“Pak Munir, mohon disiapin minuman jahe panas dan buah,” begitu kalimat yang dia kirim melalui aplikasi percakapan WhatsApp (WA) kepada seseorang yang bernama Munir. Set! Set! Langsung terkirimlah pesan itu. Dalam sekejap. Ke aplikasi WA pada gadget orang yang bernama Munir itu. Tanpa ada hambatan apapun. Lancar sekali. Lalu, dalam hitungan detik berikutnya, dari ujung telpon genggam lelaki bernama Munir itu terkirim juga pesan balasan. “Oke,” begitu pesan yang terkirim balik dari gadget lelaki bernama Munir itu ke pengirim asal. Hingga pada titik ini, tak terasa ada masalah apapun. Semua berjalan lancar. Semua baik-baik saja. Antara lelaki bernama Munir dan pengirim pesan pendek itu.
Ogie Sugiyono. Itulah nama lelaki yang mengirim pesan pendek kepada penerima bernama Munir itu. Pengirim pesan awal itu adalah seorang staf di Subdit Ketenagaan, Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Diktis), Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama RI. Kala itu dia sedang bertugas sebagai tim teknis pendamping pelaksanaan uji kompetensi calon Guru Besar. Dilaksanakan di kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang. Dia bertugas untuk menyiapkan kebutuhan teknis selama uji kompetensi itu berlangsung. Karena itu, kalimat yang keluar pada pesan pendek seperti disebut di atas adalah bagian dari tugas teknis yang dia kerjakan.
Tak berselang lama dari saat pesan itu dikirim, datanglah buah yang dalam hitungan menit sebelumnya dipesan. Buah itu dikemas dalam sejumlah piring. Legalah Mas Ogie itu. “Alhamdulilah, cepat sekali pesanan itu datang,” begitu kalimat yang terucap oleh Mas Ogie. Dia terkesan dengan cepatnya layanan panitia internal dari UIN Walisongo Semarang itu. Tanggap dan cekatan. Pasti kerja seperti itu sungguh merupakan layanan yang membanggakan. Siapapun pasti terpesona. Keren sekali. Termasuk Mas Ogie itu. Dia terkesan sekali dengan layanan panitia lokal itu. Begitu dipesan, langsung dijawab. Dan segera pula terkirim buah-buahan yang menjadi pesanan itu.
Tak ada pikiran apapun kala itu. Semua berjalan lancar. Cepat pula. Dan karena itu, lelaki yang bernama Mas Ogie itu merasa biasa-biasa saja. Merasa baik-baik saja. Tak ada yang dirasa janggal. Bahkan layanan yang diberikan terbilang mengagumkan. Membanggakan. Karena begitu teks pesan dikirim, langsung jawaban dia terima dalam sekejap. Dari orang yang dia maksudkan bernama Munir itu. Dan datangnya buah-buahan pesanannya dengan segera itu semakin membuatnya yakin bahwa semua sesuai yang dia inginkan. Karena itu, semua dianggap berjalan baik-baik saja. Tak ada yang aneh. Begitulah kira-kira yang ada dalam pikirannya kala itu.
Namun, setelah beberapa saat lamanya, mulai terasa ada yang janggal. Terasa ada yang aneh. Minuman jahe panas yang dia pesankan ke lelaki yang dia maksudkan bernama Munir itu tak datang-datang juga. Mas Ogie pun mulai merasa ada yang nggak beres. Dia mulai penasaran. “Ada apa ini?” begitu kira-kira rasa penasaran itu menggelayuti pikirannya kala itu. Dia pun merasa nggak enak hati. Penuh teka-teki. Sebab, dibandingkan makanan lainnya, tak hadirnya minuman jahe panas yang dia pesan dalam waktu yang agak lama menimbulkan rasa penasaran. Memunculkan rasa curiga. Buah-buahan yang dia pesan sebelumnya saja langsung datang. Nggak pakai lama pula. Tapi, kenapa jahe panas yang dia pesan juga tak datang-datang. Ini yang membuatnya penasaran.
Dia bukalah HP-nya. Dia periksa kembali teks pesan yang dia kirim ke lelaki yang bernama Pak Munir itu. “Astaghfirullah, saya salah kirim,” begitu kontan terucap olehnya seusai mendapati bahwa dia telah salah kirim. Salah mengirimkan pesan. Bukan kepada Pak Munir yang dia maksudkan di awal. Ya, Pak Munir yang dia maksud di awal saat berkehendak untuk dia kirimi pesan itu adalah Pak Munir yang kepala Biro UIN Walisongo Semarang. Tapi, saat dia periksa ulang HPnya, ternyata Pak Munir yang telah dia kirimi pesan itu bukan Pak Munir yang Kepala Biro itu. Melainkan Pak Munir yang Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK), Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama RI. Pak Munir yang disebut terakhir ini terbilang atasan Mas Ogie. Walau beda direktorat.
Tentu saja, kejadian salah kirim pesan pendek itu membuatnya belingsatan. Apalagi salah kirimnya ke atasannya. Bayangkan, bagaimana tidak gemetarnya dia. Bagaimana tidak gugupnya dia. Bagaimana tidak gelisahnya dia. Dia jabatannya baru staf. Baru masuk pula sebagai pegawai resmi di Diktis Kementerian Agama RI. Sementara Pak Munir yang dia kirimi pesan pendek secara salah kirim itu adalah seorang direktur. Pejabat eselon tiga. “Wah saya bisa jadi jambu mente nih!” begitu kira-kira kalimat yang mungkin timbul dalam benaknya. Kata “jambu mente” itu adalah ungkapan umum untuk mengilustrasikan akibat buruk yang bisa menimpa seseorang yang telah melakukan kesalahan besar dalam jabatan.
Rasa gugup, gelisah, dan gemetar di atas sungguh wajar sekali terjadi pada diri orang seperti Mas Ogie di atas. Perasaan ini muncul untuk membayangkan alangkah tidak tepatnya kejadian salah kirim pesan pendek yang dia lakukan. Lacurnya lagi, praktik salah kirim pesan pendek itu dilakukan oleh pegawai selevelnya. Dan penerimanya adalah seorang direktur. Pemangku jabatan yang dapat mengusulkan pemindahan tugas kepada seluruh pegawai yang ada di bawah eselonisasinya. Tentu, kalau saja praktik salah kirim di atas membuat sang direktur tersinggung lalu marah, akibatnya bisa berabe. Bisa parah banget. Bisa dahsyat.
Buru-burulah dia kirim pesan permintaan maaf kepada Pak Munir yang direktur itu. Pak Munir pun juga menerima permintaan maaf itu. Dia sangat easy-going. Kejadian itu tak bikin dia tersinggung. Apalagi lalu emosi. Tidak. Sungguh tidak. Aku pun dalam kesempatan berbeda menanyakan kejadian itu kepadanya. Tepatnya saat dia hadir dan bertindak memberi arahan kebijakan pada acara Pengukuhan Guru Profesional pada Program Pendidikan Profesi (PPG), Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) UIN Sunan Ampel Surabaya di Hotel Harris, Sukomanunggal, Surabaya (Ahad, 21 Desember 2024). Dia fine-fine saja. Bahkan justru ketawa-tawa. Dan dia pun memperkenankanku untuk menulis kejadian salah kirim pesan di atas ke dalam tulisan popular ini.
Mas Ogie pun juga demikian. Dia juga berkenan kejadian itu kutuliskan ke dalam catatan ringan. Tepatnya begini. Saat dia ceritakan kejadian itu kepadaku, langsung bisikan maut menggelayut di pikiranku. “Ahaa!!! Kejadian ini menarik untuk kutulis dan kuulas,” demikian bisikan maut itu mendorongku untuk membuat tulisan khusus soal ini. Singkatnya, begitu Mas Ogie bercerita soal kejadian salah kirim pesan pendek itu, aku langsung meminta izin kepadanya untuk menuliskan kisah itu ke dalam catatan ringan. Dan dia pun memberiku izin untuk itu. Semua cerita dan izin yang dia berikan kepadaku dia ungkapkan saat kami melaksanakan tugas Ukom calon Guru Besar di Kampus UIN Raden Intan Lampung (Selasa, 17 Desember 2024).
Lalu, aku pun minta percakapan singkatnya dengan Pak Munir yang Direktur GTK lewat WA di atas bisa di-screenshot dan dikirimkan kepadaku. Dia pun oke. Hanya dia bercerita bahwa begitu sadar telah melakukan praktik salah kirim pesan pendek, buru-buru dia hapus pesan salah kirim itu dari aplikasi WA pada HP-nya. Sayang memang, verbatim teks pesan pendek itu akhirnya tak bisa kudapatkan. Karena sudah terhapus, sebagaimana tampak di bagian bawah. Meskipun begitu, aku masih beruntung. Karena kisah itu diceritakan ulang oleh Mas Ogie. Dan substansi kalimatnya juga dia sampaikan. Dan itu juga diamini oleh Pak Munir yang Direktur GTK itu.
Kejadian di atas memberi sejumlah pelajaran penting. Pertama, jika ada yang salah kirim pesan, atau bahkan berkomunikasi janggal, senyumin aja. Pak Munir memberikan pelajaran hebat kepada kita bersama. Yakni, bagaimana praktik salah kirim pesan tidak diterima dengan marah-marah. Tak ditangkap dengan emosi sama sekali. Tidak pula diiringi dengan umpatan. Alih-alih dijawab dengan penuh rasa santai. Kata “Oke” yang dia berikan kepada Mas Ogie sebagai pengirim, sebagaimana diuraikan di atas, mengirimkan pesan penting: Senyumin aja! Sungguh cool sekali Pak Direktur itu!
Respon “Senyumin Aja!” tampaknya sangat menarik menjadi pelajaran. Bagaimana tidak, Pak Munir adalah pejabat eselon tiga. Yang memiliki kewenangan dalam urusan nasib guru madrasah se-Indonesia. Dalam kasus salah kirim pesan di atas, dia telah mendapatkan pesanan untuk membawakan buah-buah dan minuman jahe panas. Dari seorang staf yang pangkat dan jabatannya jauh di bawahnya. Kalaulah dia marah, ada maklumnya. Kalaulah dia tersinggung, ada alasannya. Tapi semua itu dia tinggalkan. Tak dia lakukan. Dia jauhkan. Dari dirinya sendiri.
Sebagai gantinya, dia jawab pesan salah kirim itu dengan jawaban yang tak menunjukkan sama sekali nada marah atau tersinggung. Hingga pengirim pun tak menyadari untuk beberapa saat lamanya kalau dia salah kirim. Dan usai menyadari, baru minta maaf disampaikan. Dan Pak Munir enjoy-enjoy saja. Cara berkomunikasi lintas jabatan seperti ini sungguh memberi pelajaran penting. Bahwa kemanusiaan tak perlu ditinggalkan. Hanya karena persoalan jabatan. Minimal dalam hal komunikasi keseharian. Untuk kepentingan terjalinnya hubungan penuh kehangatan. Pada lintas jabatan.
Hidup memang tak selalu berjalan mulus-mulus saja. Kadang bahagia. Kadang kecewa. Kadang senang. Kadang jengkel. Saat bahagia dan kecewa atau senang dan jengkel itu hadir karena ulah kita, rasa buruknya tak sebesar jika hal serupa datang justru dari pihak lain. Di era serba digital seperti saat ini, datangnya rasa bahagia dan kecewa atau senang dan jengkel itu bisa jadi bukan di ruang fisik-reguler, melainkan ruang maya. Maka, salah kirim pesan, itu bisa saja terjadi. Bahkan, lebih ekstrem lagi, terkadang pesan masuk justeru dari orang yang tak pernah kita kenal. Kepentingannya macam-macam. Bisa iseng. Bisa pulang untuk ngerjain.
Maka, senyumin aja. Itu gaya Pak Munir. Itu strategi Pak Munir. Itu Pelajaran dari Pak Munir. Yang direktur itu. Tak perlu merespon dengan kesal. Jawaban “Oke”, seperti diuraikan di atas, menunjukkan kebesaran hatinya untuk menerima pesan salah kirim itu. Bisa saja dia berkata begini: “Emang saya anak buahmu!” Bisa juga dia memberi jawaban seperti ini: “Hai Anda siapa, saya siapa? Enak saja kirim pesan sembarangan!” Bisa saja Pak Munir melakukan semua itu. Tapi dalam realitasnya, dia tak mengambil langkah semua itu. Dia respon pesan salah kirim dari seorang staf dengan penuh kehangatan. Dia beri jawaban dengan penuh persahabatan. Ungkapan “Oke” adalah pesan penuh kehangatan dan persahabatan itu.
Tentu, husnudzdzon adalah modal penting. Tentu, berbaik sangka adalah perbendaharaan diri yang baik. Kuyakin Pak Munir sangat meneguhkan prinsip ini dalam menjalin komunikasi dengan sesama. Termasuk dengan staf seperti Mas Ogie. Kalau tidak dengan husnudzdzon atau berbaik sangka itu, pasti isi responnya akan penuh emosi. Bukan kehangatan berdimensi persahabatan. Karena itu, respon yang berdimensi “senyumin aja” lahir. Dari sikap dan responnya atas pesan salah kirim dari orang yang posisi struktural jabatannya jauh di bawahnya. Tentu, sikap dan respon seperti ini melampaui standar komunikasi birokrasi lintas jabatan. Hebatnya pula, komunikasi itu bukan dari bawah ke atasan, melainkan dari atasan ke bawahan.
Sebagai pelajaran kedua, hiduplah dalam kemuliaan. Jabatan tak harus meninggalkan semangat kemuliaan. Komunikasi birokrasi memang penting mempertimbangkan posisi jabatan. Tapi pada titik tertentu, komunikasi yang cair bisa menyelesaikan problem sekat posisi struktural jabatan. Maka, menjaga kemuliaan diri dalam komunikasi lintas jabatan menjadi kebutuhan penunaian tugas persahabatan. Pak Munir dalam responnya terhadap praktik salah kirim Mas Ogie, seperti diuraikan di atas, memberi pelajaran penting tentang kemuliaan dalam hidup pertemanan. Jabatan strukturalnya tak membuatnya kehilangan kemuliaan diri saat menerima pesan salah kirim dari Mas Ogie itu.
Tetap mulia saat situasi sedang stabil-stabilnya, itu sih biasa saja. Tetap baik saat kondisi sedang kondusif, itu sih juga tak istimewa. Tapi, saat situasi sedang tidak stabil atau sedang tidak baik-baik saja dan kita tetap bisa menjaga kemuliaan diri, itu baru istimewa. Apalagi saat posisi jabatan struktural Anda berada di atas, maka tentu keistimewaan itu makin terjaga. Dan, komunikasi lintas jabatan dalam birokrasi adalah tantangan konkret bagi upaya menjaga kemuliaan diri. Maka, saat berada dalam jabatan struktural, janganlah jabatan yang berbicara. Biarkan jati diri Anda yang mengemuka. Agar kemuliaan tetap selalu hidup dan berbicara dalam diri.
Nah, dari dua pelajaran di atas, pastikan isi dan identitas yang akan menerima pesan itu sahih. Itu adalah petuah konkret nan spesifik untuk praktik berkomunikasi di dunia maya. Agar salah kirim tak terjadi. Hanya, kejadian salah kirim bukanlah mustahil. Sebab, kadang akibat sikap tak teliti, salah kirim bisa saja tak terhindari. Oleh dan kepada siapapun tanpa terkecuali. Hanya, bagi penerima, reaksi tak perlu berlebihan. Tak menjawabnya, bukanlah pilihan. Karena pengirimnya pasti punya anggapan. Bahwa pesannya sudah tersampaikan. Kalaulah menjawab, meresponnya juga tak boleh kehilangan kesantunan. Agar semua bisa saling belajar kemuliaan. Untuk hidup yang selalu dalam kebaikan. Maka, senyumin aja! Agar masing-masing bisa semakin mempererat persahabatan. Agar kapan pun dan di mana pun kemuliaan bisa tetap dihadirkan.