Nuwailah Rochmah Rufqoti (email: nailah.ridh@gmail.com)
Artikel ini merupakan tugas matakuliah Kajian Pedagogi yang diampu oleh Rulam Ahmadi, Prodi Magister Pendidikan Bahasa Inggris, Pascasarjana UNISMA Malang.
Pendahuluan
Dalam konteks perkembangan dunia global yang menempatkan informasi dan big data pada posisi fundamental dan berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari, literasi dimaknai tidak sekadar kemampuan membaca, menulis, dan berhitung (numerasi), tetapi juga melek ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi (digital), keuangan (finansial), budaya dan kewarganegaraan. Keenam hal itu merupakan literasi dasar dan disebut sebagai dimensi literasi dalam “Peta Jalan Gerakan Literasi Nasional” (Kemendikbud, 2017). Konteks Literasi dalam hal ini tidak hanya kemampuan membaca, tetapi kemampuan menganalisis suatu bacaan, dan memahami konsep di balik tulisan tersebut. Sedangkan kompetensi numerasi berarti kemampuan menganalisis menggunakan angka. Ini kompetensi minimum atau kompetensi dasar yang dibutuhkan peserta didik untuk bisa belajar dalam lingkungan kaya teks, lingkungan sosial efektif, dan lingkungan akademik. Sehingga kemampuan literasi dan numerasi siswa sangatlah penting karena kedua kompetensi dasar tersebut merupakan senjata utama para siswa untuk memperoleh pengetahuan yang akan menentukan keberhasilan mereka di masa mendatang.
Namun sayangnya, menurut Guru Besar Institut Teknologi Bandung Iwan Pranoto mengatakan, selama 20 tahun terakhir skor PISA (Programme for International Student Assessmen/Program Penilaian Pelajar Internasional) Indonesia berada di bawah rata-rata negara OECD (Organization for Economic Cooperation and Development/Organiasasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi). Krisis belajar terjadi selama lebih dari dua dekade yang tecermin dari hasil PISA dan tidak ada kemajuan signifikan. Meskipun peringkat PISA Indonesia naik 5-6 posisi di tahun 2022 dibandingkan tahun 2018, namun skor PISA Indonesia turun dibandingkan dengan tahun 2018 seperti kebanyakan negara lainnya (Napitupulu, 2023). Berdasarkan hasil penilaian tersebut, Indonesia berada di peringkat ke 69 dari 80 negara yang terdaftar dalam penilaian PISA 2022. Tidak jauh berbeda dengan peringkat internasional, jika dibandingkan dengan negara ASEAN, Indonesia tetap berada di peringkat menengah ke bawah. Singapura jauh di atas negara lain memimpin dengan skor total tertinggi (1.679). Vietnam berada di posisi kedua (1.403), diikuti oleh negara tetangga Brunei (1.317) dan Malaysia (1.213). Indonesia sendiri berada di peringkat keenam dengan skor total 1.108, di bawah Thailand (1.182). Sementara dua negara di bawah Indonesia adalah Filipina (1.058) serta Kamboja (1.012) (Prasastisiwi, 2024). Hasil ini menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih membutuhkan peningkatan di berbagai bidang. Perbaikan serius di bidang pendidikan perlu segera dilakukan agar Indonesia lebih siap menghadapi tantangan global dan mampu bersaing di skala internasional.
Analisa lebih jauh menemukan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan global ini. Direktur Directorate of Education and Skills OECD—organisasi perancang PISA—Andreas Schleicher dalam keterangan pers mengutarakan bahwa penurunan skor secara global ini akibat dampak dari pandemi COVID-19 yang telah melanda sebelumnya serta pengaruh dari media sosial dan kecerdasan buatan (AI) yang menciptakan peluang sekaligus tantangan baru dalam dunia pendidikan (Napitupulu, 2023). Seperti yang kita ketahui bersama bahwa media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat modern, termasuk dunia pendidikan. Platform seperti YouTube, Instagram, TikTok, dan WhatsApp kini digunakan tidak hanya untuk hiburan, tetapi juga sebagai alat bantu pembelajaran. Artikel ini akan membahas bagaimana media sosial dapat berfungsi sebagai alat untuk meningkatkan kompetensi literasi dan numerasi peserta didik, sekaligus mengidentifikasi tantangan yang harus diatasi untuk memaksimalkan pemanfaatannya.
Peluang Media Sosial untuk Literasi dan Numerasi
Media sosial adalah media online (media daring) yang digunakan sebagai sarana pergaulan social secara online di internet. Di media social, para pengguna dapat saling berinteraksi, berkomunikasi, berbagi networking dan berbagai kegiatannya lainnya secara online. Andreas Kaplan dan Michael Heinlein mendefinisikan media sosial “sebagai kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar ideology dan teknologi web 2.0, dan memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content”(Kaplan, 2010).
Menurut devi et al (2019) Media sosial populer seperti Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram dapat digunakan dalam pembelajaran. Contohnya, Facebook memungkinkan guru membuat ruang diskusi untuk siswa, Twitter memberikan pengumuman dan informasi kelas secara cepat, YouTube dapat digunakan untuk konsep pembalikan kelas, dan Instagram dapat meningkatkan motivasi belajar. Selain empat platform tersebut, media sosial lainnya terus berkembang dengan fitur-fitur baru, memperluas potensinya dalam konteks pembelajaran. Media sosial menyediakan akses ke sumber belajar yang beragam dalam bentuk video, infografis, dan teks yang menarik. Platform seperti YouTube dan TikTok telah menjadi rumah bagi banyak tutorial literasi dan numerasi yang disajikan secara interaktif dan mudah dipahami oleh siswa. Konten-konten ini tidak hanya memberikan informasi, tetapi juga menginspirasi siswa untuk belajar dengan cara yang lebih menyenangkan dan relevan dengan gaya belajar mereka.
Selain itu, media sosial mendukung pembelajaran berbasis komunitas. Grup di platform seperti WhatsApp dan Facebook memungkinkan siswa untuk berdiskusi, berbagi informasi, dan memecahkan masalah bersama. Melalui komunitas pembelajaran daring ini, siswa dapat termotivasi untuk belajar lebih aktif dan kolaboratif, meningkatkan kemampuan mereka dalam literasi dan numerasi. Studi yang dilakukan oleh Manca dan Ranieri (2016) mengamati pemanfaatan media sosial dalam konteks pembelajaran. Temuan penelitian tersebut menyiratkan bahwa platform media sosial memiliki potensi untuk meningkatkan tingkat kolaborasi, keterlibatan, dan motivasi siswa dalam proses belajar. Penggunaan media dalam pembelajaran memberikan kontribusi signifikan dalam mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa.
Media sosial juga mendukung pendekatan gamifikasi dalam pendidikan. Pendekatan gamifikasi merupakan salah satu hal yang penting di dunia pendidikan dibuktikan dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh (Ong, 2013), menyatakan bahwa gamifikasi meningkatkan motivasi belajar siswa. Dengan motivasi yang kuat, seseorang akan cenderung melakukan sesuatu dengan lebih maksimal untuk menjaga fokus dalam mencapai hasil yang diinginkan. Ada beberapa aspek motivasi yang dapat dilihat saat proses pembelajaran berlangsung. Aspek-aspek tersebut antara lain: minat, perhatian, konsentrasi, ketekunan, antusias, keterlibatan, rasa ingin tahu, berusaha mencoba dan aktif mengatasi tantangan (Sardiman, 2006). Banyak platform media sosial yang menawarkan fitur seperti kuis daring dan tantangan literasi atau numerasi yang menarik bagi siswa. Elemen permainan ini tidak hanya meningkatkan keterlibatan siswa tetapi juga membuat proses belajar menjadi lebih menyenangkan dan interaktif, sehingga siswa lebih termotivasi untuk mempelajari konsep-konsep baru.
Selain itu, penggunaan media sosial membantu siswa mengembangkan keterampilan literasi digital. Dengan terpapar pada berbagai konten, siswa belajar untuk mencari, mengevaluasi, dan memanfaatkan informasi dengan lebih baik. Literasi digital ini menjadi aspek penting yang mendukung literasi dan numerasi tradisional, karena kemampuan untuk mengakses dan menganalisis informasi merupakan fondasi penting dalam pembelajaran modern.
Tantangan Penggunaan Media Sosial dalam Pembelajaran
Selain sisi positifnya, media sosial juga menghadirkan sejumlah tantangan dalam dunia pendidikan, yang dapat memengaruhi efektivitasnya sebagai alat pembelajaran. Salah satu tantangan utama adalah distraksi dan ketergantungan. Media sosial sering kali menjadi alat yang mengurangi konsentrasi siswa karena siswa lebih tertarik pada konten hiburan dibandingkan materi pembelajaran. Studi oleh Pratiwi (2022) menemukan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan dapat menyebabkan kurang tidur, rendahnya konsentrasi belajar, dan kurangnya sosialisasi. Selain itu, ketergantungan pada media sosial dapat menghambat pengembangan keterampilan berpikir kritis, karena siswa lebih sering mencari jawaban instan daripada mengeksplorasi solusi secara mendalam.
Masalah lain yang muncul adalah informasi yang tidak valid. Menurut Raharjoa, et.al (2021), penyebaran hoaks secara luas dapat menghambat perkembangan literasi karena seorang siswa mungkin menjadi skeptis terhadap informasi yang diberikan oleh sumber yang sebenarnya dapat dipercaya. Penyebaran hoaks dapat mengganggu kemampuan siswa untuk memahami dan menginterpretasikan informasi dengan benar. Hoaks seringkali dirancang untuk memanipulasi opini atau mengelabui pembaca, sehingga siswa yang kurang memiliki keterampilan literasi yang kuat dapat dengan mudah tertipu olehnya. Fenomena hoaks merupakan permasalahan yang sangat serius di era digital yang sekaligus dapat menjadi indikator rendahnya literasi di tengah-tengah masyarakat dan media sosial dipenuhi dengan informasi yang tidak terverifikasi, sehingga siswa sering kali kesulitan membedakan mana informasi yang benar dan salah. Kurangnya literasi digital membuat mereka lebih rentan terhadap misinformasi, yang pada akhirnya dapat menghambat pemahaman mereka terhadap konsep-konsep dasar literasi dan numerasi.
Kesenjangan akses teknologi juga menjadi tantangan besar dalam penggunaan media sosial untuk pembelajaran. Tidak semua siswa memiliki akses ke perangkat dan internet yang memadai. Ketimpangan ini memperburuk kesenjangan literasi dan numerasi di kalangan peserta didik, terutama di daerah terpencil atau dengan latar belakang ekonomi rendah. Selain itu, kurangnya kontrol dan pengawasan menjadi hambatan lain dalam pemanfaatan media sosial untuk pendidikan. Tanpa bimbingan yang tepat, siswa dapat dengan mudah mengakses konten yang tidak relevan atau bahkan berbahaya. Guru dan orang tua sering kali tidak memiliki pengetahuan atau keterampilan yang cukup untuk mengawasi penggunaan media sosial secara efektif, yang memperbesar risiko penyalahgunaan.
Strategi Memaksimalkan Media Sosial untuk Literasi dan Numerasi
Salah satu langkah strategis dalam memanfaatkan media sosial untuk pendidikan adalah pembuatan konten edukasi yang menarik. Guru dan lembaga pendidikan dapat bekerja sama dengan kreator konten untuk menghasilkan video atau materi yang relevan dengan pembelajaran. Infografis dan tutorial berbasis masalah (problem-based learning) juga dapat membantu siswa memahami konsep literasi dan numerasi secara lebih mendalam dan menyenangkan.
Namun pada dasarnya, ada satu hal yang sangat krusial dalam upaya pemaksimalan media sosial dalam meningkatkan kompetensi literasi dan numerasi peserta didik yaitu kemampuan literasi digital siswa. Literasi digital adalah kemampuan seseorang dalam memamahi konten digital (Dewi et al., 2021). Kemampuan literasi informasi, atau juga dikenal sebagai literasi informasi digital, merujuk pada kemampuan individu untuk mengakses, mengevaluasi, menggunakan, dan berkontribusi terhadap informasi dengan cara yang efektif dan bertanggung jawab. Kemampuan literasi informasi sangat penting di era digital yang penuh dengan informasi yang berlimpah dan beragam. Seseorang yang memiliki kemampuan literasi informasi akan dapat memecahkan suatu masalah dan mengkomunikasikan pikirannya dengan baik (Lien, et.al., 2020). Oleh karena itu, pengembangan literasi digital siswa adalah poin yang tidak boleh dilewatkan begitu saja. Sekolah perlu mengintegrasikan literasi digital ke dalam kurikulum untuk mengajarkan siswa cara memanfaatkan media sosial secara efektif. Workshop dan pelatihan yang dirancang khusus untuk siswa dan guru dapat meningkatkan keterampilan ini, sehingga siswa mampu membedakan informasi valid dari yang tidak valid dan memanfaatkan media sosial secara bijak.
Poin yang tidak kalah pentingnya adalah kolaborasi antara sekolah dan orang tua menjadi kunci dalam menciptakan lingkungan pembelajaran yang aman dan produktif. Orang tua perlu dilibatkan dalam mengawasi penggunaan media sosial oleh anak-anak mereka. Dengan adanya komunikasi yang baik antara guru dan orang tua, siswa dapat lebih termotivasi untuk menggunakan media sosial sebagai alat belajar. Selain itu, penguatan infrastruktur teknologi juga merupakan aspek fundamental. Pemerintah perlu memastikan akses internet yang merata di seluruh daerah, termasuk wilayah terpencil, untuk mengurangi kesenjangan digital. Penyediaan perangkat dengan harga terjangkau dan subsidi untuk siswa dari keluarga kurang mampu dapat mendukung penggunaan media sosial dalam pembelajaran.
Penutup
Media sosial menawarkan peluang besar untuk meningkatkan kompetensi literasi dan numerasi peserta didik melalui akses ke sumber belajar yang menarik, komunitas daring, dan pendekatan gamifikasi. Namun, tantangan seperti distraksi, informasi tidak valid, dan kesenjangan akses teknologi perlu diatasi melalui strategi yang terintegrasi.
Dengan penerapan strategi yang tepat, media sosial dapat menjadi katalisator perubahan dalam dunia pendidikan. Guru, orang tua, dan pemerintah memiliki peran penting untuk menciptakan ekosistem belajar yang mendukung dan inklusif. Pemanfaatan media sosial secara bijak mampu menghadirkan pendidikan yang relevan dengan kebutuhan era digital, sekaligus membekali siswa dengan keterampilan literasi dan numerasi yang diperlukan untuk menghadapi tantangan masa depan. Dengan kolaborasi yang erat antara semua pihak, media sosial dapat diubah dari sekadar alat hiburan menjadi instrumen revolusioner yang membawa kemajuan signifikan dalam kualitas pendidikan di Indonesia.
Daftar Pustaka
Devi, K. S., Gouthami, E., & Lakshmi, V. V. (2019). Role of Social Media in Teaching – Learning Process. Researchgate.net
Dewi, D. A., Hamid, S. I., Annisa, F.,Oktafianti, M., & Genika, P. R.(2021). Menumbuhkan Karakter Siswa melalui Pemanfaatan Literasi Digital. Jurnal Basicedu, 5(6),5249-5257.https://doi.org/10.31004/basicedu.v5i6.1609
Kaplan, Andreas M. Michael Hienlein (2010). User of the world, united the challenges and oppurtunities of social media”, Bussines Horizons. 53 (1), 59-68.
Lien, Diao Ai, Agustin Wydia Gunawan, Dora Angelina Aruan, Santi Kusuma, and Stevanus Adriyanto. (2020) Literasi Informasi: 7 Langkah Knowledge Management. Jakarta: Penerbit Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. 4.
Manca, S., & Ranieri, M. (2016). Facebook and the others. Potentials and xxvi obstacles of Social Media for teaching in higher education. Computers and Education. Researchgate.net
Napitupulu, Ester Lince. Skor PISA Indonesia 2022 Turun, Peringkat Naik, 6 Desember 2023. https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/12/05/skor-pisa-2022-indonesia-turun-peringakt-naik. Diakses pada 04 Januari 2025.
Ong, D. L. T., Chan, Y. Y., Cho, W. H., & Koh, T. Y. (2013). Motivation of Learning: An Assessment of the Practicality and Effectiveness of Gamification Within a Tertiary Education System in Malaysia.
Prasastisiwi, Afra Hanifah. Posisi Indonesia di PISA 2022, Siapkah untuk 2025?. 23 September 2024. https://goodstats.id/article/posisi-indonesia-di-pisa-2022-siapkah-untuk-2025-6RLyK#:~:text=Posisi%20Skor%20PISA%20Indonesia%20di%20ASEAN&text=Indonesia%20sendiri%20berada%20di%20peringkat,)%20serta%20Kamboja%20(1.012). Diakses pada 04 Januari 2025.
Pratiwi, E. (2022). Pengaruh Media Sosial Tiktok Terhadap Motivasi Belajar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Siswa SMA Negeri 7 Tebo (Doctoral dissertation, Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial).
Raharjoa, Novianto Puji, and Bagus Winarkob. (2021) “Analisis Tingkat Literasi Digital Generasi Milenial Kota Surabaya Dalam Menanggulangi Penyebaran Hoaks.” Jurnal Komunika:Jurnal Komunikasi dan Informatika. Vol. 10. No. 1Hlm. 1.
Sardiman. (2006). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT RajaGrafindo.