Dr. Slamet Muliono Redjosari
Hidayah senantiasa dibuka lebar dan seluas-seluasnya. Allah terus menyemai melalui hamba-hamba-Nya yang shalih. Hal ini sebagai bentuk kasih sayang Allah terhadap seluruh makhluk-Nya. Alih-alih merespon positif, kebanyakan manusia justru menolaknya. Mereka mengandalkan akal dan menyandarkan keyakinannya seraya menolak petunjuk yang berasal dari Penguasa langit dan bumi. Nabi Nuh menyampaikan petunjuk Allah untuk menolong anaknya dari malapetaka banjir besar. Nabi Nuh pun berupaya menyelamatkan dengan meminta anaknya naik kapal karena banjir besar. Anaknya menolak dengan mengandalkan nalarnya dengan berlindung di atas gunung. Keyakinannya bahwa makhluk besar (gunung) bisa menyelamatkannya, ternyata ilusi kosong. Menyandarkan diri kepada selain Allah bukan hanya lemah tetapi rapuh, sehingga menghempaskan ilusi kosongnya.
Kasih Sayang Allah
Allah memiliki kasih sayang yang amat besar terhadap seluruh makhluknya. Namun manusia senantiasa berupaya melepaskan diri dari rahmat Allah. Namun manusia berupaya mencari sandaran yang menurutnya cukup kokoh. Padahal sandaran itu lemah dan rapuh. Bentuk kasih sayang Allah tercermin dari kasih sayang Nabi Nuh terhadap anaknya yang ingin terselamatkan dari benajir besar.
Banjir besar itu merupakan simbol kemurkaan Allah atas pembangkangan kaum Nabi Nuh terhadap perintah-Nya. Sebagai ayah, Nabi Nuh ingin menyelamatkan anaknya agar menaiki kapalnya agar bisa selamat. Kasih sayang yang begitu besar itu, dinarasikan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :
وَهِيَ تَجۡرِي بِهِمۡ فِي مَوۡجٖ كَٱلۡجِبَالِ وَنَادَىٰ نُوحٌ ٱبۡنَهُۥ وَكَانَ فِي مَعۡزِلٖ يَٰبُنَيَّ ٱرۡكَب مَّعَنَا وَلَا تَكُن مَّعَ ٱلۡكَٰفِرِينَ
Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nūḥ memanggil anaknya, sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil, “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir”. (QS. Hūd : 42)
Apa yang dilakukan Nabi Nuh sebagai ayah untuk menyelamatkan anaknya merupakan bentuk kasih sayang yang mendalam. Sebagai seorang rasul yang mendapatkan kabar shahih dari langit, tentu tidak ingin anaknya celaka dan mati sia-sia. Anaknya tidak mengikuti ajakan ayahnya karena terpengaruh oleh orang-orang kafir. Pergaulan yang salah inilah yang menyebabkan tertutup hati. Tertutupnya hati itu berkonsekuensi penolakan terhadap datangnya petunjuk.
Sandaran Lemah
Ajakan seseorang untuk memberi jalan petunjuk tidak serta merta disambut positif. Tragisnya, justru direspon dengan menampilkan argumentasi lemah yang dipandangnya kokoh. Apa yang disampaikan putra Nabi Nuh, Kan’an ketika disodorkan petunjuk terbaik, justru mengajukan argumentasi yang dipandangnya baik. Dia menganggap bahwa dengan menaiki gunung bisa menyelamatkan dirinya.
Gunung sebagai makhluk ciptaan Allah, di mata manusia memang besar, namun dalam pandangan Allah sangat kecil dan tak ada artinya. Ketika Allah murka atas perilaku hamba-Nya, maka tindakan apapun mudah bagi-Nya. Gunung merupakan makhluk Allah yang sangat patuh dan patuh pada perintah-Nya. Kemurkaan Allah tidak bisa menghalangi kehendak-Nya.
Pesan inilah yang disampaikan Nabi Nuh kepada puteranya. Allah dikabarkan murka atas pembangkangan hampir semua kaumnya. Kemurkaan Allah itu jangan sampai menimpa Putera tercintanya. Namun puteranya justru melakukan pembangkangan baru pada orang tuanya. Pembangkangan baru itu justru akan mempercepat kematiannya. Kedurhakaan pada perintah orang tuanya membuatnya tenggelam bersama dengan gunung yang dianggap bisa menyelamatkannya. Hal ini ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya :
قَالَ سَـَٔاوِيٓ إِلَىٰ جَبَلٖ يَعۡصِمُنِي مِنَ ٱلۡمَآءِ ۚ قَالَ لَا عَاصِمَ ٱلۡيَوۡمَ مِنۡ أَمۡرِ ٱللَّهِ إِلَّا مَن رَّحِمَ ۚ وَحَالَ بَيۡنَهُمَا ٱلۡمَوۡجُ فَكَانَ مِنَ ٱلۡمُغۡرَقِينَ
Anaknya menjawab, “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!” Nūḥ berkata, “Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah, selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang”. Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan. (QS. Hūd :43)
Apa yang dilakukan Kan’an setidaknya menunjukkan dua hal. Pertama, lemahnya penyandaran pada akal. Dalam pandangan Kan’an, mengandalkan pada akalnya terlihat rasional. Karena gunung merupakan makhluk tertinggi, dan selama ini belum pernah banjir setinggi itu. Oleh karenanya, ketika diajak untuk naik kapal, dia justru memilih mendaki gunung untuk mencari penyelamatan. Dalam pikirannya, air tidak mungkin bisa mencapai setinggi gunung. Kedua, memandang lemah kekuasaan Allah. Allah memiliki kuasa untuk menjadikan banjir. Allah memerintahkan kepada langit untuk menurunkan hujan, dan meminta bumi untuk mengeluarkan sumber airnya. Keduanya mengeluarkan air atas perintah Allah hingga menutup gunung, guna menenggelamkan para pembangkang.
Allah sebagai penguasa langit dan bumi bisa mengendalikan keduanya. Hal ini sangat mudah bagi Allah, sebagaimana Allah bisa menghidupkan tanah yang sebelumnya tandus menjadi subur. Demikian pula kekuasaan Allah yang bisa menghidupkan manusia yang sempurna. Padahal manusia diciptakan dari air yang menjijikkan (mani) yang dipertemukan dengan ovum. Pertemuan mani dan ovum itu bisa berwujud manusia yang sempurna dan cerdas.
Ketika manusia tampan-cerdas tumbuh dewasa justru lupa asal-usulnya. Dia melepaskan dan melupakan hakekat dirinya, serta memutus hubungan dengan Sang Pencipta dirinya. Bahkan dia melupakan peran-Nya pada dirinya hingga menyandarkan pada akalnya.
Melepaskan diri dari Allah sama saja menutup pintu hatinya dari petunjuk-Nya. Ketika datang petunjuk Allah, dia meletakkan penutup atas hatinya. Begitu seringnya menutup hatinya dari petunjuk, maka Allah pun mengunci hatinya. Ketika hatinya terkunci dan mengeras, maka sulit petunjuk masuk. Berbagai nasehat dan tanda-tanda kekuasaan Allah dilihatnya tetap lewat begitu saja.
Oleh karenanya, tidak heran apabila manusia melihat terhinanya koruptor, nistanya pelaku judi, dan hinanya pembohong serta perusak sistem bernegara. Namun hal itu tidak menghentikan korupsi, judi, dan berbohong untuk merusak negara. Nasehat didengar, tanda keagungan Allah dilihat, serta berbagai tanda kekuasaan-Nya dirasakan hatinya. Namun hal itu tidak mengubah sikapnya, dan bahkan hatinya semakin keras. Tidak salah apabila Allah menghinakan dengan menurunkan adzab yang dahsyat pada manusia pembangkang dan keras hati ini.
Surabaya, 27 Nopember 2024