termasuk dalam beribadah. Dalam kaitan itu, Menteri Agama RI itu memberikan contoh ibadah shalat. Nah, nilai cinta, menurut Menteri Agama RI itu, akan segera menggerakkan kesadaran baru dalam shalat. Dengan kalimat I love to pray seperti yang dia argumenkan, seseorang akan memiliki kesadaran baru bahwa mengapa dia shalat, itu murni karena rasa cinta. Bukan karena rasa takut atas hukuman jika meninggalkannya. Dengan begitu, rasa cinta itu akan melahirkan ketulusan dalam hal apapun dalam hidup. Termasuk dalam kaitannya dengan penegakan shalat.

 Jadi, dalam argumen Menteri Agama RI itu, cinta menjadi dan sekaligus melahirkan  sebuah kesadaran baru dalam hal apapun dalam hidup. Cinta bisa menggerakkan seseorang untuk melakukan apapun yang diinginkan. Bukan karena faktor di luar dirinya, melainkan karena faktor dari dalam dirinya. Apa itu? Kekuatan cinta. Ya, kekuatan cinta yang menggerakkannya untuk melakukan sesuatu yang diinginkan. Dengan penuh ketulusan. Tentu ini adalah energi positif yang luar biasa besar. Sebab, ketulusan akan melahirkan komitmen dan kelanggengan. Kalau sudah begitu, maka, kebajikan yang lahir karena didasari oleh cinta akan melahirkan kemuliaan yang berkesinambungan. 

Otakku pun lalu berpikir, argumen dan pemikiran Menteri Agama RI di atas terlalu mulia untuk berhenti hanya pada persoalan ibadah semata. Contoh yang disampaikan memang dalam urusan shalat, tapi tugas kita semua adalah mengembangkannya ke dalam urusan yang lebih luas. Termasuk dalam urusan tata ruang publik. Karena itu, aku pun berpikir bahwa argumen dan pemikiran Prof. Nasaruddin Umar di atas akan semakin keren sekali jika dilakukan pengembangan dan pengayaan ke ruang tata kerja. Ku merasa bahwa kekuatan cinta yang diargumenkan oleh Menteri Agama RI itu memiliki nilai signifikansi yang tinggi pula untuk penciptaan ruang publik yang baik dan maslahat.

Karena itu, menurutku, substansi pemikiran Menteri Agama di atas sangat perlu juga dibawa ke wilayah pekerjaan. Ke cakupan penunaian pekerjaan. Sebagai contoh kecil saja dari ruang publik yang kumaksud di atas. Kira-kira, kalimat yang akan keluar di ranah penunaian tanggung jawab pekerjaan akibat kesadaran baru yang ditimbulkan oleh cinta itu akan seperti ini: bukan lagi seseorang berkata I have to work well, tapi I love working well. Bukan “aku harus bekerja dengan baik”, melainkan “aku cinta bekerja dengan baik.” Kalimat argumen seperti ini yang dibutuhkan bagi penciptaan ruang publik yang baik di tempat kerja.  

Dengan kalimat I love working well itu, seseorang berkinerja baik bukan karena merasa bahwa kinerja baik itu sebuah kewajiban semata. Alih-alih, berkinerja baik itu justru didasari oleh kesadaran baru bahwa dia mencintai pekerjaannya yang mengantarkannya pada pencapaian kinerja yang terbaik. Jadi, dengan kesadaran baru itu, sekali lagi, berkinerja top dalam kerja itu bukan sekadar didorong oleh kesadaran bahwa hal itu keharusan relasi kekerjaan (industrial relation) semata. Bukan. Melainkan sudah didorong oleh rasa cinta yang mendalam dalam dirinya. Bahwa cinta yang mendorongnya harus berkinerja baik.

Karena itu, sangat sayang sekali jika pemikiran dan arahan Prof. Nazaruddin Umar soal cinta di atas dilewatkan begitu saja. Termasuk sangat disayangkan juga jika energi pemikiran dan arahan mengenai cinta itu hanya digerakkan sebatas pada wilayah pendidikan semata. Mengapa begitu? Ada kebutuhan riil untuk menghadirkan cinta itu di wilayah tata kerja. Sebab, di era serba kontrak kinerja seperti belakangan ini, pekerjaan pun dimulai dan diakhiri dengan kontrak kinerja. Maka, menghadirkan cinta dalam kerja sangat dibutuhkan sekali dalam perkembangan terkini. Jabatan dan tugas di birokrasi, sebagai misal, harus disentuh dengan kekuatan cinta.  Menurutku, menghadirkan cinta dalam bekerja adalah kebutuhan yang mendesak.

Dengan begitu, orang berkinerja maksimal bukan karena pertimbangan kewajiban pekerjaan semata. Tapi lebih-lebih karena kekuatan cinta yang menggerakkannya. Maka, yang perlu dilahirkan sebagai kesadaran baru adalah: I love working well, dan bukan I have to work well. “Aku berkinerja bukan karena berkinerja itu keharusan pekerjaan, melainkan karena rasa cintaku pada tugas dan pekerjaan.” Begitulah kira-kira kesadaran baru yang patut dilahirkan dalam penunaian pekerjaan dengan kekuatan cinta. Dengan begitu, maka berkinerja bisa diawali dengan semangat bekerja dengan sepenuh hati. Karena ada cinta di dalamnya yang menggerakkannya.

Maka, khusus dalam kaitan dengan penciptaan ruang publik yang baik di tempat kerja, penting pemikiran dan arahan Menteri Agama RI Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar di atas dikembangkan lebih lanjut ke dalam beberapa mentalitas kerja baru. Pertama, mentalitas I love working hard, dan bukan I have to work hard. Terjemahannya begini: Aku giat bekerja karena memang aku cinta giat bekerja. Artinya, kerja keras itu berasal dari rasa cinta atas kerja dan pekerjaan. Jadi, aku giat bekerja bukan karena ku merasa wajib untuk giat bekerja, dan jika tidak melaksanakannya aku akan terkena hukuman. Bukan. Sekali lagi bukan seperti yang disebut terakhir ini.  

Kekuatan cinta yang menjadi penggerak seseorang untuk giat bekerja. Dengan kekuatan cinta itu, giat bekerja bukanlah menjadi sebuah kewajiban yang harus ditunaikan dengan baik, karena jika tidak maka akan berdampak pada hukuman. Sekali lagi bukan. Bukan yang demikian itu. Alih-alih dipandang sebagai beban, kerja keras disadari sebagai sebuah ekspresi dari rasa cinta atas kerja dan pekerjaan yang diamanahkan. Rasa cinta itu yang mengantarkan seseorang kepada kesadaran baru bahwa kerja keras adalah bagian dari perwujudan rasa cinta itu, dan bukan sebuah kewajiban yang jika tidak dilakukan akan berbuah hukuman.  Karena itu, teologi cinta dalam kerja dalam kaitan ini berarti ajaran good performance. Yakni, ajaran cinta pada kinerja yang baik. 

Mentalitas kerja kedua adalah, I love respecting you, dan bukan I have to respect you.  Terjemahannya begini: Aku menghargai rekan kerja bukan karena anggapan praktik itu sebagai kewajiban. Artinya, menghargai rekan kerja itu bukan karena pandangan bahwa hal itu merupakan kewajiban yang berujung pada hukuman administrasi dan sosial jika melanggarnya. Sebab, jika itu yang terjadi, maka menghargai sesama rekan kerja akan dianggap sebagai beban semata. Tentu tidak begitu. Sekali lagi bukan begitu. Alih-alih, menghargai sesama rekan kerja muncul karena memang berangkat dari rasa cinta untuk menghormati sesama rekan kerja. Ada ketulusan di balik penghormatan itu.

Karena itu, mental kerja yang lahir karena teologi cinta ini didasari pada semangat deep respect. Yakni, penghormatan yang mendalam. Penghormatan yang sepenuh hati. Sikap dan perilaku yang demikian memandang rekan kerja sebagai pribadi yang setara dengan dirinya dengan segala kehormatan dan penghormatan yang lahir karenanya. Karena itu, nilai cinta menghormati sesama rekan kerja itu lahir karena kecintaan yang tinggi kepada sesama. Artinya, mencintai dengan cara menghormati sesama rekan kerja sama artinya dengan mencintai diri sendiri. Dengan demikian, ada semangat humanitarianisme di situ.

Jadi, cinta dalam kaitan ini bisa diterjemahkan ke dalam kata kunci deep respect. Artinya, terhadap sesama rekan kerja, dalam kaitannya dengan hubungan kekerjaan, nilai cinta menghormati kepada sesamanya itu diwujudkan dalam bentuk penghormatan yang sesungguhnya atas segala kemanusiaan yang dimiliki rekan kerjanya itu. Artinya, sikap deep respect itu bukan lahir karena rasa takut untuk mendapatkan hukuman administrasi atau sosial yang akan diterimanya jika melanggarnya. Alih-alih, sikap itu muncul karena semangat humanitarianism yang melekat kuat pada dirinya atas berkat rasa cinta yang ada pada dirinya itu.   Karena itu, teologi cinta dalam kerja dalam kaitan ini berarti ajaran deep respect.

Mentalitas kerja ketiga adalah, I love being clean and clear in working, dan bukan I have to be clean and clear in working. Terjemahannya begini: Aku bekerja clean and clear (bersih dan jernih) bukan karena bekerja yang demikian adalah kewajiban yang berbuah hukuman jika melanggarnya, melainkan karena aku memang cinta kerja clean and clear. Sebagai pemahaman dasar, kerja clean and clear ini mengandung arti menjauhkan diri dari segala bentuk praktik korupsi dan pengkhianatan atas amanah jabatan. Sikap dan praktik hidup yang demikian bukan sekadar berada dalam wilayah administrasi birokrasi, melainkan sudah merasuk ke wilayah hati nurani. Karena itu, semangat kerja clean and clear ini sudah berkaitan dengan basis spiritual kerja profesional. 

Pada ranah kerja, cinta memang akan melahirkan mental kerja clean and clear ini. Sebab, perilaku clean and clear dalam kerja bukan muncul karena pemahaman bahwa nilai kerja yang demikian itu merupakan kewajiban yang berujung hukuman jika melanggarnya. Orang yang memiliki mental kerja seperti ini tak akan menjadikan perilaku bersih dan jernih dalam kerja sebagai beban. Melainkan, perilaku clean and clear adalah berkah yang memang menjadi bagian dari ruh hidupnya. Siapapun pasti mencintai ruh dan dirinya. Atau jiwa dan raganya. Karena itu, siapapun yang memiliki mental kerja clean and clear akan memiliki kesadaran mendasar untuk mencintai kerja clean and clear itu. Karena itu, teologi cinta dalam kerja dalam kaitan ini berarti ajaran clean and clear

Mentalitas kerja keempat adalah, I love building self-discipline, dan bukan I have to build self-discipline. Terjemahannya begini: Aku disiplin dalam bekerja bukan karena takut hukuman jika melanggarnya, melainkan karena memang aku cinta disiplin dalam bekerja. Indikator paling sederhana namun mudah diukur untuk kepentingan ini adalah bekerja dalam disiplin waktu. Karena itu, jika Anda memang disiplin diri, maka Anda akan disiplin waktu. Datang kerja tak boleh telat. Pulang kerja juga tak boleh lebih awal dari jam yang seharusnya. Semua dilakukan dalam disiplin waktu yang ketat.  

Maka, disiplin waktu bukan karena pandangan bahwa disiplin waktu itu kewajiban. Sebab, kalau pandangan ini yang mengemuka, maka disiplin waktu hanya akan dianggap sebagai beban semata. Namun, jika yang mengemuka adalah prinsip I love building self-discipline, maka disiplin waktu muncul karena rasa cinta. Ya, cinta yang mengantarkan seseorang untuk senantiasa disiplin waktu. Artinya, disiplin waktu bukan dianggap beban, melainkan berkah cinta. Karena itu, teologi cinta dalam kerja dalam kaitan ini berarti ajaran time discipline

Mentalitas kerja kelima adalah, I love being honest in working, dan bukan I have to be honest in working. Terjemahannya begini: Aku jujur dalam bekerja bukan karena takut sangsi dan atau hukuman. Sebab kalau itu yang dilakukan, maka jujur dalam kerja akan dianggap sebagai kewajiban semata. Sebagai gantinya, jujur dalam bekerja adalah ekspresi cinta diri. Karena praktik itu memang berangkat dari rasa cinta jujur dalam bekerja. Dengan ungkapan lain, tidak menipu dalam bekerja bukan karena merasa takut hukuman jika melanggarnya, tapi karena memang dilatarbelakangi oleh rasa cinta jujur dalam bekerja. Karena itu, teologi cinta dalam kerja dalam kaitan ini berarti ajaran honesty

Dahsyatnya cinta sungguh memang tak bisa dielakkan. Tak heran Nabi Muhammad SAW mengajarkan doa tentang energi positif cinta. Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi, seperti dimuat di kitab Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi dalam bab mengenai doa-doa, Nabi mengajari kita semua doa yang pernah menjadi doa pengharapan Nabi Dawud. Begini bunyinya: اللَّهُمَّ  إِنِّي أَسْألُكَ حُبَّكَ وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ ، وَالعَمَلَ الَّذِي يُبَلِّغُنِي حُبَّكَ. Ya Allah, sesungguhnya aku bermohon kepada-Mu untuk selalu cinta kepada-Mu, dan mencintai orang-orang yang selalu mencintai-Mu, serta perbuatan yang dapat menyampaikanku untuk mencintai-Mu.

Betapa dalam doa Nabi Dawud seperti dalam Hadits di atas, cinta selalu dirindukan. Untuk berbagai kemuliaan. Ilahi atau insani. Dan di ujung doa itu, ada pengharapan agar ada kinerja diri yang terbaik dalam bentuk praktik perilaku kebajikan yang menjadi kekuatan untuk mengantarkan diri menuju kecintaan kepada Sang Maha Agung. Bukankah doa Nabi Dawud ini mengaitkan antara cinta dan kinerja? Bukankah ada isyarat penting bahwa saat cinta sudah menyatu dalam kinerja, hasilnya adalah kemuliaan? Saking tingginya arti cinta hingga doa Nabi Dawud itu selalu menempatkan dan mengaitkan cinta dalam ekosistem kebajikan orang-orang mulia yang mencintai Tuhannya.

Memang dalam doa Nabi Dawud di atas disebutkan, hasil ujung dari menyatunya cinta dan perilaku kebajikan diri adalah kecintaan yang tinggi kepada Allah. Tapi, jika ditarik ke dalam urusan profesionalisme dalam pekerjaan, bukankah itu juga mencakup makna kinerja terbaik? Itu karena kecintaan kepada Sang Khaliq adalah simbol dari kinerja diri. Maka, pantas Menteri Agama RI Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar menyebut cinta akan mendatangkan kesadaran baru. Itu semua karena cinta adalah energi positif. Menjadikan semua serba indah dan mudah. Jika kondisi itu sudah tercipta, kinerja terbaik diri adalah buahnya. Itulah yang menjadi esensi dari teologi cinta dalam kerja. Karena itu, cinta dalam ranah kerja perlu untuk diperkuat dan dikembangkan lebih jauh ke dalam tuntunan praktis bekerja.