Articles

Oleh: Dr. Wasid, M.Fil.I
(Sekretaris Pusat Ma’had al-Jami’ah dan Dosen FAHUM UINSA)

Setiap bulan Dzulhijjah, warisan nilai propetik Nabi Ibrahim As. selalu dikenang dalam praktik-praktik ritual keagamaan; mulai dari pelaksanaan ibadah haji hingga pelaksanaan hari raya Idul Qurban, terkhusus dalam praktik ritual penyembelihan hewan Qurban. Dikenang dalam rangka agar ia ditempatkan bukan sekedar rutinitas tahunan yang lewat berlalu tanpa makna dalam kehidupan nyata. Tapi bagaimana nilai propetik itu mengilhami kita semua untuk berusaha menjadi ibrahim-ibrahim masa kini dan akan datang.

Pasalnya, secara historis, jejak kehidupan Nabi Ibrahim bersama keluarganya telah menjelma menjadi bagian penting dalam praktik-praktik ibadah haji; mulai sa’i, keberadaan air zam-zam, bahkan Ibrahim adalah orang yang pertama kali diperintahkan menyampaikan kewajiban haji kepada orang lain sebagaimana tersurat dalam QS.22:27, (Wahai Ibrahim) “serulah manusia untuk (mengerjakan) haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh”.

Seruan Nabi Ibrahim ini, secara konkrit direspon dengan nyata oleh umat Nabi Muhammad SAW yang setiap tahunnya jutaan Muslim melaksanakan ibadah haji dari berbagai negara di seluruh dunia. Bahkan, ibadah haji kali ini khususnya di Indonesia sebagai respon atas seruan Nabi Ibrahim menjadi fenomena yang unik sebab harus antri sampai puluhan tahun. Begitu juga peristiwa penyembelihan hewan Qurban merupakan legasi dari Nabi Ibrahim bersama putranya, Nabi Ismail dengan makna simbolik yang cukup luas dalam konteks kita sebagai manusia di satu sisi dan sebagai hamba Allah SWT di sisi yang berbeda.

Pentingnya menangkap nilai propetik dari praktik kehidupan Ibrahim dan keluarganya yang diabadikan dalam ibadah haji dan penyembelihan hewan Qurban setiap Idul Adha, tidak lain agar ritual ini memiliki makna yang nyata dalam setiap kehidupan. Terkadang tak jarang kita larut dalam ritual, tapi dalam kehidupan nyata makna ritual itu kurang membekas menjadi etika kehidupan sosial, termasuk dalam setiap ritual-ritaul apapun yang ada di bulan Dzulhijjah.

Totalitas Ibrahim

Sebagai bagian dari nilai propetik yang menjadi legasi Nabi Ibrahim adalah prinsip totalitas. Pertama, totalitas dalam menghamba kepada Allah SWT. Totalitas ini tidak sekedar pembuktian di mulut dengan meng-Esakan Allah sebagai satu-satu yang berhak disebut Tuhan dan layak disembah, tapi sekaligus pembuktian nyata dalam semua kehidupannya. Menariknya, puncak dari totalitas ini yang kemudian melahirkan pentingnya sikap berbagi kepada sesama.

Kisah penyembelihan putranya Ismail adalah puncak dari totalitas kepatuhan Ibrahim kepada perintah Allah atau “kebenaran”. Karenanya, tidak ada orang yang merugi bergerak total memenuhi panggilan Allah atau berjuang dalam “kebenaran”, sepanjang dilakukan dengan ketulusan hati dan jiwa. Maka perubahan Ismail menjadi hewan domba adalah buah dari ketulusan sehingga memberikan dampak sosial bagi semua masyarakat, ketika mereka bersama-sama menikmati daging Qurban.

Kedua. totalitas berdarma. Nabi Ibrahim dikenal sebagai sosok yang dermawan. Tercatat dalam beberapa riwayat, ia tidak mau makan kecuali bersama tamu. Jika memang ia mau makan, tapi tidak ada tamu di sampingnya, maka ia rela harus berjalan untuk mencari orang yang bisa menemaninya untuk makan, walau harus berjalan dengan jarak yang cukup jauh. Prinsip berbagi ini yang menjadi salah satu karakter dari sosok Ibrahim, prinsip ini yang kemudian menjadi alasan Ia kelak dikenal sebagai sang Khalil (kekasih) sebagaimana dalam hadis riwayat Abdullah ibn Amar ibn al-‘Ash, Nabi berkata: Wahai Jibril kenapa Allah memilih Nabi Ibarahim menjadi sang Khalil? Jibril menjawab: karena Ibrahim suka memberikan makanan, wahai Muhammad.

Dari cerita ini, bisa dipahami bahwa kebiasaan berbagi kepada orang lain adalah salah satu jalan orang itu memperoleh rahmat dari Allah. Apa yang dilakukan Ibrahim tidak lain (harus) menyadarkan kita agar tidak bahagia, sementara yang lain susah. Dengan mencari teman untuk makan bersama, sama artinya Ibrahim sedang mengajak agar berbahagia bersama-sama, walau hanya melalui makan dan minum. Bukankah, kondisi lapar dan haus menjadi sebab juga orang tidak bahagia, banyak menjadi kufur.

Akhirnya, totalitas adalah kunci kesuksesan. Sebaliknya setengah-setengah menjadi sebab impian itu sulit terwujud, bahkan bisa berpotensi penyebab gagal. Dari Nabi Ibrahim layak belajar kaitan terus melangkah secara total dalam muwujudkan kebenaran dan menyebarkan kebahagian bersama orang lain. Pasalnya, tanpa itu, dapat dipastikan kebahagiaan yang diperoleh cenderung melahirkan individualisme dan sangat berbahaya bagi masa depan kehidupan umat manusia. Selamat Idul Qurban 1445 H.