Oleh: Nasaruddin Idris Jauhar
Suatu hari, dulu sekali, saat di rumah masih ada TV, saya pernah melihat iklan layanan masyarakat tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Mengambil setting dalam kelas sebuah Sekolah Dasar, iklan tersebut menampilkan seorang ibu guru yang tengah menjelaskan kata-kata disertai dengan visualisasi gambar.
Di meja deretan paling depan, seorang siswi duduk memperhatikan gurunya dengan sangat fokus. Ketika Sang Ibu Guru menampilkan kata “ibu” disertai gambar seorang perempuan, wajahnya langsung berubah berbinar, senyum di bibir kecilnya mengembang. Ada rasa dan kenangan bahagia yang dibawa kata tersebut kedalam dirinya, hadir mengisi memori, hati, dan perasaannya.
Sejurus kemudian, Ibu Gurunya menampilkan kata “Bapak” disertai gambar seorang laki-laki. Wajahnya tiba-tiba berubah ketakutan, senyum yang tadi menghiasi bibirnya mendadak sirna. Jari-jari mungilnya meremas kuat-kuat lembaran kertas di hadapannya sampai berbentuk seperti bola kecil yang kusut. Tampak ada semacam trauma dan dendam yang mendalam yang hadir bersama kata tersebut, mengisi relung hati dan ingatannya.
Iklan itu begitu membekas dalam ingatan saya. Dengan mudah saya menangkap pesan di baliknya. Bahwa KDRT adalah mimpi buruk buat anak-anak. Kekerasan dalam rumah, terutama oleh seorang suami terhadap istri, akan menyisakan trauma psikologis yang mendalam buat anak-anak mereka. Trauma itu pada gilirannya akan mematrikan dendam abadi si anak terhadap ayahnya.
Tapi, walaupun begitu, saya merasa iklan ini juga bisa dibilang berlebihan. Benarkah sehebat itu dampak psikologis KDRT dalam diri seorang anak? Seburuk-buruknya seorang ayah, pasti pernah menunjukkan kasih sayangnya kepada anaknya. Tak bisakah kenangan baik seorang ayah hadir dalam benak seorang anak dan mengimbangi memori buruk tentangnya?
Begitulah, untuk waktu yang lama, saya menyimpan kemusykilan atas kebenaran pesan iklan tersebut. Sampai kemudian seorang teman bercerita tentang pengalamnnya menguji skripsi seorang mahasiswi korban KDRT. Di persembahan skripsinya, ia hanya menulis nama ibunya. Teman saya itu heran, dan bertanya kenapa nama ayahnya tidak ditulis. Si Mahasiswi menjawab dengan isak tangis pilu. Teman saya dan penguji lainnya menjadi bingung. Forum ujian skripsi itu kemudian menjadi ajang curhat mahasiswi malang tersebut.
Ia cerita, ayahnya kerap melakukan kekerasan fisik terhadap ibunya. Bahkan, suatu kali, dan ini yang paling traumatis buatnya, ayahnya memukul ibunya dengan alat masak yang berisi air. Ia menyaksikan kebengisan ayahnya dan ketidakberdayaan ibunya tersebut dengan mata kepalanya. “Sampai kapan pun saya tidak bisa menerima itu,” ucapnya dengan isak pilu yang tak tertahankan.
Trauma atas berbagai aksi KDRT ayahnya, ia kemudian tidak hanya membenci ayahnya, tapi juga menganggap semua lelaki juga memiliki potensi yang sama. Teman saya dan para penguji serentak mengoreksi sikapnya itu. “Loh, jangan begitu. Tidak semua lelaki jahat. Kami semua disini, yang mengujimu ini, tidak seperti ayahmu itu,” salah satu penguji coba menyadarkan dia. “Iya, karena bapak-bapak berpendidikan,” timpalnya. Ternyata, Ia menganggap ayahnya yang kebetulan seorang sopir itu tidak berpendidikan.
Sadarlah saya, ternyata iklan yang saya tonton di TV tadi tidak mengada-ada. Bahwa KDRT memang tidak hanya menjadi mimpi buruk buat istri, tapi juga untuk anak-anaknya. Untuk anak usia SD, mungkin mimpi buruk itu hanya melahirkan rasa takut dan tertekan yang membuat dia terus berusaha menghindar dari ayahnya. Tapi, seiring berkembangnya usia, ia akan menjelma dalam berbagai bentuk pikiran dan sikap negatif. Seluruh hidupnya tak akan menyisakan respek untuk ayahnya. Mungkin, kelak ketika siswi SD tadi menjadi mahasiswi, ia juga tidak akan menulis nama ayahnya dalam persembahan skripsinya. Juga mungkin, ketika kelak ia menikah, ia tak akan mau diakadkan oleh ayahnya.
Mushiibatu qaumin fawaaid. Derita seseorang adalah pengalaman bagi yang lainnya. Iklan dan cerita tentang mahasiswi tadi adalah pelajaran buat kita, para ayah dan ibu, atau para calon ayah dan ibu, untuk membangun rumah tangga yang nyaman bagi anak-anak, tempat dimana mereka menyaksikan dan belajar tentang kasih sayang, dan bukan laboratorium kekerasan.
Wallahu A’lam.
Maswet, 31/01/2020.