Siapa yang tidak kenal dengan syekh Muhammad Al-Ghazali, beliau ulama besar yang berasal dari Mesir. Sebagai tokoh moderat, pemikiran syekh Muhammad Ghazali diikuti pelbagai elemen muslimin secara global, para pembaca karya-karyanya tidak hanya dari kalangan umat Islam di dunia Arab, melainkan juga di Nusantara.
Dalam sebuah kesempatan, Syekh Muhammad Al-Ghazali pernah ditanya tentang sikap Islam terhadap musik, ia pun berkata:
“Mungkin ada yang memahami bahwa saya memerangi lagu, musik dan hiburan. Tidak, akan tetapi saya menyadari bahwa bangsa Arab dan Umat Islam ingin sedikit bekerja dan banyak bernyanyi. Sedangkan hiburan dan rekreasi adalah hak orang-orang yang kelelahan, bukan hak orang-orang yang hidup dengan santai!”
Ia melanjutkan, “Lagu hanyalah sebuah susunan kata-kata bermakna. Kata yang mengandung makna positif, maka baik. Dan yang mengandung makna negatif, maka buruk. Orang yang bernyanyi atau mendengar nyanyian dengan makna yang baik serta irama yang indah, maka tidak ada masalah baginya! Kita tidaklah memerangi kecuali nyanyian konyol yang mengandung makna dan irama yang tidak jelas.” (Lihat: 100 Pertanyaan tentang Islam, Muhammad Al-Ghazali, Jil. 1, hal. 247-256)
Semasa hidupnya, Syekh Muhammad Al-Ghazali senantiasa berada di garda terdepan dalam menghadapi pemikiran-pemikiran ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Guru dari Syekh Yusuf Al-Qaradhawi (penulis buku “Fikih Lagu dan Musik”) yang sangat produktif menulis ini, kata-katanya yang selalu tajam dan kritikannya selalu menghujam ke dalam nalar pikiran orang-orang yang kerap menyitir Hadits namun tidak diiringi dengan piranti Fikih dalam memahami teks-teks Nabawi tersebut.
Fenomena itulah yang kemudian mendorong Syekh Muhammad Al-Ghazali untuk menulis buku berjudul “As-Sunnah An-Nabawiyyah Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadits” (Sunnah Nabi, antara Pakar Fikih dan Pakar Hadits). Buku ini pun mendapat beragam respons, mulai dari pujian hingga kecaman. Maka dari itu banyak sekali kontroversi yang disebabkan oleh pendapatnya. Jika beliau hidup di masa sekarang dan hidup di Indonesia mungkin akan dilaporkan sebagai penista agama oleh kalangan awam yang baru belajar agama “kaum sumbu pendek”
“Dituding menista Agama itu menyakitkan” (Tretan Muslim)
Namun ternyata Allah punya cara lain dalam menolong dakwah Syekh Al-Ghazali, di akhir hayatnya, Syekh Al-Ghazali ditakdirkan wafat di Arab Saudi, yaitu saat ia mengisi seminar, lalu ada yang menuduhnya bahwa ia telah memerangi Sunnah Nabi. Maka Syekh Al-Ghazali pun membantahnya, dan ketika dia mengatakan: “Kita ingin mewujudkan di dunia ini, Laa Ilaaha Illallaah…” seketika napasnya berhenti, dan itulah kalimat yang diucapkannya sebelum akhirnya dia mengembuskan napas terakhirnya.
Lalu, atas perintah dari pangeran Abdullah (Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi saat itu), dan juga saran dari Syekh Abdullah Bin Baz (Mufti Kerajaan Arab Saudi kala itu), maka jasad Syekh Muhammad Al-Ghazali pun diperintahkan untuk dimakamkan di Baqi’, Madinah Al-Munawwarah. Uniknya, setiap kali digali kuburan untuknya, tanahnya selalu keras dan tidak bisa digali. Hingga akhirnya ditemukanlah tanah yang mudah digali untuk memakamkan jasadnya, dan tanah itu terletak di antara makam Nafi’ Maula Ibnu Umar (Ahli Hadits dari kalangan Tabi’in) dan Imam Malik (Ahli Fikih pendiri Mazhab).
Sebagaimana diketahui, dalam Ilmu riwayat (dan ini adalah pendapat Imam Bukhari), apabila ada sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, maka itu adalah sanad riwayat yang disebut sebagai “Silsilah Dzahabiyah” (mata rantai emas, atau sanad sahih dengan kualitas premium grade-1). Seakan-akan di sini terdapat isyarat, bahwa Syekh Muhammad Al-Ghazali semasa hidupnya telah berkiprah dalam memadukan antara Hadits dan Fikih secara harmonis, sehingga di akhir hayatnya dia mendapat kemuliaan untuk dimakamkan di antara dua Imam mulia yang dikenal dalam sejarah Umat Islam itu.
Wallahu A’lam.
[Fathoniz Zakka, Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat]