Berita

PLENARY SESSION 3: KESETARAAN ADALAH AJARAN ISLAM, TIDAK PERLU DIPERTENTANGKAN

UINSA Newsroom, Kamis (04/05/2023); “Bagaimana mungkin budak seperti Abul Aliyah bisa menempati posisi yang lebih tinggi daripada Sepupu Rasulullah SAW, Ibnu Abbas, tak lain karena Islam menyetarakan diantara umat manusia,”

“Maqashid al-syariah as a reference and framework of Fiqh for Humanity” menjadi tema yang diangkat dalam sesi Plennary 3, Kamis, 4 Mei 2023. Bertempat di Gedung KH. Saifuddin Zuhri Sport Center UIN Sunan Ampel (UINSA) Surabaya,  sesi ini dipandu Prof. Siti Aisiyah. M.A., Ph.D., Guru Besar Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

Hadir sebagai narasumber utama, yakni Prof. Mashood A. Baderin, Pengacara Mahkamah Agung Nigeria dan KH. DR (HC). Afifuddin Muhajir, Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Asembagus Situbondo.

Prof. Siti menjelaskan, bahwa sesi pleno ini membahas tentang konsep Maqashid al-Syariah yang dirumuskan para ulama fiqh yang menjadi acuan dalam memecahkan persoalan manusia yang belum dirumuskan secara jelas dan komprehensif. Oleh karena itu, fiqh harus memberikan solusi yang didasarkan pada kemaslahatan umat dan kemanusiaan. Karena dengan menjadikan Maqashid sebagai asas dan acuan dalam kerangka kemanusiaan, maka kontribusi fiqh dalam mengatasi persoalan manusia akan dirumuskan dengan lebih baik.

“Ada hal yang sangat penting dalam catatan kita adalah General Scope Maqashid. Jadi ada Maqashid yang bersifat umum dan ada Maqashid yang bersifat khusus. Semua itu endingnya adalah bagaimana mendukung, mendorong, dan mengharmonisasi hukum Islam dengan HAM,” terang Prof. Siti menyampaikan highlighted point dari paparan Prof. Mashood A. Baderin.

Disinilah peran para akademisi dan peneliti, lanjut Prof. Siti, untuk dapat mensyiarkan tentang adanya kesetaraan baik dalam tataran tekstual maupun kontekstual. Prof. Siti juga menggarisbawahi, bahwa sebagaimana disampaikan para panelis, tujuan dari Hukum Islam pada dasarnya adalah untuk kemaslahatan kemanusiaan.

Perbedaan yang terjadi selama ini, menurut Prof. Siti, dikarenakan kurangnya pemahaman akan prinsip dasar dari hukum Islam itu sendiri. Sehingga memunculkan diskriminasi maupun eksklusifitas. “Dengan adanya Maqashid al-Syariah ini, bagaimana Umat Islam dan para pemikir Intelektual Muslim menggunakan ini sebagai dasar berpijak supaya terjadi kesamaan dan kesetaraan dalam kemanusiaan,” ujar Prof. Siti.

Kedua, jelas Prof. Siti, bahwa dalam Al Quran maupun Hadits jelas mengajarkan tentang nilai kesetaraan dan kesamaan. “Perbedaan yang ada di Indonesia maupun golongan itu adalah sunnatullah. Itu tetap harus dijaga untuk menjadi suatu keutuhan sebagai persatuan dan keunikan,” imbuh Prof. Siti.

Dalam paparan KH. Afifuddin misalnya diceritakan tentang kisah Rafi’ bin Mahram yang dikenal dengan sebutan Abul Aliyah. Ia adalah bekas hamba milik seorang wanita Bani Riyah yang kemudian menjadi tabi’in yang sangat teliti dari penduduk Basrah, dan terkenal dengan ahli fiqh dan Tafsir.

Dalam sebuah riwayat bahkan dijelaskan, bahwa Abul Aliyah memiliki posisi yang lebih tinggi dibandingkan Ibnu Abbas, yang adalah Sepupu Nabi SAW. Sedangkan seluruh kaum Quraisy berada dibawah Ibnu Abbas. “Islam menempatkan orang alim pada posisi yang lebih tinggi dibandingkan orang yang punya nasab tinggi,” terang KH. Afifuddin.

Sebagai rekomendasi, Prof. Siti menjelaskan, bahwa Maqashid al-syariah diharapkan dapat menjadi pijakan dalam hidup bermasyarakat. “Rekomendasinya itu, tidak usah ribut, tidak usah ada pembedaan, perbedaan itu biasa saja,” tukas Prof. Siti. (All/Humas)