Column
*Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Begitu usai doa bersama dipanjatkan, kubergegas menuju makanan dan minuman yang telah disiapkan. Kuambil segera air putih yang menyehatkan. Lalu kuseruput dengan nikmatnya. Dan takjil pun makin lengkap dengan es buah di sebelahnya. Sejurus kemudian, kuayunkan kaki menuju meja makan. Mengambil suguhan nasi plus lauknya. Untuk makan besar yang mengenyangkan. Bersama teman-teman pimpinan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK) UINSA Surabaya. Di puasa hari ke limabelas. Selasa 26 Maret 2024. Kulihat kala itu rentetan para pimpinan fakultas berbaris rapi. Antri. Mulai dari ambil piring hingga buah yang tersaji. Semua dalam kesegeraan yang serupa. Untuk berbuka dari puasa hari yang sama.   

Aku pun lalu antri di bagian paling belakang. Sesuai urutan. Karena datang belakangan. Di situ kulihat ada sahabatku Prof Husniyatus Salamah Zainiyati. Wakil dekan yang ahli bidang ilmu Pendidikan Islam itu. Persis di belakangnya berdiri Bu Dr. Sutini. Ahli matematika yang sekaligus juga Kepala Program Studi. Begitu tahu aku berdiri di ujung antrian paling belakang, bergeraklah kedua sahabatku itu. Mereka berdua beralih dari antrian. Mundur teratur. Lalu keduanya mempersilakanku untuk maju duluan dalam antrian. Tentu maksud keduanya, untuk menghormatiku. Agar aku bisa segera mengambil makanan lebih dulu. Mulia sekali akhlak kedua mereka. “Monggo, Pak Rektor, duluan!” begitu keduanya hampir serempak menyatakan kalimat itu.

Mendengar keduanya mengatakan itu sambil bergerak mundur dan mempersilakanku maju, aku pun mundur juga. Lalu kubilang: “Jangan! Jangan! Monggo duluan. Sesuai antrian. Biar saya nggak tuman.” Kutahu mereka berdua ingin menghormatiku. Dan itu tentu baik sekali. Tapi ku sendiri enggan untuk melewati antrian yang menjadi jatah mereka berdua. “Aku harus dalam antrian!” bisikku dalam hati. Biar tidak ketagihan dilayani. Biar tidak maniak pada privilege. Biar tidak ketagihan dengan perlakuan berbeda atas dasar penghormatan berlebih. Sebab, kuyakin, jika perlakuan berbeda itu kerap kuterima, itu akan segera membentuk kepribadian tersendiri padaku. Kepribadian yang selalu minta dilayani. Dan itu tentu sangat tidak baik sekali bagi kehidupan pribadiku.

Memang, jabatan memungkinkan munculnya privilege itu. Padahal tidak ada ketentuan yang mengharuskannya. Hanya, tidak sedikit memang lingkungan sekitar ingin menunjukkan penghormatan kepada pemegang jabatan itu. Lalu muncullah praktik yang berujung pada beragam bentuk penghormatan itu. Mulai dari mendahulukan giliran padahal belum datang jatah antriannya. Mempersilakan duluan padahal belum tiba gilirannya. Hingga menyalami sambil menundukkan badan sebagai contoh lainnya dari bentuk penghormatan yang ada. Masih banyak misal lainnya yang bisa diturunkan. Sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku di lingkungan masing-masing.

Foto:  Pose Bersama Pada Taujihat Akademik dan Bukber FTK UINSA

Foto:  Pose Bersama Pada Taujihat Akademik dan Bukber FTK UINSA

Kutahu bahwa praktik semua itu ingin ditunjukkan oleh sahabat-sahabat di sekitarku kepadaku. Tapi aku juga harus tersadar sesadar-sadarnya bahwa aku tak boleh tumbuh dalam bentukan kebiasaan itu. Karena bisa membuatku lupa diri. Bisa membuatku keluar dari kerangka jati diri yang telah menjadi bagian dari hidupku selama ini. Sebelum memangku jabatan, sudah barang tentu. Karena itu, aku pun tidak boleh telat sadar diri atas aku dan jabatan yang kuampu. Biar kepribadianku tak ditawan oleh jabatanku. Semua itu untuk kemuliaan hidup yang selalu kurindu.

Lama kulakukan tindakan itu. Lama kuikuti pilihan hidup itu. “Aku tak ingin kehilangan jati diriku sendiri,” begitu kalimat yang selalu terngiang di telingaku. Bagiku, tak boleh jabatan membuat banyak hal berubah. Terutama kepribadian yang lama menjadi bagian dari kehidupanku. Menjadi bagian dari kebiasaanku. Lalu semua harus berubah karena jabatan yang kuampu. Privilege lalu harus menyatu dengan setiap langkahku. Dengan privilege itu, kemewahan selalu lahir dari penghormatan orang-orang di sekitarku. Sebagai sebuah kemewahan, tentu penghormatan-penghormatan itu mengenakkan. Dan bahkan bisa membuat diri melayang. Tapi, itu semua tidak bagus bagi kelangsungan jati diri dan kepribadian awal yang telah menyatu dalam diri. Minimal untukku.

Dilema lalu sering kuhadapi. Di situ aku kadang harus bertempur sendiri dalam diriku. Menjaga kepribadianku dan menghormati profesionalisme orang-orang di sekitarku. Dua kepentingan yang kadang tak bisa dikompromikan. Saat sukses dikompromikan, tentu ku bahagia. Pilihannya aku tentu berusaha kuat untuk tidak menikmati privilege itu. Tapi, saat kompromi itu justeru akan membuat profesionalisme orang-orang sekitarku terganggu, aku harus segera mengambil langkah yang jitu. Untuk membuat profesionalisme orang-orang di sekitarku itu tak ambruk karena ketidakcermatan tindakanku. Atas praktik penghormatan yang diberikan kepadaku.

Ada dua kondisi yang penting kuulas dalam kaitannya untuk menjunjung profesionalisme para pihak di sekitarku itu. Pertama, saat tindakanku mengganggu profesionalisme orang-orang di sekitarku, aku harus tahu diri. Bahwa praktik penghormatan tak boleh kutolak. Tak boleh kuhalau. Apalagi, itu terjadi pada momentum harian. Contoh paling besar adalah bentuk penghormatan sahabat-sahabat terbaikku yang bertugas sebagai petugas keamanan kampusku. Setiap ku tiba di kampus, sikap hormat selalu dilakukan mereka. Pintu mobil pun kadang-kadang dibukakan saat ada di antara mereka yang sedang berada dekat dengan area lobby gedung utama. Bahkan, pintu akses ke gedung juga mereka bukakan saat kaki kulangkahkan untuk memasukinya.

Awalnya ku selalu bilang. Termasuk melalui sahabatku, Mas Ribut, yang selalu mendampingiku hampir ke manapun ku bertugas. “Mas, tolong kasih tahu teman-teman petugas keamanan agar tidak membukakan pintu kendaraan saat ku tiba atau saat hendak pulang,” begitu pintaku ke Mas Ribut. “Iki suwe-suwe gawat Mas, bisa bikin saya ketagihan dilayani.” Begitu pinta lanjutanku ke sahabatku itu. Tapi toh, tetap saja mereka melakukan kebiasaan itu kepadaku. Tak berubah walaupun berkali-kali aku sudah meminta sahabatku itu menyampaikan kepada para petugas keamanan itu. Mereka tetap membukakan pintu kendaraan. Mereka juga tetap membukakan pintu akses masuk ke gedung.

Aku pun tersadar saat sahabatku Mas Ribut itu mengingatkanku. “Mereka itu dipantau oleh pimpinan perusahaannya Pak. Melayani pimpinan sudah menjadi SOP mereka. Membukakan pintu kendaraan juga sudah menjadi prosedur kerja mereka. Malah kalau mereka tidak melakukan itu, dan ada laporan ke pimpinan perusahaan, mereka bisa dipersalahkan oleh bosnya.” Begitu kira-kira kalimat yang kuingat dari pernyataan Mas Ribut kepadaku dalam sejumlah kesempatan saat berada di dalam kendaaraan untuk meninggalkan kampus.

Kalimat mulia Mas Ribut di atas membuatku harus memutar otak kembali. Mengubah pendirianku lagi. Bahwa pendirian awalku yang tidak ingin ada perlakukan penghormatan harus kutawar ulang dengan kepentingan teman-temanku sebagai petugas keamanan. Sikap hormat, membukakan pintu kendaraam, membukakan pintu akses ke gedung kerja adalah bagian dari tugas profesional keamanan dan pengamanan yang harus dilakukan oleh semua petugas keamanan. Mereka harus melakukan itu semua untuk menjaga dan menjunjung tinggi profesionalisme mereka sebagai petugas keamanan.

Akupun harus menghormati profesionalisme mereka. Justeru, jika aku menolak berbagi layanan profesional yang mereka berikan, aku bisa-bisa terjerembab ke dalam praktik yang tidak menjunjung tinggi profesionalisme orang lain. “Jangan hancurkan profesionalisme mereka hanya karena kepentingan dirimu yang menolak dilayani atau diutamakan,” begitu bisikku akhirnya kepada diriku. Sikap itu akhirnya kuambil bukan untuk kepentingan diriku. Melainkan justeru ku tak ingin tindakanku akan menghancurkan komitmen mereka pada profesionalisme kerja mereka. Sikap ini harus kuambil demi kemaslahatan yang lebih besar. Melintasi diriku dan mengenai profesionalisme sesama.

Kondisi kedua dalam kaitan menunjung profesionalisme para pihak di atas adalah saat kebiasaan berhadapan langsung dengan kebutuhan pembelajaran. For education purposes, kata Orang Barat. Li gharadl al-tarbiyah, kata Orang Arab. Contoh paling riil yang sering kuhadapi adalah kebiasaan cium tangan peserta didik kepadaku. Di awal, kuyakin dengan prinsip berikut: mahasiswa adalah pribadi yang sudah beranjak dewasa, maka mereka juga harus diperlakukan sebagai orang dewasa. Juga, sebelumnya kuyakin, bahwa praktik cium tangan cenderung bisa mengikis kritisisme dalam dunia akademik. Aku pun sudah cukup lama menolak saat ada mahasiswa mencoba mempraktikkan aksi cium tangan kepadaku.

Namun, praktikku itu lalu akhirnya kusadari salah. Sebab, jika itu kulakukan, aku akan menjauhkan mahasiswa ku sendiri dari tradisi kesantrian yang sudah cukup lama mereka praktikkan. Kusadari bahwa banyak mahasiswaku berlatar belakang santri pesantren. Tak sedikit mereka juga dari madrasah. Tentu, aksi cium tangan sudah menjadi bagian dari kebiasaan mereka. Dan tentu semua itu kebiasaan baik. Maka, kalau kutolak saat mereka hendak bersalaman dengan mencium tanganku, aku bisa meruntuhkan kebiasaan mulia mereka untuk menghormati guru dan orang yang lebih tua.

Di sini akhirnya ku harus mengambil keputusan penting. Selama ada unsur kepentingan untuk menjaga profesionalisme pekerjaan serta untuk memperkuat karakter pendidikan, ku bisa membiarkan penghormatan dilakukan kepada diriku. Mulai dari memberikan layanan buka pintu kendaraan dan kantor hingga praktik cium tangan. Di luar itu, ku harus camkan bahwa jabatan tak boleh meruntuhkan karakter. Jabatan tak seharusnya membuat kita tercerabut dari akar jati diri sendiri. Aku harus sadar bahwa jabatan bisa datang dan pergi. Namun kepribadian tak boleh pasang-surut, apalagi defisit sana-sini. 

Menjaga kepribadian itu penting. Tapi saat harus bersinggungan dengan profesionalisme sesama, pilihannya memang tidak banyak. Menolak penghormatan bisa berarti tak membantu sekeliling untuk memperkuat profesionalismenya. Menikmati privilege atau penghormatan bisa juga mengganggu perjalanan panjang jati diri. Bisa-bisa praktik minta dilayani akan segera menjadi kebiasaan tersendiri. Nah, kedua pilihan itu harus dikompromikan. Harus dipertemukan. Agar kepribadian sendiri tak jadi lacur. Dan profesionalisme sesama juga tak terganggu. Tak harus penjagaan atas kepribadian sendiri merusak profesionalisme sesama. Tak semestinya pilihan atas sikap hidup sendiri membuat runtuh profesionalisme sesama.

Penghormatan atas profesionalisme sesama memang harus diikhtiarkan. Tapi menjaga kepribadian sendiri tak boleh dikesampingkan. Selama masih dimungkinkan, kompromi dan sinergi antara kepentingan penjagaan kepribadian sendiri dan penghormatan atas profesionalisme sesama adalah pilihan bijak. Tapi, penghormatan atas dasar pemberian privilege berbasis jabatan tak semestinya berjalan hingga meninabobokkan. Agar kelak tak mengganggu kepribadian. Akibat sikap diri yang selalu dimanja oleh pelayanan. Atau bahkan menuntut diberikannya layanan kemudahan. Karena itu, ketagihan atas pelayanan berlebih adalah penyakit diri yang harus dihindarkan.