Column

(Bedah Buku Sosiologi Haji karya Prof. Akh. Muzakki, M.Ag., Grad.Dip.SEA., M.Phil. Ph.D)
Oleh: Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag.

Mengisi Ruang Kosong

          Saya memberi apresiasi yang setinggi-tingginya kepada penulis buku Sosiologi Haji (2024) atas tiga hal. Pertama, kajian ibadah haji dalam perspektif sosiologi telah mengisi ruang yang masih “langka” di Indonesia. Khusus di kampus UINSA, belum ada kajian itu.  Pada tahun 2019, Prof. H. Masdar Hilmy MA., Ph.D., rektor UINSA telah menulis “Spiritualitas Haji, Prosesi, Refleksi dan Serba-serbi” dari pengalaman berhaji pada tahun itu, sebuah kajian haji perspektif spiritual. Pada tahun sebelumnya (2018) ketika berhaji, saya juga menulis buku “Merangkul Nabi di Tanah Suci” dalam perspektif tasawuf. Dua penulis yang disebut terakhir berhaji sebagai pehaji biasa, bukan sebagai petugas, sebagaimana dilakukan oleh Akh. Muzakki. 

Kedua, penulis buku Sosiologi Haji menguatkan tradisi “Ibnu batuthah” (istilah Akh. Muzakki) di UINSA, yaitu “Sebuah perjalanan yang menghasilkan tulisan.” Inilah tradisi yang harus terus dilanjutkan oleh insan UINSA, lebih-lebih pimpinan. Akh. Muzakki dan Masdar Hilmy telah memberi teladan terbaik, bahwa sesibuk apa pun sebagai pimpinan tetap menyediakan waktu untuk menulis. Bahkan, Akh. Muzakki saat menulis buku ini disamping masih menjabat rektor, juga bertugas melakukan monitoring pelaksanaan haji di tanah suci, sebagaimana diceritakan dengan lengkap dalam buku ini. Begitu totalitasnya dalam pelayanan jamaah Indonesia yang disebutnya menguras enerji dan emosi, ia mengutip perkataan orang bijak, “Service is what life is all about.”  Meneladani mereka berdua yang aktif menulis buku dan di media masa, saya menulis tiga buku, “Nabiku Masih Hidup di San Francisco,”Airmata Cordoba,” dan “Menatap Cahaya di Britania Raya” yang berisi catatan perjalanan dakwah di Amerika, Spanyol, Swiss, dan Inggris (2017-2022).

Ketiga, data yang disajikan dalam buku ini tentang kebijakan dan peribadatan haji sangat valid, mendalam, dan lengkap, sebab penulis  mendapat “kemewahan,” berupa akses memasuki tempat-tempat istimewa, yang tidak semua orang bisa melakukannya. Banyak data yang baru dan menarik bagi saya yang berhaji lima tahun sebelumnya. Selama kurun waktu itu, telah banyak kebijakan baru dari pemerintah Indonesia dan Arab Saudi. Setiap tahun, selalu ada kebijakan strategis yang baru dalam peribadatan haji.  

Kejujuran Kunci Keselamatan dan Keberkahan

Buku ini menyajikan bagaimana pehaji kehilangan berkah dan ketenangan batin selama berhaji akibat kebohongan demi keinginannya lolos sebagai pehaji tahun itu. Seorang wanita terlantar, bahkan terancam penjara karena menggunakan visa non-haji. Ada juga seorang suami yang sedih, dan kecewa atas kebohongannya. Istrinya tak tertolong nyawanya di Makkah. Menurutnya, kematian itu akibat ia menyembunyikan penyakit istrinya dengan cara mengganti air kencing istri dengan air kencing anaknya pada pemeriksaan kesehatan saat pendaftaran haji.

Sebenarnya, ada juga kebohongan yang tidak terekam dalam buku ini, yaitu kebohongan ketika calon pehaji mengisi kolom pertanyaan, “Apakah sudah pernah berhaji?” Ia menulisnya, “belum” agar bisa lolos, padahal sebenarnya ia sudah pernah berhaji. Ia tidak merasa berdosa, sebab ia berkilah, kata “belum” dimaksudkan “belum berhaji kedua, ketiga, dst.”  Hal itu dilakukan, sebab ada kebijakan larangan berhaji bagi yang sudah pernah melakukannya. Inilah yang membuat daftar panjang calon pehaji semakin panjang. Ada juga calon pehaji yang batal berangkat, karena tertipu oleh agen yang menjanjikan keberangkatan pada tahun itu melalui visa negara tetangga. Mereka terlantar dan malu pulang. Mereka lupa haji adalah ibadah suci yang prosesnya tak boleh dengan manipulasi. 

Inilah tugas pemerintah dan penyuluh agama agar tidak merusak kesucian dan keberkahan haji dengan cara-cara yang curang atau melanggar aturan. Makna istitha’ah harus diterangkan dengan sejelas-jelasnya bagi semua muslim Indonesia agar tidak melakukan manipulasi. Dengan demikian, slogan pemerintah, “Istitha’ah kesehatan harus didahulukan daripada pelunasan” perlu ditambahkan di dalamnya ajakan meraih keberkahan dengan mengedepankan kejujuran.

Enteng, Riang, dan Ethis Berhaji dengan Magic Words

          Buku ini memuat banyak kisah, antara lain kisah Yusuf Subekti Masruri, pehaji yang harus didorong di atas kursi roda.  Setelah beberapa hari di Makkah, ia merasa sehat dan ingin berlari. Dokter melarangnya, tentu. Ia senang dan merasa berada di puncak kebahagiaan ketika tiba di Makkah. “Aku sehat, aku sehat, aku bisa berhaji,” kata itulah yang ditancapkan dalam otaknya. Inilah yang disebut dalam buku ini magic words. Sehat dan sakit seseorang dalam berhaji erat kaitannya dengan mindset yang dibangun dalam otaknya. Para petugas haji yang rata-rata hanya tidur beberapa jam demi pelayanan jamaah juga tidak merasakan kelelahan dan terus bersemangat, sebab mereka menyuntikkan dalam otaknya magic words, “Ikhlas.” Buku ini mengutip ungkapan, “Our words do have power.”

Kisah itu menyadarkan semua pembimbing dan penyelenggara haji untuk tidak hanya mengajarkan manasik haji, tapi juga bekal mental dan magic words yang ampuh. Tidak cukup hanya kampanye “Mosaik (Minum Oralit Sehari Sekali)” dan “Bosku (Bawa Obat di Saku),” tapi juga magic words yang membuat pehaji happy, tangguh dan tahan banting dalam melaksanakan ibadah “bebatuan” di tanah suci. KH. Mujahid Ansori, alumni UINSA juga memberi masukan dalam buku ini agar pehaji juga membekali diri dengan spiritualitas yang kokoh, agar lebih bersabar dalam segala hal, dan tidak mudah tersinggung dan marah.

Saya pernah mencoba keliling dari tenda ke tenda selama di Mina usai salat subuh. Saya dengarkan isi kuliah subuh beberapa pembimbing. Yang lebih banyak saya dengar dari sebagian pembimbing adalah kalimat-kalimat yang bernuansa “tarhib” (menakutkan) daripada kalimat bernuansa “targhib” (menyenangkan dan menyemangati). Para pehaji jadi dibayangi terus menerus ketakutan kegagalan hajinya. Semakin banyak “tarhib,” bisa saja berpengaruh pada semakin besarnya ketergantungan kepada KBIH, dan semakin rentan kesehatannya. Saya yakin, jumlah pehaji yang sakit bisa berkurang jika targhib lebih diperbanyak daripada tarhib.  

Problem Non-Keagamaan dalam Rangkaian Ibadah Haji

Istilah ini disebut dalam buku ini untuk menunjukkan bahwa problem pelaksanaan haji, bukan hanya problem yang terkait fiqh yaitu keabsahan haji, tapi juga masalah non-keagamaan. Antara lain keyakinan, adat istiadat, prestise dan sebagainya. Menjelang kepulangan, topik yang viral di antara para pehaji adalah keresahan terbatasnya jatah barang bawaan di pesawat, sedangkan oleh-oleh yang telah dibeli telah melampaui batas tersebut. Sebagian mereka juga berpikiran pulang harus tampil wah dan prestisius. Dalam buku ini terdapat foto seorang hajjah yang sedang memamerkan tangannya  dengan balutan ratusan gram gelang emas. Weleh-weleh.       

Banyak juga kematian yang terjadi justru setelah puncak ibadah haji. Setelah tuntas berhaji, mereka tak punya beban lagi. Maka, mereka melakukan healing, berbelanja, bahkan sampai naik gunung dan melakukan perjalanan ke Thaif yang cukup jauh dan panas. Sebagian KBIH sengaja memberi fasilitas tambahan untuk memberi kepuasan jamaah. Pehaji lansia atau pehaji muda tapi kesehatannya tidak prima juga memaksakan ikut dengan harapan mendapat “berkah” atau demi kesetiakawanan jamaah, atau takut sendirian tinggal dalam hotel.

Termasuk masalah non keagamaan adalah beban pikiran seberapa banyak tamu yang akan datang untuk acara walimah syukuran sepulang dari haji. Kadangkala anggaran biaya menjamu tamu termasuk oleh-oleh untuk para tamu melampaui biaya pelunasan haji itu sendiri. Inilah realitas sosial yang menarik dan belum terekam dalam buku ini. Yang ada dalam buku adalah walimatul haj atau walimatus safar menjelang keberangkatan ke Makkah. Bicara haji bagi orang Indonesia adalah bicara tentang kegiatan di tanah air sebelum keberangkatan, kegiatan selama di tanah suci, dan kegiatan pasca haji di tanah air. Suasana bertetangga dan berteman dalam tasyakuran kepulangan haji juga amat menarik untuk dikaji dalam perspektif sosiologi ataupun psikologi, ataupun disiplin ilmu lain.   

Realitas inilah yang diharapkan oleh penulis buku ini untuk diperhatikan bagi semua pembimbing dan penyelenggara haji.  Buku ini memuat kisah-kisah lucu tuntutan beberapa pehaji terhadap pemerintah dan pembimbing tentang hal-hal di luar kapasitas pemerintah.  Terdapat pehaji yang mengeluhkan udara yang panas, atau lahan yang sempit di Arafah dan Mina, dan sebagainya. Mereka lupa, semua keluhan itu di luar kemampuan pembimbing dan pemerintah Indonesia. Para pengamat juga hampir sama dengan para pehaji dalam menyikapi protes jamaah. Sebenarnya keluhan atau protes itu salah alamat.

Beyond Rihlah, Epilog Sosiologi Haji

          Inilah bab paling menarik bagi peminat kajian sosiologi. Peristiwa ta’aruf dunia (QS. 49: 13) di Makkah dan Madinah dianalisis secara tajam oleh Akh. Muzakki dengan kacamata sosiologi. Interaksi muslim dari berbagai negara yang dipandang peristiwa biasa oleh kebanyakan orang, bisa merupakan peristiwa yang unik ketika ditelaah secara sosiologis. Perbedaan bahasa di antara mereka tidak terlalu mengganggu sebab mereka disatukan oleh hati dan kesadaran, sama-sama muslim, sama-sama sedang menunaikan rukun Islam, dan sama-sama tamu Allah SWT.

          Dalam kecamatan sosiologi, hal-hal yang menggelikan, mengesankan, dan unik bisa terjadi dalam interaksi muslim dari kultur yang beraneka itu. Saya masih ingat seorang pehaji yang dengan senang hati bercerita mendapat “doa” dari penjual parfum dengan ungkapan “Allahu yahdiik.” Padahal, sejatinya penjual Arab itu mengungkapkan kejengkelan, karena pehaji Indonesia dalam percakapan itu membela kehebatan orang syiah melawan Amerika. Jadi belajar bahasa asing harus disertai belajar budayanya juga. Saya juga melihat sesama orang Indonesia hampir bertengkar dengan sesama pehaji setanah air dari propinsi lain di Masjidil Haram lantai teratas hanya karena berbeda pilihan siapa presiden yang dipilih saat itu. Jamaah dari Afrika juga berdialog panjang lebar dengan pehaji sebelahnya dari negara lain tentang klub sepakbola. Tidakkah itu bisa termasuk sosiologi politik, dan sosiologi “bola”? 

          Kata “rihlah” dalam buku ini tidak hanya menarik bagi penulis, tapi bagi saya juga. Kata itu mengingatkan saya judul buku yang saya beli di Makkah, RIHLAH ILAS SAMA-IS SABI’AH, karya Jabir Al Faifi. Semoga semua pembaca buku Sosiologi Haji mendapat manfaat dan berhasil rihlah atau perjalanan mulia mendaki ke langit ketujuh sebagaimana dituangkan dalam buku karya Jabir Al Faifi.   

 Rekomendasi

          Meskipun buku ini berisi dari sejumlah tulisan yang pernah di muat di beberapa media, buku ini tetap penting dan amat bermanfaat bagi para akademisi, pemerintah, penyelenggara travel haji, calon pehaji, dan masyarakat umum. Ibadah haji merupakan ibadah rutin tahunan, bukan sesuatu yang aktual. Tapi, buku ini menyajikan sesuatu yang aktual: analisis sosiologis ibadah haji. (Surabaya, 9-12-2024)