Kekerasan adalah masalah sosial yang telah menghantui umat manusia selama berabad-abad. Dalam upaya untuk mengatasi dan mencegah kekerasan, kita perlu mempertimbangkan peran spiritualitas sebagai salah satu komponen yang dapat berkontribusi dalam mengubah perilaku manusia dan mempromosikan perdamaian. Spiritualitas, dalam konteks ini, merujuk pada hubungan individu dengan dimensi yang lebih dalam dari kehidupan, yang mungkin berupa agama, keyakinan, atau kepercayaan pribadi.
Setiap agama pastinya mengajarkan para pengikut dan pemeluknya untuk berbuat baik, menjadi manusia yang bermanfaat, saling tolong menolong, saling mengasihi, menebarkan kasih dan hidup secara aman dan damai. Walaupun demikian, masih sering terjadi kekerasan, pertikaian berdarah dan peperangan. Bahkan yang memperhatinkan adalah tindakan kekerasan tersebut diatasnamakan ajaran agama. Padahal sudah jelas bahwa agama akan mengizinkan peperangan berdasarkan ‘pembelaan diri’ bukan atas dasar ‘penyerangan dan penindasan’ terhadap pemeluk agama yang berbeda.
Dalam konteks ajaran agama Islam, peperangan hanya diizinkan jikalau umat Islam diserang, dianiaya, dan didhalimi. Karena pada hakikatnya, dalam beragama tidak ada unsur ‘pemaksaan dan pemerkosaan’ keyakinan. Agama Islam dipeluk harus atas dasar ‘kerelaan dan keyakinan’. Sehingga orang yang sudah rela dan yakin terhadap agama Islam dengan kesadaran penuhnya akan menjadi individu-individu yang shalih secara ideologi (iman), taat menjalankan kewajiban agama Islam secara praktis (Islam) dan berakhlak mulia (ihsan).
Jikalau seorang muslim mampu memahami, mengerti dan bisa mengimplementasikan tiga pilar agama Islam tersebut (Iman, Islam dan Ihsan), niscaya dia bisa menjadi ‘insan kamil’, yakni manusia sempurna secara lahir batin di manapun, kapanpun dan dalam keadaan apapun, dia berada. Insan kamil adalah perwujudan ‘wakil Tuhan’ di muka bumi yang hadir dalam rangka ‘menampakkan’ sifat-sifat ketuhanan-Nya di muka bumi. Insan kamil akan ‘membumi’kan sifat-sifat ‘langit’-Nya. Karena pada hakikatnya, manusia harus meniru akhlak Tuhan yang sangat baik dan sempurna (takhallaquu bi al-akhlaqillah). Dengan demikian, manusia akan bersifat pengasih dan penyayang, penolong dan memuliakan.
Sebaliknya, jikalau manusia sebagai pemeluk agama tidak bisa menjadi ‘cermin’ suci Tuhan, justru manusia akan mengotori kesucian dirinya dan kesucian-Nya. Karena memang secara hakikat, manusia diciptakan sebagai citra Ilahi yang paling sempurna secara lahir dan batin, secara fisik dan spiritual. Manusia adalah perwujudan unsur ‘lahut’ dan unsur ‘nasut’. Secara ‘ruh’ manusia adalah makhluk spiritual dan secara ‘jasmani’ manusia adalah perwujuan sempurna alam semesta. Manusia adalah ‘jagat cilik’ yang menjadi miniature ‘jagat gede’ alam semesta.
Jikalau manusia mampu memahami dan mengerti bahwa dirinya adalah citra Ilahi, ‘wakil Tuhan’ di muka bumi dan makhluk paling mulia, niscaya manusia akan bercita-cita menjadi ‘insan kamil’. Sempurna hubungannya dengan Tuhannya dan sempurna hubungannya dengan alam semesta, terutama dengan sesame manusia.
Dengan demikian, pemahaman dan kemengertian terhadap nilai-nilai spiritualitas sangatlah penting dalam rangka menyadarkan diri manusia untuk tidak berbuat negative, terutama berbuat kekerasaan dengan alamsemesta, khususnya dengan sesame manusia. Ada beberapa lini yang bisa sentuh dalam menyadarkan hakikat diri manusia secara spiritual dan universal tanpa membedakan agama, yaitu:
- Pemahaman tentang Kepantasan dan Empati: Spiritualitas membantu individu untuk lebih memahami nilai-nilai kemanusiaan, kebijaksanaan, dan cinta kasih. Dengan memiliki pemahaman yang lebih dalam tentang kepentingan hidup dan persamaan semua makhluk, seseorang cenderung lebih empati terhadap orang lain. Kemampuan untuk merasakan penderitaan orang lain dan merespon dengan kasih sayang dapat mencegah tindakan kekerasan yang didasari oleh ketidaktahuan atau ketidakpedulian terhadap penderitaan orang lain.
- Pengendalian Diri: Spiritualitas dapat memberikan individu alat-alat untuk mengendalikan diri dan emosi mereka. Praktik spiritual, seperti meditasi, doa, atau kontemplasi, membantu seseorang mengatasi amarah, kebencian, dan impulsivitas. Dengan demikian, spiritualitas membantu mengurangi potensi tindakan kekerasan yang mungkin dipicu oleh emosi negatif.
- Pencarian Damai dalam Konflik: Spiritualitas sering mengajarkan pentingnya mencari jalan damai dalam menyelesaikan konflik. Ketika seseorang memiliki landasan spiritual, mereka mungkin lebih cenderung mencari penyelesaian yang melibatkan dialog, negosiasi, dan rekonsiliasi daripada menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Ini bisa mempengaruhi pengurangan kekerasan dalam hubungan individu dan kelompok.
- Mengatasi Ketidakadilan dan Ketidaksetaraan: Spiritualitas dapat mendorong individu untuk berdiri di sisi yang benar, terutama ketika mereka menyaksikan ketidakadilan atau ketidaksetaraan. Dalam banyak tradisi spiritual, ada panggilan untuk membela yang lemah dan melawan ketidakadilan. Hal ini dapat mencegah kekerasan struktural dan mempromosikan tindakan positif yang mengarah pada perubahan sosial yang lebih baik.
- Meningkatkan Solidaritas Sosial: Spiritualitas sering kali mendorong pembentukan komunitas yang kuat dan solidaritas sosial. Ketika individu merasa terhubung dengan orang-orang yang memiliki nilai-nilai serupa, mereka lebih cenderung bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama, termasuk perdamaian. Solidaritas ini dapat memperkuat upaya pencegahan kekerasan dalam skala yang lebih besar
Meskipun spiritualitas dapat berperan sebagai pencegah kekerasan yang kuat, perlu diingat bahwa pendekatan ini bukan satu-satunya solusi. Pencegahan kekerasan adalah masalah kompleks yang memerlukan berbagai strategi, termasuk pendidikan, pembangunan sosial dan ekonomi, serta kebijakan pemerintah yang bijaksana. Namun, dengan menekankan pentingnya spiritualitas dalam upaya pencegahan kekerasan, kita dapat mempromosikan transformasi perilaku individu dan masyarakat menuju perdamaian yang lebih besar.
[Syaifulloh Yazid, MA.– Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat]