Column UINSA

Guru Besar dan Dekan FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya

Apa yang anda fikirkan setelah satu bulan berpuasa di bulan ramadlan? Sebagian besar akan menjawab bahwa kehidupan setelah ramadlan harus lebih baik dari sebelumnya. Begitu pula muncul jawaban ramadlan merupakan bekal dalam mengarungi sebelas bulan berikutnya untuk menjadi lebih baik. Begitu pula ada yang menjawab bahwa kita sudah lulus dari latihan, dan sudah siap untuk menyambut kehidupan baru dari bekal training (riyadloh) selama satu bulan.

Pertanyaan dan jawaban itu selalu hadir saat kultum (kuliah tujuh menit) saat tarawih, atau tausiyah menjelang buka puasa. Begitu pula sering terdengar di telivisi dan radio ketika tausiyah keagamaan selama bulan puasa.

Disebutkan bahwa ramadlan merupakan bulan intropeksi, kontemplasi dan evaluasi. Intropeksi berarti bulan dimana umat diminta untuk melihat kembali secara kritis atas apa yang sudah dilakukan sebagai umat manusia dan hamba Allah. Menalaah kewajiban dan perjalanan hidup sepanjang tahun apakah sudah sesuai dengan ajaran dan perintah Allah atau sebaliknya sudah keluar dari koridor. Lebih dari itu juga melakukan kontemplasi, merenung dan memikirkan diri sendiri secara mendalam atas nilai-nilai hidup, keyakinan dan prilaku baik di hadapan manusia maupun Allah. Kontemplasi juga merupakan cara untuk mencari kebenaran dan ketenangan.

Sementara evaluasi merupakan merupakan proses penilaian atau penaksiran untuk menentukan nilai, kualitas, efektifitas atau pencapaian atas kegiatan atau hal tertentu. Jika evaluasi dilaksanakan pada anak sekolah atau kuliah hasilnya  berupa skor atau nilai. Ada kalanya nilai tersebut turun, sama atau naik dari semester atau tahun sebelumnya. Jika evaluasi dilakukan pada sebuah birokrasi atau perusahaan bisa jadi berbentuk skor atau nilai kualitatif yang berisi kegagalan dan capaian. Pada bagian ini akan timbul rekomendasi untuk perbaikan agar performa birokrasi atau perusahaan tidak stagnan atau kembali pada posisi winning position.

Bulan intropeksi, kontemplasi dan evaluasi itulah yang digambarkan dalam sebuah hadis dengan sebutan ramadlan sebagai bulan muhasabah. Hadis tersebut cukup populer yang artinya, “barang siapa yang berpuasa di bulan ramadlan dengan keimanan dan ihtisaban (intropeksi, kontemplasi dan evaluasi) maka dosa-dosanya diampuni oleh Allah”,  (HR. Bukhari dan Muslim).

Dengan begitu ramadlan mengajarkan kepada kita semua agar naik kelas. Ramadlan mengajarkan agar tidak statis, stagnan, atau justru mundur jauh ke belakang. Ramadlan mendorong umat agar tidak terus menerus berada pada level  yang sama, akan tetapi terus naik menuju tahapan tangga berikutnya hingga sampai pada titik atau derajat tertinggi yang disebut dengan taqwa (QS. Al-Baqarah:183).

Ajaran atau nilai ramadlan sangat relevan dan kontekstual dalam kehidupan kita. Tertib dan disiplin saat berbuka dan sahur merupakan ajaran nilai kehidupan yang sarat dengan makna tanggung jawab. Hanya berbuka saat adzan maghrib dikumandangkan, begitu pula akan memulai menjauh dari makan, minum dan perbuatan halal lainnya saat waktu imsak tiba. Di siang hari diperintahkan untuk menjaga mulut dari percakapan yang tidak berguna.

Sepanjang berpuasa diminta untuk tidak makan, minum dan melakukan perbuatan yang sebenarnya ‘halal’ tetapi dihindari sebelum waktunya. Kejujuran pada diri sendiri merupakan nilai-nilai utama dalam puasa. Nilai jujur inilah dapat berimplikasi pada kehidupan nyata dalam keseharian baik saat  bekerja, berbisnis, hingga dalam keluarga. Ada Allah yang mengawasi di manapun dan kapanpun.  Begitu pula rasa lapar dan haus yang mendera kita di siang hari merupakan ajaran  nilai untuk peduli dan berempati pada orang lain yang mengalami hidup tidak lebih baik dari kita.

Akahkah nilai-nilai itu hanya terjadi pada bulan puasa, dan hanya untuk diri sendiri? Tentu tidak. Nilai itu terus dilanjutkan dan dikembangkan pada bulan dan tahun berikutnya. Nilai-nilai itu diharapkan terus tertanam dalam berprilaku di ruang manapun saat ramadlan sudah meninggal berlalu.

Nilai-nilai  itu bukan hanya bermakna spritual tetapi memiliki implikasi sosial dan bahkan implikasi pada ruang publik terutama bagi pemegang kebijakan. Nilai-nilai itu yang akan akan menempatkan kita pada posisi yang sama, mundur atau naik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Tentu saja, berharap muhasabah ini berdampak pada posisi agar bisa naik kelas. Karena sangat rugi jika  pengorbanan lapar dan haus tidak berdampak pada perbaikan posisi di hadapan Allah maupun di hadapan manusia. Ayo, naik kelas!