Column
Oleh: Dr. H. Abu Dzarrin al-Hamidy, M.Ag.

ومن لم يمت بالسيفِ مات بغيره #  تعدّدت الأسباب والموت واحد

“Siapa yang mati bukan karena terbunuh dengan pedang maka ajalnya pasti berakhir dengan sebab lain # Ketahuilah sebab musabab kematian itu sangat bervariasi namun kematian itu satu, yaitu pasti.”

Di sela waktu perjalanan pulang dari takziyah (Alm) Dinda KH M Yasin, Lc PP al-Fath Jalen Bekasi Timur Jakarta menuju Bangkalan Madura (Jum’at 20 Juni 2025), Saya temukan syair di atas yang merupakan gubahan Ibnu Nubatah al-Sa’di (938-1015 M). Syair di atas sungguh sangat dalam maknanya. Umumnya orang berpendapat, bahwa dengan menerapkan pola hidup sehat seseorang akan mendapatkan garansi kesehatan yang menyebabkan dia akan berumur panjang;

Namun berbeda dengan fakta sosial yang menyebutkan seseorang dengan perilaku hidup yang kurang sehat toh panjang juga usianya. Begitu pula dalam fakta paradoksnya, ada seseorang dengan perilaku hidup sehat tetapi dia meninggal di usianya yang masih muda. Kadang 2 fakta di atas menjadikan sebagian orang pusing 7 keliling weleh-weleh…..

Namun ujung dari keduanya, dapat ditarik kesimpulan induktifnya–sama-sama mati. Itulah mengapa ajakan Rasulullah saw kepada para sahabatnya untuk berperang dengan mempertaruhkan nyawa bak gayung bersambut. Figur Sang Nabi saw tentu tidak perlu dipertanyakan lagi, merupakan garansi setiap sahabat untuk berani maju di medan peperangan dengan segala resiko meninggalkan keluarganya, bahkan nyawanya sekalipun. Juga esensi syair di atas selaras dengan logika yang dibangun Rasulullah saw, bahwa walaupun terlibat dalam peperangan sehebat apapun, seorang pejuang masih tetap hidup karena memang belum waktunya mati.

Demikian pula peristiwa hari pahlawan 10 November 1945, di mana ide “resolusi jihad” yang digagas Hadratusyekh K.H. Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang, pendiri Nahdlatul Ulama, mampu menggerakkan “arek-arek Suroboyo” dan masyarakat dalam radius 90 km, juga para kiai dari seluruh penjuru nusantara berbondong-bondong menuju titik medan peperangan di Surabaya dalam rangka menghalau penjajah dan mempertahankan kemerdekaan yang baru diraih. Para santri dan masyarakat tergerak dan tak gentar untuk membela tanah airnya dari upaya kolonial tersebut. Mereka meyakini urusan hidup dan mati adalah hak perogatif Tuhan. Peperangan bukan satu-satunya penyebab kematian. Kalaupun mati telah mendapat jaminan “syahid.”

Ringkasnya, dalam sudut pandang teologi kematian, ajal dan jatah umur itu memang murni kehendakNya. Namun sebab-sebab kematian itu ruang bagi ikhtiar umat manusia untuk mengusahakan bukan sebaliknya, mengabaikan apalagi sampai menafikan.

Karena itu pendapat sebagian orang yang menyatakan, “Merokok mati, gak merokok mati juga, ya….merokok aja sekalian.” Ini sudah terjebak dalam paham fatalisme, sikap pasif yang berlebihan, dan abai terhadap logika kesehatan yang tentu saja harus dihindari. Tuhan telah menganugerahkan akal rasional yang begitu luar biasa untuk difungsikan, bahkan Nabi saw pun telah bersabda: “Al-dīn ‘aql(un) lā dīna li man lā ‘aqla lahu.” Agama itu basisnya rasional maka tidak ada tempat dalam beragama bagi yang mengabaikan rasionalnya.”

Monggo nyeruput kopi dan berolahraga….

Kereta Sembrani KAI, Jum’at 20 Juni 2025