Articles

Haqqul Yaqin

Raja Midas, legenda klasik yang berkisah tentang keserakahan dan kesia-siaan. Dalam mitologi Yunani, Midas adalah raja yang dianugerahi kemampuan luar biasa, mengubah apa saja yang disentuhnya menjadi emas. Awalnya, Midas melihat kedigdayaan itu sebagai mukjizat dan berkah besar, sebagai simbol kekuasaan dan kemakmuran yang tak tertandingi. Namun, seiring berjalannya waktu, dia menyadari bahwa kekuatan tersebut ternyata kutukan, makanan dan orang-orang tercinta yang disentuhnya kini menjadi benda mati, walaupun itu emas.

Beribu-ribu abad lamanya, Raja Midas terlena dalam keyakinan akan dirinya sebagai sosok sakti mandraguna yang memiliki kendali penuh atas dunia. Kini sentuhan Midas ternyata tidak mampu melawan takdirnya, lapar dan haus tidak dapat dihilangkan karena makanan kini menjadi emas; dengan sang permaisuripun tidak dapat bercinta karena sentuhannya kini istri tercinta menjadi patung emas. Di tengah pikiran yang berkecamuk antara kedigdayaan dan kutukan, akhirnya Raja Midas tertidur pulas.

Dalam tidurnya, dunia di luar istana terus berubah. Teknologi berkembang, ilmu pengetahuan melaju pesat, dan manusia menemukan cara baru untuk memanipulasi realitas dengan cara yang lebih dahsyat dari sekadar sentuhan emas. Saat Midas terbangun dan menghela nafas, Homo Deus telah tumbuh dewasa, ia mendapati dunia yang tidak lagi dikuasai oleh mitologi kuno dan keajaiban primitif, tetapi justru oleh kecerdasan buatan, bioteknologi, dan data yang mengendalikan hampir semua aspek kehidupan.

Homo Deus lahir sebagai manusia yang tidak lagi tunduk pada hukum alam yang dulu mengikat nenek moyangnya. Manusia modern dan melalui pencapaian teknologi yang luar biasa, mulai menaklukkan kelemahan biologisnya. Kematian, penyakit, dan bahkan batasan intelektual sedang dihadapi dan ditantang oleh berbagai inovasi. Di masa depan, manusia bisa menjadi seperti dewa yang memiliki kekuasaan memodifikasi tubuh, pikiran, dan dunia sekitarnya sesuai keinginan dan kehendaknya.

Apa yang terjadi pada Raja Midas yang baru saja terbangun dari tidurnya dan tanpa disadari telah hidup di alam Homo Deus? Kemampuan sakti yang dahulu ia banggakan kini terlihat kecil dan tidak relevan. Mengubah apa pun menjadi emas tampak remeh di hadapan teknologi modern yang mampu menciptakan kehidupan buatan, memetakan genom manusia, dan menyelesaikan masalah-masalah global yang dulu tidak terbayangkan. Bagi Homo Deus, keajaiban Midas bukanlah impian besar, itu hanyalah mimpi usang masa lalu. Raja Midas, yang pernah merasa dirinya mahakuasa, kini harus menghadapi kenyataan bahwa kekuatan sejatinya telah lama dilampaui oleh manusia modern yang mampu mengendalikan alam semesta bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara biologis dan digital.

Kebangkitan Midas dalam dunia Homo Deus bukanlah kebangkitan raja sakti. Alih-alih, ia layaknya kebangkitan seseorang yang tertinggal oleh arus waktu, seorang raja yang mendapati dirinya tidak relevan dalam dunia yang telah bergerak melampaui batas mitologi. Kehendak Midas untuk mengubah dunia dengan sentuhannya kini tidak lagi memiliki tempat. Manusia modern tidak butuh sentuhan magis, mereka memiliki teknologi yang lebih canggih, yang mampu menciptakan realitas baru. Homo Deus menjelma sebagai manusia masa depan yang, melalui pengetahuan dan teknologi, dapat mengubah dirinya sendiri dan dunia di sekitarnya dengan cara yang bahkan lebih menakjubkan daripada yang dapat dibayangkan oleh mitologi kuno.

Ironisnya, Midas yang dulu menganggap dirinya sakti justru kalah dari manusia biasa yang kini telah menjadi Homo Deus. Ia menjelma kontra mitos: kekuatan Midas yang pernah menjadi simbol kemakmuran kini menjadi tanda kelemahan, sebuah anomali di dunia yang tidak lagi memerlukan keajaiban sederhana seperti emas. Midas mungkin tetap memiliki kekuatannya, tetapi dunia tidak lagi membutuhkan atau menghargai apa yang ia tawarkan.

Raja Midas, yang pernah berkuasa dengan sentuhan emasnya, kini menemukan kehendaknya tidak lagi berarti apa-apa. Homo Deus bukanlah sekadar mimpi masa depan, tapi menjelma sebagai realitas yang tidak pernah terbayangkan dan Midas tidak pernah siap menghadapinya. Dunia telah berubah, dan dalam perubahannya, Midas tertinggal dan tersesat dalam mimpi usang yang tak lagi punya tempat di masa depan manusia yang baru.

Kisah Raja Midas cermin cara manusia memahami kekuasaan, kehendak, dan risiko penumpukan ambisi yang tak terkontrol. Mitos, seperti halnya agama, sering digunakan untuk menjelaskan fenomena di luar jangkauan pengetahuan dan kekuatan manusia. Dalam mitos Midas, tampak simbol keserakahan dan ilusi kontrol penuh atas alam. Dan saat mitos dihadapkan pada gagasan Homo Deus—manusia yang mampu melampaui batas biologis dan fisik melalui teknologi—pertanyaannya berubah: Apakah manusia modern benar-benar telah mencapai “status dewa,” atau sekedar mengulang narasi lama tentang kesombongan dan kehancuran?

Mitos Midas sering berfungsi sebagai alat moralitas dan pembelajaran sosial. Di banyak budaya, cerita seperti ini tidak hanya bertujuan menghibur, tetapi juga menanamkan nilai-nilai dan batasan bagi manusia. Betapa bahaya keserakahan, ambisi berlebihan, serta hasrat untuk menguasai hal-hal yang tidak seharusnya dikuasai. Dalam konteks Midas, kekuatan untuk mengubah segala sesuatu menjadi emas tidak lebih dari pencerminan nafsu materialistik manusia. Peringatan bahwa hasrat yang tidak terkendali dapat membawa kehancuran.

Ketika agama dan mitos secara tradisional berbicara tentang batasan manusia dan penyerahan pada kekuatan yang lebih tinggi, dunia Homo Deus menantangnya. Seiring kemajuan teknologi, manusia semakin merasa mampu melampaui batas-batas alam dan fisik yang selama ini dianggap sebagai takdir. Di kalangan masyarakat modern, terutama yang didominasi oleh pemikiran rasional dan sekuler, teknologi dan ilmu pengetahuan sering kali menggantikan peran yang dahulu dipegang oleh mitos dan agama sebagai pemandu moral dan spiritual.

Homo Deus bukan hanya sekadar perkembangan teknologi, tetapi juga perubahan paradigma cara manusia memahami posisinya di alam semesta. Di masa lalu, mitos dan agama mengingatkan kita tentang kelemahan dan ketergantungan manusia pada kekuatan yang lebih besar, seperti dewa-dewa atau alam semesta. Sebaliknya, di dunia modern, manusia mulai melihat dirinya sebagai kekuatan utama, entitas yang mampu menciptakan dan mengendalikan takdirnya sendiri. Inilah bentuk baru “penyulapan” kehendak, di mana bukan lagi raja sakti seperti Midas, melainkan manusia biasa yang menggunakan kecerdasan buatan, bioteknologi, dan algoritma untuk membentuk dunia sesuai keinginannya.

Perubahan ini tidak hanya berdampak pada keyakinan individu, tetapi juga mencerminkan transformasi sosial yang lebih luas. Ketika masyarakat mulai beralih dari sistem kepercayaan berbasis agama dan mitos ke arah keyakinan akan sains dan teknologi, kita melihat perubahan struktur nilai dan norma. Di masa lalu, banyak masyarakat yang percaya bahwa kehidupan manusia dikendalikan oleh kekuatan ilahi atau takdir. Namun, di era Homo Deus, keyakinan digantikan oleh visi manusia sebagai penguasa penuh atas nasibnya sendiri. Kematian, misalnya, yang dulu dianggap sebagai bagian tak terelakkan dari kehidupan, kini dilihat sebagai tantangan teknis yang bisa diatasi dengan pengembangan teknologi medis.

Pertanyannya kemudian, apakah kita benar-benar bebas dari batasan-batasan yang ditekankan oleh mitos dan agama, atau kita hanya mengulangi pola kesombongan manusia sebagaimana laku Midas? Kekuatan besar harus disertai tanggung jawab besar, dan sebagaimana Midas terjebak dalam kutukan yang ia ciptakan sendiri, manusia modernpun juga berisiko terjebak dalam konsekuensi teknologi yang mereka kembangkan.

Agama telah lama berperan sebagai pengingat bahwa ada hal-hal yang berada di luar jangkauan nalar manusia. Dalam tradisi-tradisi agama besar, dewa-dewa atau kekuatan ilahi sering dilihat sebagai penjaga keseimbangan kosmis, yang mengajarkan manusia tentang kerendahan hati dan keterbatasan. Dalam agama-agama Abrahamik, misalnya, manusia dianggap sebagai ciptaan Tuhan yang harus menghormati batas-batas yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta. Tetapi dalam dunia yang semakin mengandalkan teknologi untuk mengatasi tantangan eksistensial, peran agama ini mulai tergeser.

Pada akhirnya, kisah Raja Midas dan Homo Deus menggelorakan ketegangan antara mitos lama dan realitas modern. Raja Midas, yang terjebak dalam mimpi masa lalu tentang kekuasaan dan kontrol, harus menghadapi dunia baru di mana sentuhannya yang ajaib tidak lagi relevan. Begitu pula, manusia modern yang terobsesi dengan kekuatan baru yang ditawarkan oleh teknologi harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam ilusi kesempurnaan yang sama. Teknologi dapat memberi kita kekuatan luar biasa, tetapi seperti dalam kisah Midas, kekuatan tanpa kebijaksanaan dan batasan moral dapat dengan cepat berubah menjadi kutukan. Mitos, agama, dan perubahan sosial terus berinteraksi, menciptakan lapisan-lapisan baru dalam cara manusia memahami dirinya sendiri dan dunia yang terus berubah di sekitarnya. Allahu A’lam bi al Shawab.