Articles

Oleh: Firmansyah

“Malas” adalah salah satu kata yang sering kali mendapat stigma negatif di tengah masyarakat kita. Sejak kecil, kita diajarkan bahwa malas adalah akar dari segala kegagalan. Bahkan, dalam budaya populer pun, orang yang tidak sibuk atau tidak berbuat banyak sering kali dianggap tidak produktif, bahkan tak berguna. Padahal, benarkah semata-mata begitu?

Sejarah mencatat bahwa cap “pribumi pemalas” pernah dilontarkan oleh penjajah kepada masyarakat Indonesia. Kalimat ini terus menggema dan, entah bagaimana, tertanam cukup dalam pada benak sebagian besar masyarakat. Akibatnya, kita menjadi terbiasa melihat siapa pun yang tidak berhasil—dalam pendidikan, pekerjaan, atau aspek sosial lainnya—sebagai orang yang malas. Orang miskin dianggap malas bekerja. Orang bodoh dianggap malas belajar. Bahkan, orang yang memilih hidup sederhana pun kadang dianggap tidak punya ambisi.

Namun, apakah semuanya sesederhana itu?

Bisa jadi, pandangan semacam itu hanyalah cara paling mudah untuk menyalahkan individu atas kegagalan sistem. Ketika pendidikan gagal mencerdaskan, ketika ekonomi gagal memberi pemerataan, dan ketika kesempatan tidak tersedia secara adil, “malas” dijadikan kambing hitam. Kita lupa bahwa tidak semua ketertinggalan berasal dari kemauan pribadi. Banyak faktor struktural dan sistemik yang membentuk realitas sosial kita hari ini.

Yang menarik, kita justru jarang melihat “malas” dari sisi yang lebih positif. Padahal, ada bentuk malas yang sebenarnya sehat dan perlu: waktu luang yang disengaja. Sebuah jeda dari kesibukan sehari-hari, waktu untuk bermalasan secara sadar dan bermakna.

Coba kita perhatikan kehidupan sehari-hari. Bangun pagi terburu-buru, bekerja atau kuliah dari pagi hingga malam, lalu tidur, dan keesokan harinya mengulang hal yang sama. Rutinitas yang terus-menerus ini sering kali membuat kita lupa bahwa tubuh dan pikiran juga butuh istirahat. Bahkan, ketika kita sudah merasa sangat lelah, kita justru menyalahkan diri sendiri karena “malas”. Padahal, justru di situlah masalahnya: kita terlalu takut bermalasan, hingga lupa bahwa manusia bukan mesin.

Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Barang siapa yang hidupnya hanya memikirkan perut, maka ia tidak lebih baik dari apa yang keluar dari perutnya.” Kalimat ini terasa menohok, tetapi pada saat yang sama menyadarkan bahwa hidup tidak seharusnya hanya berkisar pada kebutuhan dasar. Manusia butuh waktu untuk berpikir, merenung, dan memaknai hidup—dan semua itu hanya bisa dilakukan ketika ada waktu luang, ketika kita sengaja tidak melakukan apa-apa.

Filsuf Bertrand Russell pun menulis sebuah esai berjudul In Praise of Idleness (1935), di mana ia berargumen bahwa waktu senggang yang bijak adalah salah satu hasil dari peradaban yang sehat. Menurutnya, sebuah masyarakat yang baik tidak mendorong warganya untuk bekerja tanpa henti, melainkan memberi cukup ruang untuk beristirahat, berpikir, dan menikmati hidup.

Buya Hamka bahkan pernah menyatakan, “Bekerja sekadar bekerja, kera di hutan juga bekerja. Hidup sekadar hidup, babi di hutan pun hidup.” Kalimat ini memberi pengingat bahwa hidup yang bermakna bukan soal seberapa banyak aktivitas yang dilakukan, melainkan seberapa berkualitas aktivitas tersebut, termasuk keberanian untuk berhenti dari kebiasaan yang monoton.

Sering kali justru dalam waktu luang yang hening, ide-ide besar lahir. Dalam kondisi santai, pikiran kita menjadi lebih bebas mengembara, tanpa tekanan dan beban target. Di saat-saat seperti inilah kreativitas tumbuh, inspirasi muncul, dan hidup terasa lebih hidup. Bermalasan bukan hanya soal tidak melakukan apa-apa, tetapi tentang memberi diri sendiri ruang untuk bernapas dan menyadari keberadaan kita.

Dalam dunia yang semakin cepat, bermalasan seolah menjadi kemewahan. Tapi sesungguhnya, itu adalah kebutuhan. Kebutuhan untuk menjaga kewarasan, menjaga kebahagiaan, dan menjaga koneksi dengan diri sendiri. Ironisnya, banyak dari kita merasa bersalah saat bermalasan. Seolah waktu yang tidak dipakai untuk bekerja adalah waktu yang terbuang. Padahal, justru dari waktu-waktu tersebutlah kita bisa menemukan kembali arah, menyusun ulang rencana, dan memperbaiki relasi dengan diri sendiri maupun orang lain.

Tentu, tulisan ini bukan ajakan untuk berhenti berusaha atau menolak tanggung jawab. Namun, ini adalah ajakan untuk menghargai waktu diam, waktu jeda, dan waktu rehat sebagai bagian penting dari kehidupan. Karena kualitas hidup bukan hanya ditentukan oleh seberapa banyak kita bekerja, tetapi juga oleh seberapa kita hadir dan sadar dalam menjalani hidup.

Maka, mari kita ubah cara pandang terhadap malas. Malas bukan berarti tidak berguna. Dalam bentuknya yang sehat dan terarah, bermalasan adalah cara untuk menyegarkan pikiran, memperkuat kesehatan mental, dan menemukan kembali makna hidup. Kita perlu waktu untuk tidak melakukan apa-apa, bukan untuk melarikan diri, tetapi untuk kembali pulih dan lebih utuh. Hidup bukan sekadar mengejar. Kadang, berhenti sejenak dan menikmati langkah juga bagian dari perjalanan.