Articles

Kesewenang wenangan seorang pimpinan dalam sebuah kuasa cenderung menyalahkan artikan makna kebebasan individu dan menyalah gunakan kuasasanya. Kebebasan individu tidaklah lepas dari moralitas individu yang berbanding lurus dengan hukum moralitas individu. Semua ini saling berhubung kait dengan moralitas social. Kesewenang wenangan seorang penguasa dari Tingkat negara sampai RT temasuk penguasa dunia akademis tidaklah lepas dari watak, ego sentrisme dan pemaknaan kebebasan itu sendiri. Sebagaimana tulisan saya sebelumnya bahwa jika kita ingin mengetahui watak dan karakter asli seseorang, berilah dia kekuasaan (Socrates), maka kelihatan aslinya, apakah dictator, ego sentrisme, demokratis atau hipokrit penuh pencitraan.

Pola pola karakter kepemimpinan saling terkait dengan struktur social,  struktur kuasa dan struktur moral yang menjadi salah satu perhatian etika social. Etika sosial merupakan suatu problem dunia social yang berkaitan dengan kajian relasi kemasyarakatan, kenegaraan, hukum moral sosial dan Human Nature dalam perspektif filsafat. Salah satunya adalah prinsip prinsip struktur social moral dalam filsafat idealisme Jerman, seperti Hegel. Satu kekhasan dari filsafat Hegel adalah dialektika : tesis-antitesis-sintesis. Hampir seluruh pencermatan Hegel atas realitas dikembalikan pada pola dialektika tersebut. Dialektika Hegel bertempat dalam ide dan dengan itu pula ia disebut sebagai seorang filosof idealis (berpusat pada idea).

Konsep dialektika Hegel merupakan Kritik terhadap teori Kritis Kant yang masih tertutup dan hanya sempurna bagi dirinya sendiri. Teori Kritis itu harus teruji pada dirinya menjadi anti tesis untuk dirinya sendiri. Secara epistemologis, Tesis dan antitesis merupakan sudut pandang antagonistik. Kedua sudut pandang tersebut dianggap tidak berimbang jika dilihat dari perspektif sintesis. Antitesis adalah negasi atas tesis, sedangkan sintesis adalah negasi atas antitesis.

Dalam sintesis, tesis dan antitesis mengalami apa yang disebut Hegel dengan istilah “aufgehoben“ (diangkat ke level yang lebih tinggi) dan menjadi sebuah tesis baru. Lewat proses “Aufhebung“ Sintesis yang telah menjadi tesis baru dalam ketimpangannya dinegasikan melahirkan anti thesis baru, begitu seterusnya. Karena itu bagi Hegel, aufheben memiliki tiga arti yakni menegasi (stornieren, kündigen), mengangkat ke level yang lebih tinggi (hochheben) dan mempertahankan atau menyimpan (bewahren).

Dialektika disinilah menjadi dasar epistemologis dalam etika kehidupan sosial. Etika sebagai salah satu wilayah filsafat juga menjadi perhatian Hegel. Dalam etikanya, Hegel melanjutkan ‘hukum-moral’-nya Kant; semangat Revolusi Perancis, dan semangat Protestanisme (Martin Luther). Inti etika Hegel adalah – sebagaimana Kant – terletak pada subjek yang otonom dengan suara nuraninya. Kebebasan individu untuk menentukan secara moral atas tindakannya mendapat tempat yang utama. (Allen W. Wood, 2017; 58-76). Hanya saja Hegel tidak berhenti di situ saja, ia melanjutkan dalam bentuk real dari keabstrakan suara nurani versi Kant. Bentuk real dari moralitas individu adalah pada tatanan etika sosial (Sittlichkeit). Sittlichkeit sesungguhnya merupakan sintesa dari hubungan hukum dan moralitas-individu. Ketiganya itu merupakan pengejawantahan dari kebebasan.

Istilah Sittlichkeit  berasal  Kata Sitte artinya lebih, atau adat istiadat. Kata sifatnya adalah sittlich, dan dengan demikian ‘Sittlichkeit‘ sendiri adalah kata benda abstrak yang mengungkapkan kepatuhan terhadap adat istiadat atau adat istiadat tertentu. Dalam kamus, Sittlichkeit sering diterjemahkan sebagai moralitas atau etika, tetapi dalam diskusi teoretis hal ini terjadi menimbulkan masalah, karena dalam bahasa Jerman kata tersebut dapat diartikan berbeda dari moralitas atau etika dalam arti yang lebih sempit.

Georg Wilhelm Friedrich Hegel membedakan antara moralitas (Moralität) dan Sittlichkeit dalam Philosophie des Rechts-nya. Ada berbagai upaya yang dilakukan untuk menerjemahkan Konsep Hegel tentang Sittlichkeit ke dalam bahasa Inggris – contohnya adalah ‘kehidupan etis’, ‘objektif etika’, dan ‘etika konkret’. Namun, mempertahankan bahasa Jerman asli adalah hal yang umum istilah ini, dan inilah praktik yang akan saya ikuti di artikel ini. (Allen W. Wood, 2017; 58-76)

Charles Taylor-lah yang mencantumkan terjemahan-terjemahan ini dalam karyanya tentang Hegel dalam karyanya, “Hegel’s Sittlichkeit.”  (Taylor, 1975;376) Taylor sendiri menyimpannya dalam bahasa Jerman asli. Charles Taylor hanyalah satu dari banyak filsuf akhir abad ke-20 yang mengambil dan menggunakan konsep Hegel tentang Sittlichkeit, terutama dalam diskusi seputar universalisme dan komunitas. Charles Taylor menganggap Sittlichkeit Hegel adalah tentang ‘kewajiban moral).

Penggunaan istilah Sittlichkeit Hegel memang orisinal, namun berpengaruh. Meski secara eksplisit perpecahan ia lakukan antara moralitas dan Sittlichkeit tidak diadopsi secara menyeluruh oleh para pemikir selanjutnya, gagasan tersebut bahwa Sittlichkeit bukanlah hukum moral abstrak yang didasarkan pada normativitas universal, melainkan lebih merupakan sebuah konsep yang menunjukkan adat istiadat atau watak masyarakat tertentu umum pada era tersebut. Seperti yang diklaim oleh sejarawan Karl-Heinz Ilting tentang pertengahan abad kesembilan belas dalam studi sejarahnya tentang konsep tersebut.

Prinsip Hukum dan Otonomi Moral

Bagi Hegel, kebebasan, pertama-tama bereksistensi pada prinsip-prinsip hukum. Prinsip hukum yang paling jelas terwujud dalam hak milik pribadi (property). Dalam hak milik pribadi ini seseorang merealisasikan kebebasannya secara utuh. Kehendak bebas dari si pemilik atas milik pribadinya dijamin dan diakui bahkan oleh orang lain sekalipun. Penjaminan dan pengakuan ini merupakan suatu keharusan hukum. Orang lain harus mengakui hak milik pribadi seseorang sebagai jaminan pula bagi hak milik pribadinya sendiri untuk diakui. (Suseno, 1992)

Dengan demikian seorang individu (persona) adalah pemilik kedaulatan hukum. Hanya saja patut dicermati di sini bahwa hukum sebagai sarana konfirmasi bagi kebebasan eksistensi persona bukan merupakan sesuatu yang absolut dan eternal melainkan terbatas dan formal. Karena keformalan itulah, hukum tidak memperhitungkan kehendak, pengertian, dan maksud si subjek hukum. Hukum semata-mata berada dalam logika negatif : sejauh tidak melanggar hak-hak pribadi orang lain. Dengan demikian kebebasan tidak sepenuhnya terwujud dalam hukum. (Allen W. Wood, 2017; 58-76)

Pemenuhan keterwujudan kebebasan itu akan menjadi lengkap dengan memperhitungkan posisi negatif (anti-tesa) dari hal-hal yang tidak diperhitungkan dalam hukum, seperti kehendak bebas, maksud, dan pengertian subjek hukum. Sisi dialektik dari hukum itu adalah moralitas-individu. Dalam etika, pertimbangan etis yang semata-mata memperhatikan aspek hukum (legalitas) saja disebut etika heteronom, sedangkan yang lebih menekankan pada moralitas-individu disebut otonom.

Pembagian heteronom dan otonom ini mengikuti model yang dikembangkan Kant (dan posisi Kant lebih mengutamakan otonomi moral). Etika otonom yang dikembangkan Kant dari semangat Lutherian itu menempatkan subjek sebagai penentu utama tindakan-tindakan etisnya bukan hukum yang datang dari luar dirinya. Kehendak subjek yang otonom ini berpusat pada suara-nuraninya. Hukum luar tidak mampu untuk memaksa seseorang berkehendak seperti apa.

Pada hukum, seseorang dinilai dari tindakan lahiriahnya, sedangkan pada suara-nurani, nilai kemanusiaan seseorang terangkum dan manusia sebagai subjek benar-benar memperoleh tempat. Nilai manusia ditentukan berdasarkan tindakannya yang batiniah dan dengan demikian titik tolak moral adalah kebebasan yang memahami dirinya sendiri. Perwujudan kebebasan yang tidak sepenuhnya terpenuhi dalam hukum memperoleh tempatnya dalam moralitas – (batin)   individu. Hanya saja bagi Hegel dialektika hukum-moralitas ini belumlah usai, dialektika itu masih berlangsung terus untuk menjadi suatu sintesa yang lebih konkret.

Tatanan Sosial-Moral

Hegel mengkritik moralitas individu yang dikembangkan Kant masih berada pada level kesadaran transendental individu yang tertutup. Imperatif kategoris (sebagai inti dari etika deontologis Kant), yaitu “bertindaklah semata-mata menurut pedoman yang selain dapat berlaku bagi diri sendiri juga sebagai suatu hukum yang juga dapat berlaku umum”, jelas menunjukkan (mengandaikan) adanya suatu relasi intersubjektifitas. Hal mana yang tidak mungkin terrealisasi (hukum umum itu) tanpa melibatkan subjek-subjek lain. Maka moralitas individu – setelah berdialektik dengan hukum – harus menjadi semacam struktur sosial yang menjunjung nilai-nilai moral pada masing-masing individu dalam struktur itu. Struktur sosial-moral ini oleh Hegel disebut Sittlichkeit. (Allen W. Wood, 2017; 58-76)

Sittlichkeit yang menjadi sintesa ini sesungguhnya berpijak pada konsepsi Hegel tentang identitas persona. Bagi Hegel identitas Aku adalah suatu identitas yang umum dan (sekaligus) individual. Kesadaran diri bukan sesuatu yang asali (sebagaimana kesadaran-transendental versi Kant) melainkan sesuatu yang menjadi. Ia bukan being melainkan becoming. Perkembangan identitas diri itu terrepresentasi pada bahasa, kerja, dan perjuangan untuk memperoleh pengakuan (dalam istilah Habermas disebut sebagai interaksi). (Marcuse, 1977; Habermas, 1990)

Lewat bahasa kreativitas bebas individu terrealisasi, lewat kerja prosedur-prosedur hukum terformalkan, dan lewat interaksi identitas diri menjadi tampak objektif. Petani disebut sebagai petani karena ia bekerja dalam lapangan pertanian dan berinteraksi dengan pedagang yang siap memasarkan hasil taninya. Oleh petani pedagang disebut (melalui bahasa tentunya) sebagai ‘pedagang’ dan oleh pedagang, petani disebut sebagai ‘petani’. Interaksi mengobjektifkan identitas diri.

Demikian pula dalam bidang etika. Moralitas-individu baru memperoleh pengakuan dalam interaksinya dengan moralitas individu-individu lainnya. Kemudian bila sudah menjadi suatu struktur sosial, maka moralitas-individu itu berkembang menjadi moralitas umum. Dalam struktur sosial-moral ini kehendak khusus (subjek otonom) menyatu dengan kehendak umum. Struktur sosial jelas meniscayakan adanya lembaga-lembaga sosial. Demikian pula halnya dengan struktur sosial-moral ini.

Di sini konsepsi Hegel mengenai negara sebagai penjamin moralitas memperoleh tempatnya. Penjaminan moralitas-umum lewat negara ini tertuang dalam bahasa undang-undang. Dari sini pula Hegel mengangkat konsep alienasi sebagai terasingnya individu oleh individu-individu lainnya karena ketidak-taatan dan ketidak-disiplinannya terhadap undang-undang sebagai perwujudan konkret struktur sosial-moral. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa pada struktur sosial-moral ini kebebasan sebagai inti dari etika memperoleh wujud yang real. (Jansson, 2019; 86-103)

Analisis Kritis

Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa etika Hegel merupakan proses dialektik bagi perwujudan kebebasan, dengan komponen-komponen: Hukum (formal) – Moralitas – Sittlichkeit. Hukum-formal disini masih merupakan hukum yang abstrak (konvensi) sedang pada Sittlichkeit yang juga mengandaikan suatu bentuk hukum, hukum dipahami dalam bentuknya yang konkret-tertulis (material).

Negara (versi Hegel) sebagai perwujudan etis bagi moralitas para individu di dalamnya harus dipahami sebagai bentuk institusi sosial akhir yang menjamin dan menjunjung tinggi  kebebasan para warga negaranya. Meskipun negara adalah pemegang kedaulatan tertinggi atas undang-undang dengan pemerintah sebagai pelaksananya, tetap saja moralitas-otonom individu tidak dapat diganggu gugat dan tidak dapat dicampuri oleh negara (dan pemerintah/eksekutifnya). (Jansson, 2019; 86-103)

Bentuk negara demikian, menutut Hegel, pernah terwujud dalam negara hasil Revolusi Perancis. Hanya saja Hegel tidak mempertimbangkan adanya kemungkinan bahwa kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut niscaya korupnya, karena itu Hegel cukup optimis bahwa negara benar-benar dapat menjadi perwujudan kebebasan etis yang paling akhir (bentuk nyata daru roh-absolut). Dalam hal ini Marx justru bersikap sebaliknya dari Hegel dengan menganggap bahwa justru negaralah yang menjadi ‘biang kerok’ keterasingan manusia (yang pada dasarnya adalah mahluk sosial) dari sifat sosialnya. (Ibid)

Oleh karena itu negara – menurut Marx–haruslah dilenyapkan. Jalan tengah antara konsep negara sebagai perwujudan etis (Hegel) dan negara sebagai bentuk alienasi individu (Marx) (Habermas, 1974) ditawarkan oleh Gramsci dengan model hubungan antara negara disatu pihak dengan civil society sebagai pengontrol kekuasaan negara di pihak lain. (Gramsci, 1971: Suseno, 1992). Hubungan keduanya harus dalam kerangka prinsip subsidiaritas, yaitu negara hanya boleh turut campur dalam persoalan-persoalan civic yang tidak bisa ditangani oleh civil society (masyarakat) sendiri. Dengan demikian negara sebagai perwujudan etis tetap dipertahankan dan kecenderungan absolutisme kekuasaan negara dapat dibatasi. (Hegel, 2010; Brighenti, 2016)

Referensi

Taylor, Charles. Hegel. Cambridge: Cambridge University Press, 1975.

Taylor, Charles. “Hegel’s Sittlichkeit and the Crisis of Representative Institutions.” In Philosophy of History and Action: Papers Presented at the First Jerusalem Philosophical Encounter December 1974, edited by Yirmiahu Yovel, 133–154. Dordrecht: Reidel, 1978.,

F.M. Suseno. Filsafat sebagi Ilmu Kritis. Yogyakarta : Kanisius. 1992.

Habermas, Jurgen. Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi. Terj. Hassan Basari. (Jakarta : LP3ES. 1990).

Habermas, Jurgen, Theory and Practice. Boston : Beacon Press. 1974.

Marcuse, Herbert. Reason and Revolution : Hegel and the Rise of Social Theory. (London : Routledge. 1977 © 1941.

Allen W. Wood, “Hegel on Morality” in Hegel’s Elements of the Philosophy of Right A Critical Guide Edited by Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 2017), 58 – 76. DOI: https://doi.org/10.1017/9781139939560.004 

Jansson, A. (2019). Building or destroying community: the concept of Sittlichkeit in the political thought of Vormärz Germany. Global Intellectual History5(1), 86–103. https://doi.org/10.1080/23801883.2019.1586769

G.W.F Hegel, “Civil Society,” in Elements of the Philosophy of Rights, ed. Allen W.Wood (United Kingdom: Cambridge University Press, 2010) 220

Brighenti, A.M. (2016). Antonio Gramsci’s Theory of the Civil Society. In: Moebius, S., Nungesser, F., Scherke, K. (eds) Handbuch Kultursoziologie. Springer Reference Sozialwissenschaften. Springer VS, Wiesbaden. https://doi.org/10.1007/978-3-658-08000-6_72-1

Gramsci, Antonio (1971) Selections from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci, New York, International Publishers.

[Suhermanto Ja’far; Dosen FUF UIN Sunan Ampel]