Oleh: Nasaruddin Idris Jauhar
Suatu malam, antara maghrib dan Isya, saya duduk ngobrol di teras rumah seorang teman yang tak jauh dari Masjid Agung “Al-Muwahhidin” kota Bima. Di tengah obrolan kami, sayup-sayup saya dengar suara Ustadz yang mengisi pengajian malam itu, “Kalau mau tahu hubungan seorang perempuan dengan ibunya, lihatlah saat dia melahirkan. Perempuan yang baik dengan ibunya pasti dimudahkan ketika melahirkan.”
Saat itu saya masih SMA. Kira-kira 32 tahun silam.Entah kenapa potongan ceramah Ustadz itu terpatri begitu kuat dalam ingatan saya. Saya tidak tahu apa dalilnya dan kitab apa yang dirujuk ustadz tersebut. Tapi saya meyakininya. Setelah berkeluarga, berulang kali saya melakukan pengamatan dan saya pun teryakinkan bahwa yang dikatakan ustadz itu benar. Kepada beberapa teman yang istrinya sedang hamil, saya menasihati agar menyuruh istrinya lebih menyenangkan dan membahagiakan ibunya. Tak lupa saya sampaikan kepada mereka tentang momen puluhan tahun silam ketika saya mendengar ilmu itu dari cermah seorang ustadz mesjid.
Tapi, tentu saja, ini bukan berarti saya serta-merta menyimpulkan bahwa perempuan yang mengalami masalah saat melahirkan pasti punya masalah dengan ibunya.
Selain itu, hikmah yang ingin saya bagi tentang cerita ini tidak hanya soal hubungan antara ketaatan kepada ibu dan mudahnya proses persalinan. Ada hal lain selain itu, yakni bagaimana sebuah nasihat menyebar dan membentuk mata rantai kebaikan dengan cara yang unik dan tak disangka-sangka.
Pernahkah kira-kira terlintas dalam benak ustadz tersebut bahwa ceramahnya malam itu didengar oleh seorang anak SMA di luar masjid saat ngobrol dengan temannya, lalu masuk dan terpatri dalam benaknya, lalu puluhan tahun kemudian ia menyebarkan nasihat itu kepada orang lain di tanah rantauannya yang jauhnya tiga seberangan lautan dari masjid tempat beliau ceramah malam itu? Saya mencoba melonggarkan segala kemungkinan, tapi tetap saja hati saya mengatakan tak mungkin. Tak mungkin ustadz tersebut berpikir bahkan berkhayal seperti itu tentang ceramahnya.
Inilah yang saya maksud bahwa sebuah nasihat, ketika terucap atau tertulis, akan meniti jalannya sendiri, yang unik dan tak terduga, demi menjalin mata rantai kebaikan yang lebih jauh dan luas. Allah akan menuntunnya berkelana menemukan orang yang akan mendengar dan membacanya di waktu dan tempat yang lain.
Orang yang mendengar dan membacanya itu kemudian menyebarkannya lagi kepada orang lain, baik dengan ucapan, tulisan, maupun dengan contoh perbuatan. Begitulah seterusnya dan seterusnya. Sebuah nasihat terus hidup dan menyebar sampai akhir zaman. Dan sejauh apa pun ia menjauh, pahalanya tak pernah lupa jalan kembali kepada setiap orang yang pernah mengucapkannya, menuliskannya, atau mencontohkannya.
Saya kembali mengingat cerita dan hikmah ini ketika beberapa hari yang lalu saya memosting di Facebook sebuah tulisan berjudul “Rumah di Sisi Allah”. Dalam tulisan itu saya mengupas doa Asiyah istri Fir’aun yang mengidamkan rumah di sisi Tuhannya di surga. Doanya, menurut saya, menyiratkan pesan berharga bagi kita dalam membangun atau membeli rumah untuk tempat tinggal. Pesannya adalah bahwa yang penting bukan bagaimana dan dimana rumah itu dibangun, tapi apakah rumah itu berada di lingkungan yang mengkondisikan kita dekat dengan Allah atau tidak.
Seorang teman menanggapi tulisan saya itu di kolom komentar: “Ustadz ini pengalaman aneh banget buat sya…sya td siang lagi menghayal tinggal dilingkungan pondok atau paling ga…deketlah sekalian belajar gitu eh kenapa Bru buka FB ngintip akun ustadz mau liatin postnya eh koq malah nyambung😀.”
Sama dengan ustadz yang saya ceritakan tadi, saya tak pernah menyangka tulisan itu akan dibaca oleh seseorang yang sedang memikirkan hal yang sama. Ia berpikir ingin tinggal di lingkungan pondok agar bisa mengaji, lalu membuka FB, lalu menemukan tulisan yang intinya adalah rumah yang baik adalah yang mendekatkan kepada Allah. Ia begitu terkesan sampai-sampai menggapnya sebagai pengalaman aneh.
Sesungguhnya tidaklah aneh. Juga tidak kebetulan. Karena, sekali lagi, sebuah nasihat dituntun oleh Allah untuk meniti jalan uniknya dalam membentuk rantai kebaikan yang tak terduga dan tak terhingga. Maka janganlah heran ketika di suatu waktu dan tempat seseorang mengaku terinspirasi dan tercerahkan oleh sepotong kalimat yang kita sendiri sudah lupa kapan dan di mana pernah mengatakan atau menuliskannya.
Dalam konteks ini, cukuplah bagi kita untuk meyakini bahwa tak ada investasi hidup terbaik selain menyampaikan sebanyak mungkin nasihat kebaikan. Islam itu 30 juz Al-Quran, ribuan hadis nabi, 23 tahun risalah kenabian. Tapi Nabi merangkumnya dalam sebuah kata: Nasihat! (Ad-diinu an-nasihah).
(Wallahu A’lam).