Konstitusi bukan hanya sebagai panduan praktek bernegara, tetapi menjadi tolok ukur apakah kepemimpinan sebuah rezim berhasil atau tidak dalam menjalankan amanah rakyat. Dalam konstitusi Indonesia, suatu rezim memiliki tugas di antaranya, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan kesejahteraan sosial. Namun dalam prakteknya, apa yang terkandung dalam konstitusi justru terabaikan dan berubah menjadi arena pembodohan masyarakat dan terjadi ketimpangan sosial. Realitas ini seolah-olah negara berjalan tanpa aturan sehingga yang terjadi adalah kelalaian konstitusi yang seharusnya menjadi acuhan dalam praktek bernegara. Hal inilah yang membuat negara ini terlibat dalam gejolak dan konflik berkepanjangan karena banyak pihak yang ingin rezim ini patuh terhadap konstitusi.
Pelanggaran Konstitusi
Pelanggaran terhadap konstitusi di era rezim ini, dalam pandangan publik Indonesia, telah berimplikasi dan melahirkan gejolak dan konflik sosial secara intens. Bahkan muncul demonstrasi dan tuntutan untuk memakzulkan presiden. Masyarakat memandang bahwa rezim ini telah berjalan tanpa mengindahkan konstitusi sehingga terjadi berbagai pelanggaran yang mengarah kepada totalitarian.
Berakar dari penyimpangan konstitusi ini mengingatkan sejarah perjuangan nabi Muhammad yang mengajak orang Quraisy untuk mengikuti aturan yang mengarah kepada kehidupan yang agung. Nabi mengajak masyarakat untuk mematuhi aturan yang disepakati bersama. Mereka menolak aturan yang merujuk pada Al-Qur’an dan ingin membuangnya, serta diganti dengan yang lain. Al-Qur’an mengilustrasikan bahwa orang-orang kafir Quraisy tidak percaya adanya akherat. Mereka menolak kehidupan sesudah kematian, sehingga ketika datang berita dari langit, serta merta menolaknya. Hal ini ditegaskan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :
وَإِذَا تُتۡلَىٰ عَلَيۡهِمۡ ءَايَاتُنَا بَيِّنَٰتٖ قَالَ ٱلَّذِينَ لَا يَرۡجُونَ لِقَآءَنَا ٱئۡتِ بِقُرۡءَانٍ غَيۡرِ هَٰذَآ أَوۡ بَدِّلۡهُ ۚ قُلۡ مَا يَكُونُ لِيٓ أَنۡ أُبَدِّلَهُۥ مِن تِلۡقَآيِٕ نَفۡسِيٓ ۖ إِنۡ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَىٰٓ إِلَيَّ ۖ إِنِّيٓ أَخَافُ إِنۡ عَصَيۡتُ رَبِّي عَذَابَ يَوۡمٍ عَظِيمٖ
Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata, “Datangkanlah Al-Quran yang lain dari ini atau gantilah dia” . Katakanlah, “Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut, kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhan-ku kepada siksa hari yang besar (kiamat)”. (QS. Yūnus : 15)
Ketika ditolak, Nabi pun berargumentasi bahwa apa yang disampaikan datang dari Penguasa langit. Sebagai rasul tidak mungkin menolak berita agung dari Allah. Menolak aturan Allah sama sama mendurhakai Allah dan berimplikasi akan mengundang siksa pedih di hari kiamat. Nabi memperjuangkan untuk menegakkan tauhid dan menolak penyembahan kepada berhala. Orang kafir Quraisy pun menolak ajakan itu, dengan meminta Nabi Muhammad untuk menggantikannya dengan membiarkan untuk menyembah tuhan yang banyak.
Kaum terdahulu juga demikian, dimana kaum Nabi Luth yang melakukan perbuatan homoseksual. Ketika dilarang untuk melakukan keji dan menjijikkan itu, mereka pun menolak ajakan mulia itu, dan tetap melakukan perbuatan hina. Apa yang dialami oleh Nabi Ibrahim juga tidak kalah dahsyatnya, dimana kaumnya tetap menyembah berhala dan ingin membunuh Nabi Ibrahim karena menyerukan untuk menyembah hanya kepada Allah saja.
Kekacauan Tanpa Aturan
Ketika datang aturan dari Sang Maha Pencipta didasarkan pada keinginan untuk memperbaiki kehidupan manusia. Namun dalam kenyataannya, manusia menolak dan mengusulkan aturan yang didasarkan pada keinginan dan hawa nafsunya. Ketika menolak aturan itu, maka Allah pun mengancam balik untuk menahan aturan-Nya, dan membiarkan manusia untuk menjalankan aturan yang didasarkan pada keinginan jangka pendek. Padahal keinginan yang didasarkan pada kepentingan jangka pendek sepintas kelihatan baik, tetapi substansi sangat buruk.
Mereka menolak apa yang disampaikan utusan-Nya, seolah-olah mereka tidak mengenalnya. Padahal mereka mengenal dengan baik siapa rasul itu. Mereka mengenal sejak kecil dan mengetahui dengan rinci kehidupan pribadinya. Oleh karenanya, Allah pun mempertanyakan apakah mereka tidak mengenal utusan-Nya. Padahal mereka menngenalnya sejak awal, mulai dari keluarganya, karakter dan sifat-sifatnya. Sehingga Al-Qur’an heran ketika menolak apa yang disampaikan oleh nabinya. Hal ini ditegaskan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :
قُل لَّوۡ شَآءَ ٱللَّهُ مَا تَلَوۡتُهُۥ عَلَيۡكُمۡ وَلَآ أَدۡرَىٰكُم بِهِۦ ۖ فَقَدۡ لَبِثۡتُ فِيكُمۡ عُمُرٗا مِّن قَبۡلِهِۦٓ ۚ أَفَلَا تَعۡقِلُونَ
Katakanlah, “Jikalau Allah menghendaki, niscaya aku tidak membacakannya kepadamu dan Allah tidak (pula) memberitahukannya kepadamu”. Sesungguhnya aku telah tinggal bersamamu beberapa lama sebelumnya . Maka apakah kamu tidak memikirkannya? (QS. Yūnus : 16)
Ketika menolak kebenaran dengan meminta kebenaran yang lain, maka Allah pun memerintahkan kepada rasul-Nya untuk menantang balik dengan mengancam akan menghentikan wahyu, atau tidak akan menurunkan aturan. Nabi pun diperintahkan untuk membiarkan mereka untuk hidup tanpa aturan yang datang dari langit.
Allah pun memastikan ketika hidup tanpa aturan, maka yang terjadi ada gejolak dan konflik berkembang di tengah masyarakat. Ilustrasi hal ini bisa dilihat di negeri ini, dimana rezim tidak menjalankan tugas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menegakkan keadilan. Alih-alih warga negara semakin cerdas, yang terjadi justru banyak banyak warga negara yang tidak bisa menikmati pendidikan yang terjangkau.
Demikian juga terjadi disparitas keadilan yang semakin mengangah. Warga negara minoritas menjadi pengendali dan menguasai sumberdaya alam secara melimpah. Hal inilah membuat ketimpangan antara warga miskin dan kaya semakin terpampang. Belum lagi penyimpangan aspirasi politik, sehingga terjadi berbagai ketimpangan sosial-ekonomi-hukum di tengah masyarakat.
Itulah potret negeri yang memiliki aturan namun tidak dijalankan oleh rezim. Mereka secara terselubung, menolak aturan yang ada dengan menjalankan aturan yang didasarkan pada keinginan dan syahwat politiknya. Hal inilah yang menimbulkan gejolak dan konflik hingga demonstrasi dari warga masyarakat karena telah terjadi ketimpangan sosial. Hal ini berakar dari elite negeri ini, dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat, yang membiarkan praktek kedzaliman. Alih-alih melakukan kontrol terhadap rezim, para wakil rakyat itu justru menjadi bagian dari rezim dan membiarkannya menjalankan agendanya. Inilah praktek bernegara yang mengabaikan konstitusi sehingga melahirkan berbagai ketimpangan ekonomi, politik, dan hukum di masyarakat.
[Dr. Slamet Muliono Redjosari; Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat]