Berita

Di era globalisasi ini kemampuan menulis artikel jurnal sangat diperlukan, khususnya sebagai seorang mahasiswa. Dikarenakan hal tersebut dapat menjadi bekal untuk bisa berkontribusi mengembangkan ilmu dan juga menyebarluaskan hasil penelitian kepada masyarakat luas.

Prodi Tasawuf dan Psikoterapi pada Peningkatan Kompetensi Mahasiswa (PKM) yang diadakan pada Kamis (16/6) mengambil tema “Academic Writing Artikel Jurnal; Penyusunan Sampai Submit”. Kegiatan bertempat di aula gedung B3 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang diikuti oleh mahasiswa semester 4 Prodi Tasawuf dan Psikoterapi. Melalui tema ini Prodi Tasawuf dan Psikoterapi mengundang Muhammad Lutfi M.Ag untuk menjadi narasumber. Lutfi merupakan seorang editor kajiantafsir.co dan juga seorang dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat di UIN Sunan Ampel Surabaya.

Dalam penjelasannya Lutfi mengatakan bahwa paham mengenai materi kepenulisan saja tidak cukup, maka dari itu harus didampingi dengan praktik, “Tiap kali anda mengikuti kelas penulisan ilmiah, materinya adalah materi yang belum jadi, yang belum siap untuk mengubah anda keluar dari ruangan menjadi peneliti yang handal. Karena materi kepenulisan menuntut keterlibatan aktif anda untuk mengetes apa yang telah dipahami menjadi aktifitas masa kini yang disebut dengan riset yang perlu didampingi dengan praktik terus menerus,” ujarnya. 

Melihat permasalahan di atas, menurut Lutfi dalam kepenulisan akademik setidaknya terdapat strategi dan aksi. Pentingnya aksi karena yang selama mahasiswa konsumsi di kampus terkadang hanya sebuah materi abstrak yang jika tidak dibersamai dengan usaha untuk mengejar secara personal tidak dapat memproduksi tulisan secara baik.

Potret antusiasme mahasiswi semester 4 Prodi Tasawuf dan Psikoterapi. (Sumber: dokumentasi pribadi.)

Definisi dari academic writing secara sederhana menurut Lutfi adalah tulisan yang mentransfer ide atau gagasan/ informasi/ pemikiran / civitas akademik yang lbih luas. “Tulisan yang mentransfer ide,” berarti idenya harus ada terlebih dahulu, jika belum bisa mempunyai ide/ gagasan/ belum bisa berpikir, otomatis tidak akan bisa menulis. Dikarenakan yang disebut dengan menulis adalah mewajahkan/mewujudkan apa yang dipikirkan, maka sebelum menulis harus mengetahui cara berpikir yang benar.

Lutfi mengungkapkan sebelum proses kepenulisan terdapat proses berpikir, seperti mazhab dosen Chicago yakni “berpikir dan menulis adalah satu kesatuan”, jika sudah menulis otomatis sudah berpikir. Apapun yang mahasiswa gelisahkan bisa menjadi sebuah riset, asalkan terstruktur, terbukti dan kritis.

Kemudian Lutfi menjelaskan, yang dimaksud terstruktur yakni 100% dari jumlah outline tulisan terbagi menjadi 20% pendahuluan dan 75% isi serta sisanya ialah penutup. Meskipun pendahuluan hanya 20%, akan tetapi mendapati posisi yang tersulit untuk ditulis.

Apabila pendahuluan tidak matang, maka seorang penulis tidak akan tahu apa yang akan dilakukan. Kemudian Lutfi mengibaratkan dengan apabila keluar rumah dengan menaiki motor, namun tidak mempunyai tujuan hingga bensinnya habis maka tidak akan bisa melakukan apapun di jalan. Hal ini sama dengan ketika riset, apabila pendahuluannya tidak matang maka riset bisa stuck di tengah jalan. 

Skripsi atau jurnal menjadi sulit dikarenakan tidak mengetahui apa yang akan dilakukan, jika sudah matang di awal maka bisa disebut nyaris selesai. Sebab isi dari skripsi atau jurnal nantinya hanya tergantung data, jika sudah bisa mengoperasionalkan metodenya dan mendapatkan data sehingga menuangkannya adalam sebuah tulisan.

Yang harus diketahui pada pendahuluan adalah menggambarkan diskursus teoritisnya, ketika menulis judul bisa belakangan. Bagi Lutfi judul nyaris tidak penting, yang terpenting ialah topik. Topik biasanya berangkat dari kegelisahan internal baik sebagai mahasiswa Tasawuf dan Psikoterapi maupun mahasiswa secara umum.  

Lutfi pun memberikan contoh salah satu ciri seorang penulis tidak mengetahui apa yang akan dibahas ialah dengan menulis kalimat yang sudah banyak diketahui oleh banyak orang. Misalnya “manusia adalah makhluk ciptaan tuhan yang sempurna”. Maka dari itu, penulis yang baik tidak menunggu paragraf kedua untuk menampilkan tulisan terbaiknya. Penulis yang baik selalu mengintimidasi sejak paragraf pertama. 

Sebuah tulisan biasanya akan ditujukan untuk mengoptimalisasikan ide, namun tulisan yang baik bukan mengkomunikasikan ide tapi mengubah cara orang lain memandang dunia. Oleh karena itu, tulisan akademik yang baik biasanya menyampaikan ide atau perubahan ide. 

Lutfi menyebutkan dalam menulis tidak harus yang baru, apabila topik tersebut sudah ada yang meriset maka carilah kekurangannya dan mengisi kokosongan pada tulisan tersebut. Misalnya objek materinya sama, kemudian diubah objek formalnya, hal tersbut sudah menjadi tulisan yang baru.

Setelah menjelaskan mengenai terstruktur, selanjutnya Lutfi membahas mengenai hendaknya tulisan tersebut terbukti dengan adanya fakta, contoh, statistik dan kutipan. Namun sebuah opini juga bisa menjadi fakta apabila didukung dengan sumber atau data. Maka dalam sebuah karya ilmiah wajib terdapat fakta, opini, statistik dan kutipan

Kemudian yang ketiga dalam sebuah tulisan hendaknya bersifat kritis, yakni dengan mengomentari tulisan sendiri. Melalui pembahasan materi ini, Lutfi berharap setelah mahasiswa dapat menemukan satu outline tulisan. (Mumtaza Nur Annisa- Mahasiswi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat)