Column UINSA

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Tuesday, 18 October 2022

Sisi Lain Waturaka-2: BLASIUS, PERLAWANAN DAN KEDAULATAN PETANI

Pagi itu saya sengaja menemui Papa Sius (sebutan lain Blasius Letta) di tengah sawah (15/10/22), setelah semalaman berdiskusi dengannya tentang sejarah panjang Waturaka. Saya merasa belum puas berbincang dengannya tentang pertanian dan pariwisata.  Saya menemuinya disaat sibuk membersihkan rumput liar di tanaman strawberinya. Tak jauh dari tanaman tersebut, terdapat gubuk tanpa dinding dan kepulan asap. Ia dan istrinya memasak nasi, kebiasaan yang mereka lakukan pada saat berada di sawah.

Tak lama setelah ngobrol, ia menunjukkan sebuah kolam dengan ukuran 5 x 8 M2 dengan kedalaman 1 M.  Kolam tersebut berisi ratusan ikan emas berukuran kecil hingga besar, bahkan ada yang beratnya mencapai 3 Kg. Ia kemudian mengambil bunga matahari sebagai salah satu makanan ikan yang sangat disukai. Itu satu-satunya kolam di desa tersebut. Sebagian dimanfaatkan untuk keperluan sehari-hari, dan sebagian lain dijual. Meskipun begitu, siapapun warga dan wisatawan dapat memgambil ikan tersebut secara gratis asalkan dimasak atau dibakar di tempat.

Blasius merupakan potret petani Waturaka yang mandiri. Lahan pertanian yang sangat terbatas dimanfaatkan secara maksimal untuk keperluan menanam padi, tanaman holtikultura hingga kolam ikan. Pupuk dan asupan makanan ikan diperoleh dari lokasi tersebut. Semua bersifat organik, sehingga produk pertanian, perkebunan dan perikanan aman dari bahan kimia. Pupuk diproses dari kotoran babi dan dedaunan yang sudah tervermentasi. Makanan ikan berasal dari serbuk dan buah bunga matahari.  Produk hasil organik satu sisi menyehatkan bagi kehidupan warga, di sisi lain model pertanian semacam ini disukai oleh para turis mancanegara.

Blasius sangat getol mengempanyekan kepada warga model pertanian yang sehat agar memiliki keberlangsungan dan pada akhirnya dapat meningkatkan taraf kehidupan warga. Salah satu konsep pertanian yang ia terapkan adalah ‘dari, oleh dan untuk petani’. Ia terinpirasi oleh Peter, warga Canada, antara tahun 1990-1993an yang pernah tinggal di Waturaka. Ia mengajari tentang kemandirian petani melalui konservasi dan cara bercocok tanam. Agar pertanian tetap lestari, maka diperlukan cara dalam mengelolanya melalui pertanian organik. Tidak hanya menyuburkan tanah, tetapi produknya memberikan dampak baik pada kesehatan. Pola pertanian organik disukai oleh orang asing, bukan hanya produknya yang dapat dijual tetapi juga prosesnya.

Konsep itulah yang dicoba oleh Blasius hingga bertahan sampai sekarang. Produk pertanian yang ia kelola lalu dikembangkan menjadi produk unggulan Waturaka. Sementara proses pengolahannya dijual pada orang asing melalui wisata agro dan bahkan menjadi paket wisata. Setelah turis turun dari Kelimutu, lalu mampir ke Waturaka untuk makan siang  di rumah warga. Selanjutnya mereka datang ke sawah dan kebun untuk melihat dan mempraktikkan pengolahan pertanian organik. Dari banyaknya turis yang singgah, menginpirasi warga setempat untuk membuat penginapan yang menyatu dengan warga, atau yang dikenal dengan home stay. Saat ini sudah ada 22 home stay di Waturaka dengan rata-rata 3-4 kamar. Jumlah tersebut setara dengan 25 % warga, karena Waturaka hanya sebuah dusun yang dihuni 100 kepala keluarga.

Home stay merupakan konsep penginapan dimana tamu berada dalam satu atap dengan pemilik rumah. Mereka dapat berinteraksi secara langsung, memasak dan makan bersama. Mereka diperlakukan seperti keluarga. Tidak ada jarak antara tamu dengan pemilik rumah. Sebagaimana saya alami bersama dengan tim peneliti FISIP UINSA. Bahkan kamilah yang menyembelih ayam atas permintaan dari Papa Kosmas, si pemilik rumah agar sesuai dengan syariat Islam.

Selain Blasius, ada keterlibatan Molasaki (tokoh adat), Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata), tokoh lingkungan (tokoh gereja), kepala desa dan sanggar seni. Keenam elemen tersebut menjadi satu kesatuan dalam membangun Waturaka menuju desa wisata. Pokdarwis menjadi organisasi penting yang mengatur lalu lintas wisata desa, dan Blasius sebagai ketua pertama. Selain pertanian, Waturaka juga menawarkan keindahan alam, air terjun Muru Keba, pemandian air panas Liasambe dan sumber uap Mutu Lo’o. Yang tidak kalah penting adalah keberadaan sanggar seni ‘Nuwa Nai’ dengan alat musik khasnya ‘ Sato’. Alat musik Sato ditemukan oleh seniman yang juga berasal dari Waturaka.

Keenam elemen tersebut menjadi penyanggah utama perekonomian desa. Tidak sedikit investor luar yang melirik Waturaka untuk membangun rumah makan bahkan home stay yang lebih permanen, tidak seperti sekarang yang menyatu dengan rumah warga dengan fasilitas seadanya. Namun warga yang dipelopori oleh Blasius dengan kokoh menolaknya. Alasannya karena mereka pingin menjadi pemain di rumah sendiri, bukan sebaliknya hanya menjadi penonton sebagaimana yang terjadi di desa-desa sekitar. Rakyat Waturaka ingin berdaulat dengan kemampuan dan potensi yang dimilikinya, dan sekaligus melawan terhadap intervensi yang justru dapat meruntuhkan nilai-nilai dan semangat kegotongroyongan yang selama ini sudah terbangun.

Masyarakat menyadari bahwa alam Waturaka sudah memberikan segalanya, namun kesadaran terhadap potensi tersebut kurang. Puluhan tahun terjerat kemiskinan, dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Satu-satunya jalan untuk menyambung hidup dengan pergi ke kota untuk mencari pekerjaan. Pilihan pekerjaan lebih banyak menjadi tenaga kasar karena berpendidikan rendah dengan rata-rata lulus SD.

Berbeda dengan kondisi hari ini, semakin lama taraf kehidupan masyarakat semakin baik. Secara ekonomi terjadi lima kali lipat perubahan dibandingkan dengan kehidupan sebelumnya. Hampir terjadi pada semua warga. Pendidikan juga mulai membaik. Banyak anak Watruraka yang kuliah di Kupang, Ende, Bali, Jawa bahkan ikut pendidikan di luar negeri. Aris, salah satu putera Blasius selama dua tahun belajar pertanian di Israel, sebelumnya  kuliah di Politeknik Kupang (tulisan berikutnya : Sisi Lain Waturaka-3:Bagaimana Mengelola Community Based Tourism/CBT)