Articles

Setiap tahun pada bulan Agustus, bangsa Indonesia memasuki bulan patriotism, bendera sang saka merah putih dipasang disemua tempat, lagu lagu perjuangan Indonesia dikumandangkan dan semua rakyat Indonesia merayakan HUT kemerdekaan RI. Pada bulan Agustus, semangat nasionalisme bangkit, semangat patriotism muncul, seakan kita terlibat dalam perjuangan bangsa melawan penjajah. Fenomena ini menjadi recollection of meaning tentang nasionalisme.

Menarik untuk kita kaji lebih dalam tentang makna Nasionalisme yang saat ini sudah mulai teruji keberadaanya bahkan mulai pudar dengan telah meletusnya berbagai konflik di bumi pertiwi, baik etnis, agama, maupun ras, seperti yang terjadi di Ambon, Jakarta (antar suku), Pontianak dan lain-lainnya. Semua ini pada gilirannya akan berpeluang menjadi ancaman bagi kokohnya Nation state yang telah disepakati oleh Founding Fathers. Bahkan telah mendestruksi tatanan kebangsaan di tengah pluralisme masyarakat yang telah hidup secara damai dalam negara Indonesia.

 Makna nasionalisme harus kita redefinsikan secara hermeneutis kaitannya dengan integrasi bangsa ditengah persolan global. Nasionalisme yang telah menjadi sebuah ideology pada akhirnya akan mempersempit makna nasionalisme itu sendiri, sehingga setiap konflik yang bernuansa SARA disebabkan adanya pemahaman Nasionalisme yang sempit.

Persoalan besar yang akan kita hadapi bersama sebagai bangsa Indonesia  adalah persoalan menyangkut primordialisme-rasial. Sentuhan primordialisme  yang muncul saat ini  disebabkan adanya pandangan pemeluk setiap agama yang sempit dan masih terkungkung oleh doktrin truth claim, dimana hanya agamanya sendiri yang dapat menyelamatkan. Adanya anggapan ini melahirkan semangat Fundamentalisme pada setiap agama manapun. Dengan adanya pendasaran ontologis-epistemologis terhadap realitas menyebabkan konflik tidak pernah berhenti terutama persoalan agama dan suku. Apakah semua ini karena pudarnya visi kebangsaan (nasionalisme) kita ? Bagaimana Integrasi Bangsa akan terjadi ?

NASIONALISME SEBAGAI IDEOLOGI

Sebelum membahas mengenai Nasionalisme, maka terlebih dahulu kita harus memahami makna ideologi. Althuser menganggap bahwa manusia adalah binatang ideologi (Ideological animal), sehingga persoalan ideologi terkait dengan sistem pemikiran manusia. Bila kita berusaha mencari jejak sejarah term idologi, kita menemukan bahwa terminologi ini telah dikenal oleh manusia, mungkin sejauh pemikiran Plato berada. Antoine Destutt de Tracy pada abad ke 18 lah yang pertama kali mengaji istilah ideologii (idea dan logos) secara sistematis, walaupun sebelumnya ada seorang Francois Bacon yang telah memberikan konsep idola.

            Menurut Destutt de Tracy ideologi sebagai studi tentang gagasan (Sciences of ideas) pada awalnya berkaitan dengan epistemologis. Setiap pemikir seperti Bacon, de Tracy, Marx, Kaum mazhab Frankfurt, Gramsci, Althusser, Mannheim, Foucault mengajukan definisi yang berbeda sesuai dengan pemikiran, sudut pandang dan mungkin seleranya masing-masing. Ideologi sebagai kajian epistemologis merupakan kajian obyektif terhadap ide yang meliputi asal usul ide, mengapa ide muncul, bagaimana perkembangan dan strategi apa yang dapat dilakukan dalam menyebarkan ide tersebut ?           

Perkembangan berikut, ideologi  berubah menjadi “seperangkat nilai yang dianggap benar oleh pengikutnya”. Walaupun demikian, nada-nada sinis kerap dilontarkan pada term ini. Marx menganggap ideology is false consciousness, Frued melihat ideologi sebagai rasionalisasi kenyataan turut menyumbangkan makna negatif terminologi ini. Akhirnya makna “ideologi”  mengalami pergeseran dari epistemologis ke politis (dari positif ke negatif).

Berangkat dari konsep ideologi di atas, maka nasionalisme (kebangsaan) seringkali hanya dipahami sebagai rasa cinta tanah air atau rasa kebangsaan yang telah menjadi jargon absolut wacana-wacana kekuasaan. Di lain pihak, sebagai ideologi, ia memiliki sejarah yang cukup panjang. Ia muncul dari hasrat akan terbentuknya suatu nation state sebagai bentuk ideal, alamiah, normal bagi organisasi politik dan juga kerangka kerja yang diperlukan bagi semua aktivitas sosial, kultural dan ekonomi. Satu hal yang patut di catat, nasionalisme sejak permulaannya merupakan paham bagi gerakan politis yang revolusioner khususnya di Perancis setelah revolusi 1789. Nasionalisme menjadi dasar untuk mencoba menggulingkan pemerintahan yang sah di waktu itu dengan klaim otoritasnya didasarkan atas devini ordination (kekuasaan otoriter yang dijalankan atas nama Tuhan atau legitimasi Ilahi.

Orientasi Nasionalisme adalah terwujudnya suatu nation state. Dalam hal ini perlu diklarifikasi apa yang dimaksud dengan nation state. Nation merupakan term sosiologis yang mengacu pada sekumpulan orang yang karena hubungan darah, kemiripan bahasa, pola kultur yang sama atau kedekatan geografis dengan memiliki rasa kesatuan antara satu sama lainnya (Ashabiyah dalam istilah Ibnu Khaldun). State merupakan term politis yang menyangkut empat elemen. Yaitu rakyat, teritorial, pemerintahan dan kedaulatan. Nasionalisme kaitannya dengan nation state berbeda dengan patriotisme. Patriotisme merupakan ekspresi loyalitas terhadap negara (state), sedangkan nasionalisme adalah definisi teoritis dan basis bagi terbukanya suatu negara (state).

Gejala tumbuhnya nasionalisme sebagai ideologi memiliki beberapa ciri. Pertama, suatu jiwa atau prinsip spiritual yang muncul dari sejarah dan kodrat manusia. Kedua, menyalurkan agresi kepada orang luar, menekankan kohesi dan persatuan anggota nasional dalam satu kelompok. Dua ciri nasionalisme tersebut sebenarnya merupakan dua aspek dari satu pengertian nasionalisme. Ciri pertama merupakan ciri yang dipandang dari sisi subyektif dan ciri kedua dari sisi obyektif.

                Nasionalisme sebagai ideologi memiliki dua dimensi, yaitu ideasional (gagasan) dan struktural (kebijakan). Pada tataran ideasioal, nasionalisme adalah state of mind  atau sebagai personifikasi kesadaran para individu sebagai anggota bangsa. Disini menyangkut dengan konsepsi kebangsaan. Sedangkan pada tataran struktural akan membawa kita pada wacana negara bangsa. Karena itulah, dapat dikatakan bahwa perbincangan nasionalisme secara ideal dan pragmatis tidak memadai tanpa membicarakan bangsa dan negara bangsa. Ini karena nasionalisme merupakan semangat luhur sebuah bangsa yang harus direalisasikan dalam suatu wadah politik negara bangsa. Disinilah, etika sosial kebangsaan harus dipertahankan, karena bangsa merupakan sebuah kepribadian, kesadaran kolektif, kehendak umum yang muncul dari kesadaran orang-orang yang mengalami sintesis sosiologis melalui gagasan besar meliputi agama, kebebasan dan kemerdekaan.

HERMENEUTIKA DAN KRITIK IDEOLOGI

            Untuk fenomena di Indonesia, nasionalisme (kebangsaan) juga tidak jauh berbeda dengan Perancis tempat lahirnya. Di Indonesia nasionalisme (rasa kebangsaan) tumbuh karena pengaruh kolonialisme. Kebangsaan sebagai sebuah ideologi akan bermakna negatif, jika disuarakan pada saat situasi normal, sebagaimana ungkapan para pejabat pemerintahan dan Militer era Orde Baru, seperti Demi persatuan dan kesatuan; demi kepentingan nasional, demi stabilitas, demi integritas bangsa dan lain sebagainya. Ungkapan tersebut merupakan jargon nasionalisme yang ideologis dengan mengalami Hermeneutika tindakan baru untuk menghantam perbedaan (oposisi). Ini karena, nasionalisme mengalami proses Hermeneutikabaru yang politis dengan mengatas namakan bangsa, sehingga hak-hak individu dapat dikurangi atau bahkan dicabut. Hal yang sama dapat terjadi terhadap kelompok-kelompok organisasi, dimana hak-haknya dicabut atas nama bangsa. Retorika nasionalisme seperti ini disebut argumentum ad Ignoratium dalam istilah filsafat Logika.

            Dinamika kehidupan bangsa Indonesia selama 32 tahun (Orde Baru) yang represif terhadap perbedaan dan mengandaikan penyeragaman (islamisasi, Jawanisasi bahkan kuningisasi) justru akan menimbulkan problem yang krusial. Problem krusial diantaranya adalah ketegangan etnis yang plural. Ini karena etnis, agama dan golongan tertentu dapat mempunyai peran dominan, sehingga yang terjadi adalah hegemoni kelompok tertentu. Pada akhirnya, nasionalisme sebagai ikatan luhur dan kepribadian kolektif yang mengatasi paham, agama, suku tertentu bergeser kearah sektarian-primordialisme jahili, sehinga kebersamaan, kebebasan dan persaudaraan menjadi hilang. Semua ini akibat penerapan nasionalisme yang berlebihan, bahkan telah dijadikan legitimasi tindakan untuk menindas rakyat.

            Hal di atas merupakan nasionalisme yang menjelma pada kebekuan ideologis. Nilai emansipatoris yang muncul sebagai keniscayaan justru ditiadakan. Kebekuan ideologis ini muncul tatkala nasionalisme hanya merupakan bentuk komunikasi satu arah (reifikasi), monolog dan represif. Nasionalisme sebagai ideologi juga akan mengalami distorsi yang akhirnya mengarah pada kesadaran palsu (Marx). Dalam hal ini, Karl Mannheim menganggap bahwa ideologi sebagai motif tindakan subyektif yang bermaksud baik, pada akhirnya ideologi tersebut sangat sering didistorsikan. Ungkapan ini juga berlaku pada isme-isme apapun termasuk nasionalisme.

            Di Indonesia, nasionalisme yang mengalami distorsi HermeneutiS selama 32 tahun menimbulkan suatu persoalan ketidak puasan yang mengendap dalam alam bawah sadar rakyat Indonesia yang sewaktu-waktu bisa meledak. Ini sudah terbukti saat ini dengan munculnya konflik-konflik rasial, etnis, agama (SARA) yang sedang berlangsung entah sampai kapan berakhirnya. Apalagi ditambah dengan perilaku elit-elit politik negeri ini meminjam istilah Foucault serangkaian perilaku kegilaan dalam segala lini. Konsensus akan kebersamaan, kebebasan dan persaudaraan justru dikorbankan oleh ambisi-ambisi politik kelompok. Benar sekali, jika saat ini nasionalisme yang dibangun atas dasar kepentingan bersama untuk mewujudkan nation state, justru berubah menjadi ashabiyah-jahiliyah, homo homini lupus.

            Untuk mengatasi hal tersebut, dalam rangka menuju sebuah integrasi bangsa Indonesia yang dicita-citakan, maka : Pertama,  harus ada Hermeneutika baru dari dialog ke tindakan untuk mengembalikan makna sejati nasionalisme seperti yang dirumuskan oleh pendiri bangsa (Hermeneutika Gadamer melalui dialog pemahaman) dengan melakukan komunikasi dan konsensus yang bebas represif (Hermeneutika kritis Habermas) pada tataran praksis harus memberikan tindakan emansipatoris rakyat dari semua golongan bukan hanya monopoli kelompok tertentu. Disini ditekankan adanya apropriasi pemahaman realitas tindakan sosial sebagai sebuah teks (Hermeneutika tindakan Paul Ricouer). Segala bentuk pengkhianatan terhadap hal tersebut harus diperangi. Cara inipun dibenarkan oleh Islam, karena Nabi di Madinah juga melakukan hal serupa terhadap pengkhianatan Kaum Yahudi.

            Kedua,  Pemerintah (Negara) sebagai perwujudan etis bagi moralitas para warganya harus menjunjung tinggi kebebasan moralitas otonom (Sittlichkeit  dalam istilah Hegel, tulisan menyusul). Ketiga, para elit politik diharapkan dapat mengembangan sebuah perilaku politik dengan sikap relasi I and Thou (Martin Buber) menggantikan  paradigma I and it (Marx dan Hobbes), yang cenderung untuk menjajah (menguasai), sehingga setiap orang harus dimusuhi jika bukan kelompoknya. Orang lain (kelompok lain) merupakan bahaya (neraka) dalam bahasa Sartre.

            Keempat, Civil Society atau tindakan emansipatoris para warga (masyarakat) betul-betul diberdayakan dan ditegakkan, sehingga negara (pemerintah) hanya berfungsi sebagai top manager . Hal ini dapat terrealisasi, jika kita menerapkan sistem federalisme (dalam pengertian otonomi yang diperluas), dimana daerah (masyarakat) diberi kebebasan untuk melakukan emansipatoris bebas represif dalam menentukan nasibnya sendiri. Tindakan penguasa untuk self preservation (Istilah HUME) harus bergeser pada welfare state.

Kelima,  penegakan kedaulatan rakyat hanya dengan mekanisme keadilan dan kebajikan (al-adl wa al-ihsan). Penegakan keadilan selama ini masih cenderung mengikuti paradigma Cartesian-Positivisme yang masih cenderung subyektif (penguasa). Untuk itu, konsep al-Adl wa al-Ihsan  meruapakan paradigma baru Hermeneutika Eksistensialisme-religius, yang meletakan aspek moralitas-spiritualitas sebagai hukum  yang terberi secara adi kodrati pada manusia dipandang secara substansial eksistensinya dalam penegakan hukum. Inilah solusi yang ideal untuk tercapainya tatanan baru integrasi bangsa dalam rangka menuju Indonesia Baru yang dicita-citakan. Selama hal tersebut belum terrealisasi, maka integrasi bangsa akan sulit dicapai. Wallahu A’lam.

oOo Rechan oOo

 
 
 
 
 
DAFTAR PUSTAKA

De Crespigny, Antony, Cronin, Jeremy, Ideologies of Politics, Oxford University Pres      Cape town: 1975.

Karl Mannheim, Ideologi dan utopia, Kanisius, Jogjakarta, 1991.

Max Mark, Modern Ideologies, St. Martin Press, 1973

Jurgen Habermas,  Theory and Practise, Bonston, Beacon Press, 1974

Marcuse, Reason and Revolution, Hegel and the rise of Social Theory,  London,             Routledge, 1977

F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi,  Kanisius, Jogjakarta, 1990

Lyman T. Sargent, Contemporary Political Ideologies a Comparative Analysis, the          Dorsey Press, USA, 1987.

T. Eagleton, Ideology, 1991

Paul Ricouer, From the Text to Action, an Essay Hermeneutics I, 1977

Deutsch, Karl W, Nationalisme and Social Communication,  The Massachusetts Institute of Technology, USA, 1953.

Montgomery Watt, Muhammad at Madina, London, Oxford University Press, 1956

———————-, Muhammad Prophet and statesment, London, Oxford, 1969

Zainal Abidin Ahmad, Piagam Nabi Muhammad SAW, Jakarta, Bulan Bintang, 1973

Muhammad Khalid, Khatam al-Anbiya, Cairo, 1955

Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi I, Mesir, Darul Fikr, 1976

Ibnu Khaldun, Mukaddimah Ibnu Khaldun, Beirut, tt, Daul Bayan.

Ichlasul Amal dan Armaidy Armawai (ed.), Regionalisme, Nasionalisme dan ketahanan            nasional, Gama Press, Jogjakarta, 1998

[Suhermanto Ja’far; Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat]