Bulan suci Ramadhan telah berlalu, masihkah terdapat “atsar” pada diri kita, masihkah tetap semangat ramadhan melekat pada diri kita, masihkan kita selalu membiasakan tadarus, berjama’ah shalat, qiyamul lail. Pertanyaan-pertanyaan ini harusnya selalu menjadi muhasabah pada diri setiap muslim yang memiliki kepribadian dan maqam taqwa. Pertanyaan baru yang juga muncul sebagaimana dijelaskan dalam kitab suci al-Qur’an surat al-Ma’un, apakah kita masih tetap berfokus pada kesalehan individual atau selalu bersinergi dengan kesalehan sosial. Dalam surat al-Ma’un tersebut disebutkan bahwa terdapat orang yang mengaku beragama tetapi dikatakan sebagai pendusta agama. Siapakah mereka yaitu orang-orang yang yang mengedepankan ego individualnya sehingga muncul sifat yang acuh tak acuh terhadap anak yatim, dan tidak memiliki empati untuk berbagi kepada orang yang membutuhkan, bahkan ayat tersebut dilanjutkan dengan memberikan kabar duka kepada orang-orang yang sholat, yang sholatnya hanya berfokus kepada kesalehan individual dan meninggalkan kesalehan sosial, sehingga mereka lalai dalam menjalankannya, bahkan memiliki sifat riya (pamer) kepada orang lain.
Pemilu telah selesai, MK (mahkamah konstitusi) juga telah memutuskan sengketa hasil pemilu, apakah tetap kita mengedepankan ego individual yang materialistik dengan meninggalkan kesalehan sosial. Pertanyaan ini harusnya sebagai cambuk untuk diri yang mengaku sebagai seorang muslim. Seorang muslim yang memiliki jiwa kesalehan sosial pasti memiliki cara pandang jauh kedepan, cara pandang untuk kepentingan yang lebih besar sebagaimana Islam yang merupakan Rahmatal Lil Alamin. Kita juga seharusnya memiliki jiwa untuk memandang umat dengan penuh kasih sayang, oleh karena itu maka sudah seharusnya kesalehan sosial ini menjadi role model bagi setiap muslim khususnya semua stake halder di UINSA, yang memiliki visi dan misi jauh kedepan, menjadi universitas unggul bertaraf internasional.
Kesalehan sosial ini penting untuk selalu dikembangkan sehingga kita menjadi pribadi sebagaimana yang di sabdakan Nabi yaitu sebaik-baik manusia adalah orang dapat memberikan manfaat kepada orang lain. Sabda nabi tersebut sangat singkat tetapi sungguh memiliki makna dan mendalam, yang meliputi ruang gerak dan waktu. Sarjana, Magister dan Doktor yang akan mengikuti wisuda seharusnya memiliki pijakan kokoh dan mantap sehingga dalam pengabdiannya nanti di masyarakat harus bisa mencerdaskan umat, mencerahkan dan memiliki leadership untuk bisa tampil kedepan menjadi generasi yang saleh individual, kesalehan sosial serta memiliki kecerdasan intelektual dan kecerdasan intuisi, semoga, amin.
[H. Budi Ichwayudi; Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat]