Literasi Hadis dalam Bermedsos
Atho’illah Umar
Dalam setiap momen awal bulan, ketika hendak memasuki bulan hijriyah, wa bil khusus bulan-bulan yang mulia, lalu lintas medsos selalu dipenuhi oleh pesan motivasi atas sebuah amalan yang remeh temeh dengan pahala atau ganjaran yang spektakuler yaitu dijauhkan dari api neraka dengan kata lain dijamin masuk surga. Amalan yang diberikan janji absurd tersebut adalah berupa ‘merasa gembira’. Apalagi, motivasi tersebut selalu disandarkan kepada Nabi Muhammad saw.
Dalam ilmu hadis, mengada-ada atau menyandarkan perkataan kepada Nabi Muhammad saw – padahal ia bukanlah sabda beliau – secara dusta dan sengaja adalah merupakan definisi hadis palsu atau khabar maudu’. Menyebarkan motivasi tentang keutamaan sebuah bulan lalu disandarkan kepada Nabi Muhammad saw adalah perbuatan dosa besar yang ancamannya adalah dipersilahkan memilih tempat tinggal di neraka. Pesan motivasi tersebut bahkan dengan cepat menjadi pesan berantai yang diteruskan secara kolekif dan massif dari satu group ke group lain.
Tak terkecuali bulan Sha’ban, dalam salah satu group WA alumni, beberapa hari yang lalu penulis mendapatkan postingan sari salah satu anggota group seperti berikut :
“Nabi Sholallohu Alaihi Wassallam Bersabda ,,,, *”Barangsiapa yg memberitahukan berita datang nya Bulan Sya’ ban kepada yang lain, Maka Haram Api Neraka Baginya.”*
Dalam pengamatan penulis, pesan sejenis juga terjadi hampir pada setiap bulan, tidak hanya bulan-bulan haram atau bulan Ramadan saja.
Sejatinya pesan di atas disadur dari hadis palsu yang beredar mengenai keutamaan bulan Ramadan, yaitu mengganti kata Ramadan dengan kata Sha’ban. Referensi hadis palsu yang beredar itu berbunyi
من فرح بدخول رمضان حرم الله جسده على النيران
“Siapa yang bergembira dengan masuknya bulan Ramadhan, Allah akan mengharamkan jasadnya masuk neraka”
Dan hadis yang berbunyi
من بلغ الناس بشهر رمضان حرمه على النار
“Barangsiapa yg memberitahukan berita datang nya bulan Ramadan kepada yang lain, maka haram api neraka baginya.”
Hadis ini terdapat dalam kitab Durratun Nasihin karya Uthman al-Khubbani. Dari sudut sanad, asal-usul riwayat hadis ini tidak jelas, dan dari segi matannya, juga terdapat kontradiksi dan ishkal. Dalam kajian ilmu hadis, hal ini menjadi salah satu indikasi bahwa hadis tersebut dianggap bermasalah dan mengandung illat.
Secara logika, hanya dengan merasa gembira menyambut datangnya bulan Ramadhan, tidaklah cukup untuk menjadikan kita terhindar dari api neraka secara otomatis. Kita dituntut untuk memperbanyak ibadah dan mengerahkan seluruh tenaga untuk memaksimalkan ibadah dan amal salih di bulan Ramadan, tidak cukup hanya merasa gembira saja lalu ia dijamin selamat dari api neraka..
Logika motivasi di atas kontra produktif jika dihadapkan pada sebuah logika sederhana mengenai kepastian neraka atas paman Nabi, Abd al-Uzza bin Abd al-Muttalib yakni Abu Lahab yang diabadikan dalam surat al-Lahab. Betapa paman Nabi ini sangat merasa gembira dengan lahirnya sosok bayi laki-laki mungil tunggal dari saudaranya, yakni pasangan Abdullah dan Aminah. Saking gembiranya Abu Lahab hingga memerdekakan budaknya yang bernama Thuwaibat al-Aslamiyah. Ternyata perasaan gembira ini tidak mampu menyelamatkannya dari api neraka akibat penolakannya terhadap risalah Allah yang dibawa oleh keponakannya itu meskipun ia mendapatkan dispensasi siksa setiap hari senin sebagai penghormatan atas hari kelahiran Nabi saw Dari sini, jelas bahwa perasaan gembira saja tidak cukup tanpa dibarengi dengan iman, islam dan ihsan.
Oleh sebab itu, beredarnya pesan motivasi di atas di samping mendustakan Nabi saw, ia juga menyesatkan umat yang masih awam, terlebih mereka yang masih suka bergelimang dalam maksiat selama bulan Ramadan, hanya bermodal perasaan gembira lalu mereka merasa aman dari neraka hanya dengan berpegang kepada hadis palsu. Tentu saja, berita hoax ini juga menjadi angin segar bagi mereka yang suka ogah-ogahan, dan kaum taqlid buta.
Pemalsuan hadis memang tidak hanya bersumber dari kaum zindiq, syiah, khowarij, atau non muslim, tapi juga bersumber dari kalangan mereka yang ghirah beragamanya over, para pegiat amar ma’ruf nahi mungkar, kaum sufi dan juru dakwah.
Sebagai akademisi, kita memang tidak mampu menghentikan kebiasaan bermedsos tersebut, tapi kita bisa merespon pesan-pesan tersebut dengan selalu memberikan komen berupa pencerahan mengenai bahayanya motivasi absurd, tidak masuk akal bahkan mencatut nama Nabi Muhammad saw lalu mengimbanginya dengan menampilkan aneka hadis mengenai keutamaan bulan-bulan mulia, baik itu hadis sahih, hasan atau daif sekalipun namun dengan memenuhi serangkaian syarat yaitu kedaifannya tidak sangat, dipayungi oleh dalil lainnya yang sahih, tidak diyakini secara berlebihan sebagaimana meyakini hadis sahih, tidak berbicara halal haram atau akidah, berisi fadail a’mal, dan ketika meriwayatkannya wajib memberitahukan status kedaifannya.
Dengan demikian, kesadaran literasi hadis seyogyanya dibudayakan dalam bermedsos untuk menghindari absorbsi doktrin secara otomatis ke dalam alam bawah sadar kita dan taqlid buta bagi kalangan awam. [Atho’illah Umar – Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat]