Indonesia secara formal merupakan negara demokrasi dengan populasi terbesar ke-tiga di dunia, setelah India dan Amerika Serikat. Juga Negara demokrasi dengan populasi muslim terbesar pertama di dunia. Indonesia sebagai negara demokrasi menggelar pemilu secara berkala lima tahun sekali. Salah satu jenis pemilu yang digelar adalah Pemilihan Presiden (Pilpres). Pemilihan Presiden secara langsung pertama kali digelar tahun 2004, kemudian tahun 2009, berikutnya tahun 2014, selanjutnya tahun 2019 dan 2024. Pemilihan Presiden 2024 semestinya tidak sekedar menjadi ajang sirkulasi elit, memilih Presiden dan Wakil Presiden baru. tapi juga menjadi ajang edukasi politik, representasi politik dan legitimasi politik. Pemilihan Presiden tidak sekedar pesta demokrasi prosedural formal, juga harus menghadirkan demokrasi substansial, rakyat betul-betul berdaulat dalam memilih pimpinan nasional.
Pilpres langsung tahun 2024 dikuti oleh 3 (tiga) kandidat yaitu: Anies Rasyid Baswedan-Abdul Muhaimain Iskandar, Prabowo Subiyanto-Gibran Rakabuming Raka dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Anies Rasyid Baswedan-Abdul Muhaimain Iskandar diusung dan didukung oleh Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Umat. Prabowo Subiyanto-Gibran Rakabuming Raka diusung dan didukung oleh Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Garda Perubahan Indonesia (Garuda), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora). Ganjar Pranowo-Mahfud MD diusung dan didukung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Perindo, Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).
Pilpres 2024 merupakan pilpres yang strategis dan oportunitif bagi semua kandidat, karena tidak ada petahana (incumbent) yang running dalam proses pemilihan. Secara teoritis semua kandidat berpotensi mendapatkan kesempatan dan peluang untuk memenangkan kontestasi, terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Mobilisasi beragam sumber daya dan strategi kampanye yang jitu akan menjadi faktor distintif dan determinan dalam kontestasi pilpres tersebut. Apakah kandidat beserta tim sukses melakukan mobilisasi sumber daya dan menerapkan strategi kampanye yang dilandasi etika/moral kontestasi yang baik, taat dan patuh kepada hukum dan memiliki kultur siap menang secara bermartabat dan siap kalah secara terhormat atukah sebaliknya.
Pilpres 2024 diwarnai dengan berbagai fenomena yang kotradiktif dan tidak kompatibel terhadap demokrasi otentik dan substansial. Pertama, manipulasi aturan permainan melalui Judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait persyaratan Capres-Cawapres yang menjadi constrains bagi salah satu bakal calon. Amar putusan meloloskan dan memberikan akses bagi yang bersangkutan running sebagai Calon Wakil Presiden. Ketua MK secara defenitif diputuskan melanggar kode etik, diberhentikan sebagai Ketua MK dan tidak diperbolehkan terlibat menganani perkara pemilu. Kedua, dugaan kuat keterlibatan aparatur negara, baik “TNI”, “POLRI”, “ASN” dalam memobilisasi dukungan untuk salah satu pasang calon. Hal itu kerap disuarakan oleh Tim Kampanye Nasional pasangan calon 01 dan 03, Ketua Umum Partai Pengusung seperti Megawati Soekarno Putri, Surya Paloh, media nasional bereputasi seperti Tempo, Kompas, para guru besar di berbagai Perguruan Tinggi dan aktifis dari koalisi masyarakat sipil dll. Ketiga, penggunaan APBN dalam jumlah besar, fantastis dan spektakuler untuk program bantuan sosial yang dipersonifikasikan kepada salah satu pasangan calon. Keempat, melakukan intimidasi dan politik sandra terhadap tokoh dan pejabat politik-pemerintahan di berbagai tingkatan dan lapisan yang diduga memiliki masalah hukum seperti kasus tindak pidana korupsi dll. Hal ini dipakai sebagai instrumen negosiasi, barter penghentikan kasus dengan kompensasi mobilisasi dukungan untuk salah satu pasangan calon. Kelima, menghalangi dan membatasi para penyandang dana dalam membantu pembiayaan kampanye pasangan calon tertentu yang berkontestasi. Sehingga terjadi kontestasi yang tidak setara dan tidak adil, dalam hal dana kampanye, ada pasangan calon yang mendominasi dana kampanye dan ada pasangan calon yang termarginalisasi dana kampanyenya. Keenam, sebagian penyelenggara pemilu terindikasi tidak konsisten dalam menjaga independensi, integritas dan profesionalitas dalam proses penyelenggaraan pemilu. Banyak contoh kasus yang mengindikasikan hal itu, salah satunya pelanggaran kode etik yang dilakukan Komisioner KPU RI dan secara defenitif mendapatkan sanksi peringatan keras dari DKPP RI, karena menerima pendaftaran salah satu cawapres yang lolos melalui mekanisme judicial review dimana hakim agungnya melakukan pelanggaran kode etik dan mendapatkan sanksi hukum. Ketujuh, dugaan akan dilakukanya manipulasi dalam pemungutan, penghitungan dan rekapitulasi suara.
Fenomena tersebut di atas, dalam berbagai studi Andreas Schedler disebut sebagai electoral authoritarianism. Fenomena electoral authoritarian terjadi di berbagai belahan dunia seperti di sebagian negara eks Uni Soviet seperti Armenia, Azerbaijan, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Russia, and Tajikistan; di Timur Tengah dan Afrika Utara seperti di Aljazair, Mesir, Tunisia, and Yaman; di Sub Sahara Afrika seperti di Burkina Faso, Cameroon, Chad, Ethiopia, Gabon, Gambia, Guinea, Mauritania, Tanzania, Togo, and Zambia; dan di Asia Tenggara seperti di Kamboja, Singapura.
Proses penyelenggaraan Pilpres yang mengarah pada electoral authoritarianism di indonesia dimungkinkan memicu gerakan tolak hasil pemilu, pemerintahan yang terbentuk kurang legitimate (delegitimasi), polarisasi politik dan chaos yang berpotensi menyebabkan disintegrasi bangsa.
Untuk itu perlu dilakukan tindakan preventif dan penanganan yang holistik, terstruktur, systematis dan massif untuk menyelamatkan Pilpres 2024 dan kedaulatan rakyat . Meskipun sudah masuk di penghujung hari tenang, besok sudah masuk waktu pencoblosan. Tidak ada kata terlambat untuk menjadi lebih baik. Beberapa langkah berikut dapat dilakukan. Pertama, Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan memposisikan diri sebagai negarawan bukan partisan. Figure terdepan dan teladan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya memastikan Aparatur Negara bersikap netral, imparsial dan professional, bukan partisan. Kedua, Presiden dan para Menteri tidak melakukan politisasi segala bentuk pelayanan kepada masyarakat yang berasal dari keuangan negara, termasuk Bantuan Sosial (Bansos), untuk kepentingan politik electoral. Ketiga, Para menteri dan pimpinan lembaga negara yang menjadi calon presiden dan menjadi bagian tim pemenangan harus mengundurkan diri dari jabatan agar tidak terjadi konflik kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan serta pemanfaatan fasilitas negara. Keempat, Penyelenggara Pemilu memposisikan diri kembali sebagai lembaga independent, non partisan dan professional. Kelima, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) harus turut memainkan fungsi asasinya sebagai pengawas jalannya kekuasaan, dengan melakukan pengawasan terhadap lembaga eksekutif dalam hal penyelenggaraan pemilu agar berjalan konsisten secara demokratis. Keenam, Seluruh masyarakat Indonesia, terutama ormas keagamaan, aktisis LSM, cendekiawan, mahasiswa, kaum perempuan, kalangan muda dan media massa, hendaknya berperan aktif dalam pemilu, terutama dalam turut mengawasi dan memantau proses tahapan-tahapan pemilu terutama pada saat pemungutan dan penghitungan suara, dan melaporkan jika terjadi kecurangan.
* Dr. Andi Suwarko, M.Si, Dosen Prodi Pemikiran Politik Islam dan Prodi Ilmu Politik UIN Sunan Ampel Surabaya.