Al-Qur’an banyak mendorong kaum muslimin untuk mempergunakan akal guna merenungkan berbagai kenyataan dan realitas. Akal dimanfaatkan untuk mengelskporasi berbagai kejadian dalam rangka mengagungkan Sang Pencipta dan Pemelihara alam semesta. Semua itu berujung untuk menyembah dan melakukan peribadatan hanya kepada Allah semata. Namun dalam prakteknya, akal justru melakukan perbuatan cabul dan melacurkan diri sehingga mendorong tersebarnya berbagai penyimpangan dan kemasiatan di muka bumi ini,.
Akal dan Ketuhanan
Allah menganugerahkan akal untuk menunjukkan cara berpikir logis. Dengan berpikir logis, maka akan mengantarkan dirinya menjadi factor ketundukan manusia terhadap perintah Tuhannya. Logika sebagai landasan utama dalam berpikir, harus bersifat logis. Artinya berdasarkan penalaran yang logis itu melahirkan argumen yang kuat, sehingga menjadi dasar memutuskan perkara.
Prinsip ini membantu memastikan bahwa ide-ide yang disampaikan dapat dipahami dengan jelas dan terstruktur. Dengan akal, maka manusia berusaha menghindari kontradiksi dan membangun argumen yang solid dan koheren, dan hal ini mengantarkan manusia mengagungkan kebesara Allah. Terdapat beberapa ayat yang mengandung ajakan untuk menggunakan akal dan penalaran logis. Salah satu ayat yang sering dikaitkan dengan pentingnya berpikir logis.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal yang berlayar di laut membawa apa yang bermanfaat bagi manusia, air yang Allah turunkan dari langit, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi setelah mati (kering), dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS. Al-Baqarah :164)
“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia, dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (QS. Al-Ankabut : 43)
“Dan tidaklah seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak menggunakan akalnya.” (QS. Yunus : 100)
“Dan mereka berkata: ‘Sekiranya kami mendengarkan atau menggunakan akal kami, niscaya kami tidak termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” QS Al-Mulk : 10)
Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa peraan akal akan mengantarkan manusia untuk memahami segala realitas dan fenomena yang tidak datang dengan sendirinya, tetapi karena campur tangan Sang Maha Kuasa. Dengan menggunakan kal, maka manusia merendahkan diri di hadapan Sang Pencipta namun perilakunya sangat agung. Namun sebaliknya ketika akal mengalami disfungsi sehingga berani berbuat cabul dan melacurkan diri.
Apa yang terjadi di Palestina merupakan contoh kongkret bagaimana akal-akal manusia banyak berbuat cabul dan melacurkan diri. pembantaian (cleansing) terhadap rakyat Palestina mengalami pembiaran dari negara-negara besar. mereka tidak menghentikan praktek pembunuhan orang-orang tak berdosa. Anak-anak, wanita, dan orang-orang tua mengalami pemusnahan, rumah-rumah dan fasilitas umum dihancurkan, pasokan air dirusak, bantuan kemanusiaan dihentikan.
Secara akal, fenomena di atas tidak bisa diterima. Tetapi karena akal berbuat cabul dan melacurkan diri, sehingga membiarkan dan bahkan menopang terjadinya bencana kemanusiaan melanda saudara-saudara Palestina. Israel sebagai pelaku kejahatan dan semua warga dunia menyaksikannya, tidak dihentikan oleh negara-negara yang memiliki kekuatan. Bahkan tidak sedikit, negara-negara adidaya justru mensupport Israel untuk terus menerus mendukung Benyamin Netanyahu melakukan pembantaian paling biadab sepanjang perjalanan Sejarah manusia di muka bumi ini.
Pelacuran Akal
Ketika akal mengalami disfungsi, hakekatnya telah melacurkan diri. Ketika berhadapan dengan godaan kenikmatan dunia, seperti kekuasaan, jabatan dan wanita, maka akal tidak mampu menjadi rem. Alih-alih menghentikan, akal justru menjadi penopang terjadi berbagai pelanggaran dan kemaksiatan. Pelanggaran dan kemaksiatan politik-ekonomi justru semakin massif dan tak terbendung.
Perselingkuhan politik yang tidak mengindahkan etika bernegara, kejahatan ekonomi seperti praktek korupsi-suap yang terstruktur, sistematis, dan massif. Semua ini terjadi karena akal yang waras sudah mengalami disfungsi, berbuat cabul dan melacurkan diri untuk membenarkan praktek penyimpangan secara terang-terangan.
Dalam mengelola negara, tidak lagi mengedepankan akal dengan menyeleksi elite negara yang berkompeten dengan mengedepankan etikabilitas dan intelektualitas. Mereka mengedepankan elektabilitas yang ditopang oleh lembaga survei bayaran. Ketika elektabilitas dikedepankan, maka yang terjadi adalah penyingkiran warga negara yang memiliki moralitas dan intelektualitas yang bagus. Kondisi inilah yang membuat kita dipimpin oleh mereka yang popoler namun etika-moral dan intelektualitasnya sangat rendah.
Ketika akal sudah mengalami disfungsi maka hawa nafsu akan menjadi pertimbangan utama. Al-Qur’an telah menyinggung fenomena ini, ketika manusia lebih memilih kesenangan duniawi dan mengabaikan akal. Sebagaimana yang termaktib dalam Al-Qur’an :
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya, dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat)? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. Al-Jatsiyah : 23)
Dengan demikian, orang yang lebih mengutamakan hawa nafsu dan kenikmatan duniawi akan kehilangan kemampuan untuk berpikir jernih, dan akalnya tumpul. Ketika akal tumpul karena telah melakukan perbuatan cabul dan melacurkan diri, maka hawa nafsu menjadi tolok ukur kebahagiaan. Inilah tanda-tanca kehancuran suatu peradaban.
Dr. Slamet Mulionoi Redjosari, Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsfata
Surabaya, 16 Oktober 2024