Berita

PLENARY SESSION #2: REKONTEKSTUALISASI FIQH UNTUK KEHARMONISAN DAN PERDAMAIAN DUNIA

UINSA Newsroom, Rabu (03 /05/2023); UIN Sunan Ampel (UINSA) Surabaya menjadi tuan rumah pada Annual International Conference on Islamic Studies yang ke-22 (AICIS 2023) pada tanggal 2-5 Mei 2023 di Gedung KH. Saifuddin Zuhri Sport Center UINSA. AICIS 2023 mengusung tema “Recontextualizing Fiqh for Equal Humanity and Sustainable Peace,” yang bertujuan untuk membahas peran fiqh dalam menciptakan kesetaraan manusia dan perdamaian yang berkelanjutan di seluruh dunia.

Pada rangkaian Plenary Session 2 membahas terkait pengkajian ulang fiqh agar tercipta perdamaian antar umat. Dimoderatori Dr. Muhammad Syairozi Dimyati Ilyas, LC., MA., dengan tiga pembicara yaitu ulama Al-Azhar, Prof. Dr. Usamah Al-Sayyid Al-Azhary; Peneliti fatwa Al-Azhar, Muhammad Al Marakiby, Ph.D; Ulama Ma’had Aly, Dr. Imam Nahe’i, M.Hi; dan Associate Professor Universitas Malaya, Ass. Prof. Rahimin Affandi Bin Abdul Rahim.

Pada sesi ini berfokus pada rekonstektualisasi fiqh agar dapat tercapai keharmonisan dan perdamaian dunia. “Agar fiqh dapat menjawab tantangan zaman. Karena fiqh yang beredar saat ini adalah fiqh 400-500 tahun yang lalu sehingga tidak sesuai dengan apa yang terjadi di zaman sekarang ini,” tutur Dr. Syairozi.

Hak dan kewajiban antar muslim dan non muslim maupun hubungan sehari-hari harus lebih difahamkan kepada umat manusia. Seperti contohnya memberikan selamat hari raya kepada non muslim, hal ini tidak perlu untuk dilarang karena akan memberikan dampak luas pada tumbuhnya keharmonisan antar umat beragama.

“Dahulu ucapan ini dilarang karena situasi saat itu dalam masa peperangan. Zaman sudah berubah dan tidak ada peperangan. Demi kedamaian hidup berdampingan maka diperbolehkan,” ujar Prof. Dr. Usamah.

Prof. Dr. Usamah Al-Sayyid Al-Azhary juga menjelaskan, bahwa kehidupan sosial masyarakat membutuhkan keteraturan dan kedamaian merujuk pada fiqh dan hukum agama. Atas dasar itulah, Prof. Dr. Usamah mengajak para ulama untuk menggunakan madzhab secara bijak dalam hal penentuan fatwa agar tidak kontraproduktif dengan tujuan Hukum Islam itu sendiri.

“Dalam hal pembelajaran harus bersikap ketat agar setiap individu memiliki dasar yang kuat. Namun dalam konteks penentuan suatu fatwa, pemahaman madzhab harus menyelaraskan dengan pemahaman madzhab lain agar tidak kaku,” imbuh Prof. Dr. Usamah.

Muhammad Al Marakiby juga berpendapat, bahwa solusi atas fiqh pada zaman ini harus komprehensif agar hakikat dari hukum itu sendiri lebih tepat sasaran dan membumi. “Keadilan memang harus ditegakkan, namun tidak hanya berfokus pada individu saja melainkan secara keseluruhan agar terciptanya keadilan sosial sehingga timbullah keharmonisan dalam kehidupan beragama,” tutur Muhammad Al Marakiby.

Adanya forum Plenary Session 2 ini diharapkan, membawa dampak positif sekaligus semangat agar tercipta kedamaian dunia. “Forum ini diharapkan mampu menciptakan adanya satu upaya dari para ulama, cendekiawan dan fuqaha akan adanya keberanian membaca dan mengkaji ulang fiqh yang telah ada agar kita tidak selalu jumud atau statis dan dapat terjadinya rekonstekstualisasi dari fiqh itu sendiri,” tutup Prof. Dr. Syairozi. (All/Humas)