Articles

Setiap tanggal 21 April, kita selalu merayakan hari Kartini sebagai metafora kebangkitan perempuan Indonesia. RA. Kartini merupakan sosok bangsawan yang mencoba keluar dari tradisi keraton yang dianggap membelenggu kebebasan perempuan. Kartini mendobrak tradisi tersebut, sehingga hari kelahiran Kartini dianggap sebagai hari kebangkitan perempuan. Perjuangan kartini banyak memberikan inspirasi pada kaum perempuan, termasuk gerakan gerakan feminisme di kalangan perempuan Indinesia.

Berkembangnya gerakan feminisme dewasa ini di berbagai negara termasuk Indonesia merupakan wujud dari perjuangan kaum feminis (yang disimbokan pada Kartini) untuk menghapus berbagai ketidak adilan dan penindasan terhadap perempuan baik kultural maupun struktural. Disamping itu, gerakan feminisme semakin berkembang setelah mendapatkan pendasaran epistemologis, ideologis maupun agama terhadap gerakan feminisme.

Secara epistemologis, rasionalitas berkembang sejak Rene Descartes yang mengedepankan rasio sebagai ukuran dari suatu tindakan dan kebenaran, sehingga justifikasi ini semakin memperkuat adanya peran subyektif manusia untuk semakin melakukan penguasaan terhadap obyek. Pengaruh filsafat modern Descartes semakin terasa pada positivisme sebagai puncaknya yang semakin membenarkan tindakan penguasaan terhadap alam dan manusia melalui sebuah rekayasa teknologi.

Disamping itu, terdapat juga peran ideologi kapitalisme yang menghegemoni dunia saat ini dengan suatu prinsip dengan jalan apapun yang penting menguntungkan, sehingga eksploitasi alam, manusia bahkan wanita menjadi komoditas kaum kapitalis. Pertemuan ideologi kapitalisme dan rasionalisme semakin memberikan justifikasi terhadap penindasan terhadap alam dan manusia termasuk di dalamnya adalah perempuan.

Ideologi kapitalisme secara perlahan namun pasti turut terlibat di dalam proses pembenaran penindasan terhadap perempuan. Betty Friedan  penulis buku ”The Feminisme Mystique” mengatakan bahwa sebagai konsekuensi logis dari tidak adanya pengakuan terhadap peran-peran perempuan menyebabkan perempuan sering menghabiskan waktunya untuk berbelanja, mempercantik diri dan memuaskan nafsu seksual suaminya saja. Hal ini semakin diperkokoh dengan semangat kapitalisme yang menawarkan konsumerisme, eksploitasi kecantikan melalui kontes kecantikan dunia membuat para perempuan mendapatkan pendasaran rasionalitas akan perlunya  keindahan tubuh dan hal-hal lain yang berhubungan dengan kecantikan. Disinilah pertanyaan yang mendasar adalah apakah kecantikan itu mitos ataukah metafor ? apakah Kecantikan merupakan persoalan utama bagi Perempuan ? Bagaimana pandangan filosofis dan religius terhadap kecantikan tersebut ?

Sejarah Rasio Seks

Sesungguhnya sejak Era Yunani kuno persoalan Seks sudah muncul ketika Phytagoras mempertentangkan antara  laki-laki dengan perempuan. Laki-laki dianggap sebagai hal yang lurus dengan satu, istirahat. Lurus, cahaya dan baik, sedangkan perempuan itu lurus dengan banyak, gerak, melengkung, gelap dan jahat. Citra rasio sebagai laki-laki berlangsung lama sampai abad modern, sehingga para filosof pun cenderung bias gender dan seksis. Secara epistemologis, citra rasio sebagai laki-laki belakangan banyak dikritik oleh kalangan feminisme karena feminisme ingin membebaskan kaum perempuan dari ketidak adilan dan diskriminasi struktural dan pengetahuan.

Dikalangan akademisi, gerakan feminis muncul sebagai kritik terhadap agenda filsafat ilmu pengetahuan modern  yang dipelopori oleh Descartes yang dianggapnya masih bias gender. Kritikan kaum feminis tersebut didasarkan  adanya perkembangan yang merata dalam riset-riset yang masih mengandung bias sexist dan androsentris dalam mendiskripsikan kehidupan alam dan sosial. Kaum feminis ingin menunjukkan bahwa ada kepentingan politik dibalik riset-riset dan pengetahuan (Bacon : Knowledge is Power; Foucault : ada relasi pengetahuan dengan kepentingan).

Kecantikan antara Mitos dan Metafor

Mitos merupakan seperangkat nilai, ajaran yang telah melembaga dan menyejarah dalam suatu kehidupan masyarakat dan diyakini kebenarannya tanpa harus dibuktikan secara ilmiah, sedangkan metafor merpakan pemakaian citra, lambang, kiasan, tanda dan contoh-contoh alegoris (I’tibar, amsal). Metafor sebagai kiasan yang indah disepakati telah memberikan kontribusi bagi bentuk isi dan argumentasi filosofis, Metafor dalam hal ini lebih menunjukkan latar belakang historis dari  suatu hal.

Kecantikan yang telah diidam-idamkan oleh seorang perempuan di dunia ini semakin diutamakan oleh kaum perempuan semenjak ideologi kapitalis merasionalkan keindahan tubuh  sebagai citra dan mitos dari kecantikan. Kecantikan seorang perempuan secara teologis-anthropologis merupakan mitos kesuburan dewi Sri, mitos keperawanan bunda Maria bahkan mitos ketuhanan masyarakat India. Mitos kecantikan justru telah menjadikan Qobil membunuh habil, sehingga kecantikan menjadikan kita sekarang ini keturunan Qobil seorang penjahat.

Rasionalitas kecantikan dijadikan sebagai komoditas kapitalisme untuk menghasilkan keuntungan. Disamping itu, rasionalitas kecantikan menjadikan kaum perempuan menjadi budak iklan, budak laki-laki bhakan kejahatan itu muncul karena adanya mitos kecantikan itu sendiri. Adanya mitos kecantikan ini tidak salah bila kaum pria selalu menuntut adanya keperawanan, karena keperawanan merupakan mitos kecantikan. Oleh karena itu, bagaimana kita bisa keluar dari jebakan kecantikan semu ala kapitalisme.

Kecantikan sesunguhnya merupakan metafor dari keindahan dan keserasian bahkan kesucian hati (inner beauty), bukan sebagai keindahan tubuh ansich, sebab keindahan tubuh  tidak lebih dari sekedar tipuan persepsi dan pikiran rasio kita. Kecantikan selalu diidentikkan dengan keperawanan, sekalipun keperawanan merupakan pra syarat utama bagi mayoritas laki-laki dalam mengadakan perkawinan. Sesungguhnya, kecantikan bahkan keperwanan sendiri  dalam Islam bukanlah keperwanan anatomis maupun biologis, justru keperawanan moral yang lebih diutamakan, sebagaimana pandangan al-ghazali yang dikutip Munawar ahmad Anees dalam buku ”Islam dan masa depan Biologis umat manusia”.

Keperawanan anatomis dan biologis justru telah bisa dilakukan melalui operasi plastik, bahkan banyak orang laki-laki justru tertipu oleh mitos keperawanan, tetapi jika keperawanan moral, maka justru kita akan terselamatkan dari mitos-mitos seperti itu. Oleh karena itu, sesungguhnya kecantikan itu tidak lebih dari sekedar metafor bagi keindahan, kesucian dan keperawanan moral. Islam sendiri lebih menghargai orang yang ”tidak cantik” yang berhati mulia, suci daripada ”cantik” tapi  tidak suci. Bahkan orang yang mengawini janda itu pahalanya lebih tinggi daripada perawan, Ini menunjukkan bahwa Islam tidak semata-mata mengutamakan aspek tubuh, tapi justru aspek nilai dan batin yang lebih diutamakan.

Kecantikan tubuh kaum perempuan sesungguhnya lebih dekat pada metafor dari pada mitos, sebab kecantikan tubuh tidak lebih sekedar komoditas kaum kapitalis untuk mengeksploitasi keindahan tubuh perempuan. Metafor kecantikan merupakan aspek hakiki dari seorang wanita adalah kesucian, kemuliaan, akhlak mulia dan keperwanan moral. Metafor kecantikan seperti inilah yang bisa membawa keluar kaum perempuan dari belenggu mitos kecantikan yang membawa pada penindasan dan ketertindasan. Wallahu a’lam  

[Suhermanto Ja’far, Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel]