Column
Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

“Kalau mau membuat kerjasama kok tidak menyertakan PTKIN, berarti tidak paham potensi kampus Islam di Indonesia.” Begitu sambutan Prof Ahmad Zainul Hamdi selaku Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam, dalam acara penutupan rangkaian acara penandatanganan MOU antara Universitas Utara Malaysia (UUM) dan Kementerian Agama RI di kampus UUM (Minggu, 5 April 2024). Mendengar pernyataan itu, perempuan yang duduk di sebelahku di meja depan paling kanan langsung berbisik: “Memang Prof. Zaki, awalnya kerjasama ini ditolak oleh pimpinan UUM.” Perempuan itu adalah Dr. Arpah Abu Bakar. Akrab dipanggil Dr. Arpah. Salah seorang pimpinan di Executive Development Centre (EDC) UMM yang bertugas mengepalai urusan kerjasama dengan Kemenag RI beserta sejumlah Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) di bawahnya itu.

Sejurus kemudian, Dr. Arpah lalu menceritakan lebih detil sejarah awal jalinan kerjasama UUM dan sejumlah PTKIN itu. Begini yang dia kisahkan: “Saat bertemu dengan pimpinan UUM, kami presentasikan peluang kerjasama dengan Kemenag dan PTKIN ini.” “Lalu apa respon pimpinan UUM?” tanyaku singkat. “Awalnya langsung ditolak,” jelas Dr. Arpah. Mendapati rencana kerjasama itu ditolak, dia pun langsung bertanya lebih lanjut ke pimpinan UUM itu. “Kenapa ditolak?” tanyanya kepada pimpinan UUM untuk menjelaskan alasan. “Model kerjasama seperti itu sulit,” jawab salah seorang pimpinan UUM. “Tapi, sulit bukan berarti tidak bisa, kan?” sahut Dr. Arpah dalam rapat pimpinan manajemen UUM kala itu.

Foto:  Dr. Arpah di Tengah di Antara Aku dan Pimpinan UIN Bandung

Tak berhenti di situ. Dia lalu mencoba meyakinkan para pimpinan UUM. Untuk mengidentifikasi lebih jauh masalah yang sebelumnya dirasa mengganjal, lalu disebutnya sulit itu. Dia pun lalu membuka upaya identifikasi itu dengan berujar begini: “Sulitnya di mana?” Usai itu, pimpinan UUM pun diajak untuk mendiskusikan lebih jauh proposal kerjasama itu. Mereka diminta untuk lebih mendalami peluang kerjasama itu. Apa yang selanjutnya dilakukan oleh Dr. Arpah? Dia ajak para pimpinan UUM untuk memitigasi risiko dan mengidentifikasi solusi pengurainya. “Kalau dipandang sulit, mari kita pecahkan,” ujarnya untuk mengajak pimpinan UUM lebih menyeriusi peluang kerjasama itu. Sebuah usaha yang keren untuk keluar dari kesulitan menuju solusi jitu.

Menarik sekali upaya Dr. Arpah dalam memengaruhi keyakinan pimpinan UUM itu. Dia tidak berhenti hanya dengan mengatakan sulit tidak berarti tidak bisa. Dia yakinkan para pimpinan kampusnya untuk mendalami lebih jauh proposal kerjasama dari Kemenag di atas. Dia tahu bahwa yang menjadi lawan bicaranya adalah pimpinan tertingginya di kampus. Karena itu, cara yang diakukan tidak hanya melaporkan proposal kerjasama itu. Dia harus bicara dengan data yang kuat. Mitigasi risiko dan peluangnya juga dia kuasai dengan detil. Tak hanya mengandalkan keinginan semata. Melainkan juga melengkapinya dengan data dukung yang kuat nan handal.

Singkatnya, di acara seremonial penutupan rangkaian MOU dan peluncuran program kerjasama malam itu, Dr. Arpah menceritakan kepaadaku sejarah perjalanan jalinan kerjasama kelembagaan itu satu-persatu. Dengan mimik yang serius dan kalimat yang mantap, dia kisahkan kepadaku sejarah perjalanan kerjasama kelembagaan itu. Hingga kesepakatan pun akhirnya dicapai. Dan MOU pun akhirnya ditandangani. Agendanya pun sudah mulai dijalankan. Intinya, sukses besar pun di tangan. Proposal kerjasama yang dibangun dengan segala kecermatan sejak dari awalnya akhirnya diterima dengan penuh saling pengertian. Dan rona kebahagiaan pun menghiasi wajah-wajah pimpinan. Dari kampus UUM yang tentu membanggakan bagi warga negeri jiran.

Foto:  Serah Terima Dokumen MOU antara Rektor UINSA dan Rektor UUM

Dari cerita di atas, kutangkap kuat betapa hebatnya Dr. Arpah dalam berkomunikasi ke pimpinan kampusnya. Dia buktikan mampu tampil sebagai komunikator dan sekaligus negosiator yang baik. Memiliki keterampilan komunikasi interpersonal yang meyakinkan. Untuk menggolkan rencana kerjasama yang dia terima dan usahakan sebelumnya. Bersama Kemenag RI dan sejumlah kampus Islam negeri di bawahnya. Semua tahapan dalam upaya untuk meyakinkan pimpinannya dilakukan olehnya.

Dia tak pernah menyerah dalam merealisasikan peluang kerjasama itu. Ulet sekali. Kukuh di sana-sini. Meskipun tak pernah mem-bypass proses yang telah menjadi regulasi. Setiap tahapan dia lalui. Setiap proses dia ikuti. Dengan gagasan solutif yang selalu dia tawarkan dengan jeli. Mentok di satu titik, dia bergeser ke titik yang lain. Terkadang memutar. Dari argumen satu ke argumen lainnya. Dia bangun dengan baik adanya. Untuk semakin melengkapi basis pemahaman dan keyakinan pimpinannya. Agar proposal kerjasama itu diamini dan diiyakan.

Kesanku sangat positif tentang Dr. Arpah itu. Memiliki kecakapan komunikasi interpersonal yang sangat baik nan jitu. Tutur kata dan gaya bicaranya meyakinkan. Gerak tubuhnya sangat santun. Pertanda semua kematangan yang dibutuhkan oleh seorang komunikator dan negosiator yang baik telah dimiliki. Dengan keren sekali. Buktinya, mendapati jawaban ketidakmungkinan, dia challenge dengan membuka kemungkinan baru. Memperoleh jawaban sulit dari pimpinan, dia urai setiap kemungkinan kemudahan. Hingga kesuksesan pun di tangan. Para pihak pun akhirnya sepakat untuk menyetujui dan sekaligus merealisasikan kerjasama kelembagaan di antara dua negara itu.

Sobat,

Hidup tak bisa diselesaikan sendirian. Karena, hidup berarti terlibat bersama yang lain. Kalau sudah tidak bisa terlibat, maka itulah kematian. Karena mati berarti sendiri. Tak bisa bersama yang lain lagi. Di bumi ini. Di atas dunia yang fana ini. Maka, hidup atau mati sangat ditentukan oleh keterampilan untuk membawa diri di hadapan yang lain. Atau bersama yang lain. Gagal membawa diri bisa berakibat pada kematian proses sosial diri. Sebaliknya, sukses membawa diri menjadi awal yang baik untuk modal sukses diri. Karena itu, seni membawa diri harus dipupuk sejak dini. Ia tak akan tumbuh sendiri tanpa proses yang berarti.

Kegagalan hidup selalu diawali oleh ketidakcakapan dalam menjalin kerjasama dengan sesama. Karena itu, kecakapan bekerjasama adalah kata kunci. Siapa yang mampu bekerjasama dengan sesama, maka dia akan sukses menjemput kesuksesan hidupnya. Maka pada titik inilah kita selalu diingatkan bahwa manusia itu, kata Aristoteles, zoon politicon. Dalam ungkapan Arabnya, al-insanu madaniyyun bi al-thab’i. Dalam perspektif Peter L Berger dan Thomas Luckmann (The Social Construction of Reality, 1966:78-9), disebut Man is A Social Product. Manusia itu, dalam kodratnya, adalah makhluk yang bersosialisasi satu sama lain. Adanya ungkapan yang bermakna serupa dalam berbagai perspektif dan bahasa, termasuk Latin dan Arab serta Inggris dimaksud, menunjukkan bahwa prinsip kerjasama menjadi idealisme semua warga manusia.   

Foto:  Sampul Dalam Buku The Social Construction of Reality

Karena itulah, kita penting untuk belajar dari kesuksesan penandatanganan kerjasama dan sekaligus peluncuran pelaksanaannya di kampus UUM Malaysia di atas. Sosok Dr. Arpah secara khusus menjadi atensi di balik sukses itu semua. Akibat peran penting yang dimainkannya. Hingga dicapainya kesuksesan MOU dan peluncuran pelaksanaannya. Oleh sebab itu, penting bagi kita semua untuk mengambil pelajaran dari seluruh proses penandatanganan dan peluncuran pelaksanaan program kerjasama yang dicanangkan dimaksud.

Ada tiga poin penting yang bisa dipetik sebagai pelajaran bersama. Pertama, jangan mudah menyerah. Alih-alih, lengkapi diri dengan semangat pantang mundur. Dengan semangat pantang menyerah. Dengan semangat tahan banting. Sebab, semangat juang (fighting spirit) adalah kunci kesuksesan. Untuk prinsip kemajuan yang berarti. Apakah itu untuk ranah pribadi. Maupun instansi. Gampang menyerah bukanlah kebajikan. Betapa banyak orang yang bergelimang kemewahan namun gagal menjemput masa depan. Akibat lemahnya daya dan semangat juang yang dipersyaratkan. Hal yang sama juga bisa berlaku pada kepemimpinan lembaga kenamaan.

Dalam kasus terjalinnya MOU antara Kemenag RI beserta sejumlah PTKIN di dalamnya dengan UUM Malaysia di atas, tantangan dijawab dengan kerja keras. Dibilang sulit tapi dijawab dengan mitigasi yang rigid. Potensi pun akhirnya digali sedemikian rupa. Semua titik yang dikhawatirkan menjadi masalah diurai. Bahkan dikonversi menjadi modal keuntungan institusi. Hingga kerjasama pun disepakati dan ditindaklanjuti. Melalui serangkaian program yang kemudian membuka peluang kerjasama lebih jauh lagi. Termasuk pada pengembangan sumber daya insani. Lintas negara dan lintas institusi.

Kedua, jadilah penentu kemenangan. Bahasa lainnya game changer. Pengubah permainan. Bentuknya adalah pribadi yang problem solver. Penyelesai masalah. Dan bukan problem maker. Pembuat masalah. Hidup tak akan pernah tanpa masalah. Begitu pula jalan cerita organisasi. Maka yang dibutuhkan bukan pribadi yang biasa-biasa saja. Pribadi seperti ini memang bisa saja tidak masalah. Tapi sejatinya hanya akan menjadi beban sejarah. Karena tak memberi manfaat dan tak menambah kuat marwah. Apalagi jika pribadi itu bermasalah. Tentu bukan itu yang dikehendaki sejarah. Disinilah dibutuhkan pribadi yang penyelesai. Atas masalah-masalah yang ada. 

Game changer itu pencetus perubahan. Tak akan lahir pribadi seperti ini jika dia hanya mengandalkan keberuntungan dalam hidup. Pribadi pencetus perubahan akan selalu mengatakan bahwa keberuntungan itu diusahakan. Bukan ditunggu atau dinantikan. Karena diusahakan, maka keberuntungan itu harus diciptakan. Tentu dalam kapasitas kemanusiaan. Bahkan, atas semboyan popular do your best and let God do the rest (lakukan terbaik dan biarkan Tuhan menyelesaikan sisanya) sekalipun. Diusahakan adalah kuncinya. Sebab, nasehat do your best datang dulu, baru kemudian let God do the rest. Jangan dibalik, sudah barang tentu. Itu semua berarti bahwa keberuntungan itu diusahakan. Jangan dinantikan.

Berkaca pada pengalaman suksesnya MOU antara Kemenag RI beserta sejumlah PTKIN di dalamnya dengan UUM Malaysia di atas, prinsip keberuntungan itu diusahakan dan bukan dinantikan sangat kuat tergambar. Saat jajaran pimpinan UUM mengatakan sulit, itu bukan akhir dari segalanya. Lalu seakan-akan tertutup peluang untuk merencanakan dan melaksanakan gagasan besar yang didamba. Di sinilah dibutuhkan sosok negosiator yang cakap untuk menjadi penyambung dan penerjemah kepentingan. Hadirnya orang seperti Dr. Arpah adalah sebuah berkah bagi sebuah lembaga. Apapun lingkup garap dan macamnya. Karena, dia mampu menjadi penyambung dan sekaligus penerjemah kepentingan lintas pemangku.

Ketiga, sempurnakan diri dengan kecakapan komunikasi yang baik (good communication skill). Itu karena keterampilan komunikasi yang baik memegang peranan penting dalam hidup. Ia secara khusus menjadi bagian sentral dari kecakapan negosiasi (negotiation skill). Dan sejatinya, negosiasi itu sendiri tak lain adalah diskusi strategis untuk memecahkan masalah sedemikian rupa sehingga para pihak bisa menerimanya dengan legawa nan baik. Dalam upaya itu, maka keterampilan komunikasi yang baik akan menjamin tingginya kecakapan negosiasi. Karena itu, mereka yang memiliki keterampilan komunikasi yang baik memiliki modal yang memadai untuk menjadi negosiator yang baik pula.

Semua percaya, hidup dalam kebenaran memang penting dan harus. Tapi tak selalu yang benar itu jadi benar jika cara mengkomunikasikannya tidak tepat. Karena itu, yang benar pun bisa saja tidak tepat saat proses dan cara mengkomunikasikannya ke publik juga bermasalah. Bahkan, bisa pula berubah menjadi salah. Di tangan komunikator yang baik, yang benar jadi tepat. Yang sulit jadi mudah. Yang macet jadi lancar. Dan yang ragu jadi yakin. Oleh sebab itulah, keterampilan komunikasi merupakan kecakapan yang krusial, dan karena itu pula ia sangat dibutuhkan sekali untuk sukses hidup.

Pengalaman suksesnya jalinan MOU antara Kemenag RI beserta sejumlah PTKIN di dalamnya dengan UUM Malaysia serta peluncuran pelaksanaannya di awal April 2024 seperti diuriakan di atas memberikan pelajaran betapa keterampilan komunikasi yang baik akhirnya menghentikan keraguan pimpinan UUM atas berbagai rintangan yang dianggap sebagai ketidakmungkinan. Komunikasi yang baik oleh Dr. Arpah akhirnya mampu mengubah yang dianggap sulit menjadi benefit. Yang awalnya dianggap tidak mungkin lalu menjadi serba mungkin. Yang awalnya dipandang rintangan lalu berubah menjadi kekuatan. Hingga kerjasama pun terealisasikan. Memberi keuntungan kepada para pihak yang berkesepakatan. 

Pernahkah berkaca dari etos kerja para pejuang pemadaman kebakaran? Kita kerap menyebut mereka dengan PMK. Kepanjangannya, Pasukan Memadamkan Kebakaran. Lazimnya, Pasukan Pemadam Kebakaran. Dalam istilah Inggrisnya dikenal dengan fire brigade. Atau fire fighters. Dalam bekerja, petugas PMK tersebut punya semboyan: pantang pulang sebelum padam. Tak ada rumus menyerah dalam kamus kerja. Tak ada istilah mundur dalam nafas kerja. Semboyan tersebut menandai semangat pantang menyerah para pejuang PMK. Mereka hanya akan pulang saat sukses sudah di tangan. Medan yang rumit bukan berarti api tak bisa dipadamkan. Karena itu, sulit bukan berarti tak bisa. Itulah modal penting untuk suksesnya asa.