Column

JANGAN PERNAH LELAH HATI

Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag., Grad.Dip.SEA., M.Phil., Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

“Wah, nggak ada ombak!” teriak seorang lelaki. Berambut gimbal. Berwarna kulit cenderung gelap. Dia hanya memakai celana pantai. Selutut. Tak ada pakaian atasan yang dikenakan. Telanjang dada. Dia teriakkan kalimat itu sambil berlarian dari arah trotoar. Menuju ke bibir pantai. Paling bawah. Persis di titik tempat berkumpulnya para pelatih. Di sekelilingnya ada sejumlah orang. Ada yang lokal. Ada pula yang asing. Mereka mengantre. Untuk berlatih berselancar. Di kanan kiri mereka ada sejumlah papan selancar. Terhampar dan siap digunakan untuk latihan.

Kudengar jernih apa yang diteriakkan lelaki itu. Kulihat jelas apa yang dia lakukan bersama orang-orang di sekelilingnya. Karena posisiku sangat dekat dengan lelaki yang berprofesi sebagai pelatih selancar itu. Lelaki itu meneriakkan kalimat di atas untuk menyebut tantangan latihan berselancar. Tampak bahwa lancar-tidaknya berselancar bergantung juga pada tingginya ombak. Atau, bergantung pada kuatnya tekanan ombak. Selain mungkin ada faktor lainnya. Semakin kuat atau tinggi ombak berarti berselancar akan makin apik. Makin menantang. Semakin melemah ombak, berselancar juga makin kurang tenaga. Latihan berselencar pun jadi terdampak.

Kudapati kenyataan itu saat berlibur di Pantai Kuta, Bali. Persis pada momen libur panjang 8-11 Februari 2024. Kusaksikan langsung kejadian lelaki meneriakkan kalimat di atas pada Hari Sabtu, tanggal 10 Februari 2024. Kala itu, aku bersama anak-isteriku sedang memikmati indahnya pantai yang sangat terkenal itu. Di sebuah pagi. Sehabis menikmati sarapan di Hotel Mercure Kuta, tempat kami menginap. Kala itu, kami duduk di deretan kursi di bawah tenda tempat penjual makanan ringan dan minuman memajang dagangannya. Kami pesan kelapa ijo utuh. Dikupas dan lalu diseruput juga di tempat itu juga. Sambil menghadap ke arah pantai lepas yang ramai oleh para peselancar itu.

Foto:  Foto Pantai Kuta Bali dengan Layanan Kelapa Ijo yang Diperjualbelikan

Anak-istriku menikmati indahnya pantai sambil membeli beragam souvenir. Para penjual menjajakan bermacam-macam souvernir itu dengan lincahnya. Mendekati semua pengunjung pantai. Hingga anak-isteriku juga harus merasa perlu membelinya. Di sela-sela menyeruput kelapa ijo. Sedangkan aku? Tidak. Beda. Aku lebih tertarik menyaksikan para penikmat pantai itu berlatih berselancar. Satu persatu ku lihat. Ku amati bagaimana mereka satu persatu berlatih. Ku telaah bagaimana para lelaki lokal Bali melatih para tamu untuk berlatih berselancar. Ada yang sudah dua kali berlatih. Dan aku pun juga melihat ada sejumlah orang yang baru belajar. Dari fisiknya, aku juga bisa kenali mereka. Ada wanita dari Jepang. Ada juga yang dari Korea. Bahkan dari bahasanya, ada juga sepasang laki-perempuan yang teridentifikasi berasal dari Jerman.

Hempasan ombak semakin membuatku tertarik melakukan pengamatan. Satu-persatu mereka yang berlatih berselancar kala itu bergerak menengah. Bersama papan selancar di dekatnya. Di depannya ada pelatih yang mengarahkannya. Kapan bersiap-siap mengikuti gerakan ombak. Kapan hanya melewati ombak tanpa harus bergerak maju. Dan kapan pula mereka memulai aksi berselancar di tengah hempasan ombak yang melaju. Saat ombak tak terlalu kuat, pelatih menginstruksikan ke pembelajar selancar untuk bertahan di tengah. Dan karena itu, tak ada satu pun dari mereka yang memulai aksi selancarnya.

Saat ombak mulai tampak membesar, pelatih terlihat menginstruksikan ke anak latihnya untuk siap-siap berada di atas papan selancar. Dengan cara tengkurap. Mulai berselancar mengikuti kuatnya gerak ombak. Lalu dalam hitungan detik berikutnya, pelatih memerintahkan ke anak latihnya untuk segera berdiri di atas papan selancarnya sambil melajau bersama ombak. Mata peserta latihan itu diminta untuk tetap menatap ke depan. Agar konsentrasi terjaga. Melalui tatapan ke arah depan. Kaki peserta latihan juga diperintahkan untuk tidak dibuka terlalu lebar. Dengan kekuatan tumpuan pada paha, lutut dan bagian betis. Itu semua dibutuhkan untuk menjaga kekuatan tumpuan pada papan selancar.

Tidak saja seni berselancar yang menarik dicermati. Cara pelatih selancar dalam memperlakukan peserta dan mendampinginya selama latihan, dalam pandanganku, penting juga ditelaah serinci mungkin. Telaah ini, lebih-lebih, patut menjadi pelajaran bagi para pemimpin organisasi dalam jenis dan level apapun. Termasuk bagi pemimpin perguruan tinggi. Apapun status kepemilikannya. Milik pemerintah atau masyaraat. Karena tugas pemimpin perguruan tinggi tidak saja berkaitan dengan otoritas pengembangan akademik. Melainkan juga manajerial sumber daya manusia hingga anggaran.  Ku merasa para pemimpin perguruan tinggi harus belajar banyak dari inspirasi latihan dan kegiatan berselancar di atas.

Pelajaran umumnya begini: para pemimpin lembaga manapun, termasuk kampus sekalipun, jangan pernah lari dari ombak. Bentuknya bisa tantangan dan bisa pula rintangan. Karena bisa saja tantangan dan atau rintangan menjadi awal keberkahan untuk lahirnya kemuliaan. Seperti dalam kasus selancar di Pantai Kuta di atas, bagaimanapun, suka atau tidak, ombak adalah kata kunci dari praktik berselancar. Dan aktivitas berselancar yang kuamati di Pantai Kuta mengajarkan bahwa jika saja tenang, maka Pantai Kuta tak lagi menarik. Ia akan kehilangan ‘jati diri’-nya sebagai pantai yang bagus untuk selancar.

Maka, pemimpin institusi dan organisasi manapun jangan pernah berharap tak ada ombak. Bermimpi steril ombak. Bahkan, harus diyakini dari dini, bahwa ombak adalah bagian dari kepemimpinan itu sendiri. Maka, jangan pernah lari dari ombak. Jangan pernah menghindar dari tantangan dan rintangan. Para peselencar mengajarkan justeru ombak itu harus dikelola dengan baik. Menghindari membuat berselancar tak akan memiliki daya tarik yang kuat. Bahkan akan kehilangan ruhnya. Meskipun datang dengan daya terjang yang tinggi nan kuat, saat dikelola dengan baik justeru ombak membuat selancar semakin menemukan nilai keasyikannya tersendiri.

Lalu apa yang harus dilakukan pada ombak? Kiranya para pemimpin organisasi, termasuk kampus, penting belajar dari para peselancar. Di Pantai Kuta itu, seperti juga mungkin di pantai-pantai lainnya, kulihat para peselancar itu tidak melawan ombak. Lalu apa yang harus dilakkan? Ku amati dengan jelas bahwa para lelaki pelatih selancar selalu memberi instruksi kepada anak latihnya untuk mengikuti gerak hempasan dan terjangan ombak. Bahkan, mereka tampak diarahkan untuk mengatasi gerak ombak. Dengan begitu, posisi mereka tak pernah terhempas oleh ombak. Melainkan selalu berada bersama gerak ombak itu. Lalu, amanlah mereka selama berselancar itu.

Bahkan, lebih ekstrem lagi, para peselancar itu juteru merasa sengat bersemangat saat gerak gelombang ombak tinggi dan membesar. Para peselancar itu justeru tampak memanfaatkan tinggi dan kuatnya gerak gelombang ombak itu untuk memperkuat gerak selancar papan yang ditumpanginya. Bahkan, mereka menjadikan tekanan kuat ombak itu untuk mempercepat sampainya aksi berselancarnya ke ujung pantai dengan asyeknya. Semakin kuat ombak, semakin kuat pergerakan selancar mereka menuju bibir pantai dengan nikmatnya. Semakin besar gelombak ombak, semakin seru pula berselancar mereka hingga cepat juga sampai ke bibir pantai dengan senangnya.

Praktik berselancar di atas memberi pelajaran penting bahwa pemimpin institusi jangan bermimpi tanpa tantangan selama menjalankan tugas kepemimpinan. Pemimpin tak seharusnya berangan-angan tanpa masalah selama melaksanakan tugas yang diemban. Tapi juga jangan menghindar atas tantangan dan masalah. Responlah tantangan dan masalah dengan mengelolanya secara apik. Persis seperti para peselancar di atas. Alih-alih menghindar atau melawan, manfaatkanlah tantangan dan masalah sebagai ajang untuk konsolidasi organisasi. Bahkan, pemimpin yang baik mampu mengelola tantangan dan masalah yang muncul sebagai sarana untuk melakukan percepatan kerja dan kinerja lembaga. Persis seperti para peselancar yang justeru memanfaatkan kuatnya ombak untuk membuat aksi berselancarnya makin seru hingga cepat juga sampai ke bibir Pantai dengan penuh bahagia.

Sejumlah pelajaran khusus juga bisa lahir sebagai turunan dari pelajaran umum di atas. Sifatnya lebih teknis, dan cenderung lebih detil.  Pelajaran khusus ini penting menjadi inspirasi bagi pemimpin jenis dan level apapun. Termasuk pemimpin perguruan tinggi. Karena, banyak hal yang bisa dipelajari dari latihan berselancar oleh para pelatih dan praktik latihan berselancar itu sendiri di Pantai Kuta di atas. Sejumlah pelajaran teknis itu bisa diturunkan sebagaimana uraian di bagian bawah.

Pelajaran pertama, pemimpin perguruan tinggi harus hadir pada setiap babakan dan bagian penting dari pelaksanaan layanan pendidikan yang dijalankan. Para pemimpin kampus penting belajar dari para pelatih selancar di atas. Mulai dari sebelum mengawali praktik terjun latihan berselancar, pelatih sudah memberikan bekal yang cukup kepada anak latihnya. Di arena pasir di pinggir pantai, pelatih tampak sudah memberikan pelajaran pertama tentang seni berselancar dengan tekunnya. Mulai dari bagaimana posisi tubuh saat berada di atas papan selancar di awal kegiatan selancar. Bahkan hingga saat anak latih sudah mulai harus berdiri, tampak pelatih mem-briefing agar kaki tumpuan diperkuat. Pandangan pun diarahkan ke depan.

 

Foto:  Foto Briefing Latihan Selancar di Bibir Pantai Kuta Bali

Bahkan, saat ombak tidak terlalu kuat, pelatih menginstruksikan agar anak latih tetap di tempat di tengah pantai dan hanya mengatasi hempasan ombak di tempat itu. Nah, saat ombak datang dengan gelombang dan pergerakan terjangan yang kuat, pelatih pun mendampingi anak latihnya untuk cepat-cepat dalam posisi dan keadaan siaga. Baik untuk memulai aksi berselancar maupun mengelola pegerakan selancar dengan memanfaatkan terpaan gelombang ombak. Kepentingannya tentu untuk percepatan pergerakan selancar. Begitu ombak datang mendekat dengan kekuatan cukup tinggi, pelatih pun berteriak: “Ayo berdiri!” Kalimat perintah ini diteriakkan agar anak latihnya segera mengambil posisi berdiri dari tengkurap di atas papan selancar sebagai tanda kesiapsiagaan.

Intinya, pelatih selalu membersamai dan atau mendampingi anak latihnya. Dalam situasi sesulit apapun. Begitu pula seharusnya pemimpin lembaga. Hadir melalui pendampingan yang baik kepada para pegawai di bawah kepemimpinannya. Terutama saat berada dalam situasi sulit. Atau tertekan. Jangan sampai sebaliknya terjadi. Saat sulit dan tertekan, pegawai dibiarkan mengalami sendiri. Pimpinan menjauh. Pura-pura tidak tahu. Atau bahkan sengaja tidak mau tahu. Karena situasi yang sedang dihadapi pegawai sulit. Namun, saat situasi baik dan bahkan berbalut kenikmatan, pimpinan berada di garda depan. Pegawai dibiarkan di belakang. Atau bahkan memang sengaja ditinggal. Para pelatih selancar mengajarkan, bukan pemimpin karakter seperti ini yang dibutuhkan. Melainkan pemimpin yang selalu hadir membersamai pegawainya.

Pelajaran kedua, pemimpin perguruan tinggi penting mendorong semua pagawai di bawah kepemimpinannya untuk mengalami proses yang ada di dalamnya secara langsung dan mandiri. Beri kesempatan semua pegawai untuk mengalami langsung masing-masing tugas kerja beserta proses yang terjadi di dalamnya. Dengan mengalami sendiri proses yang terjadi secara langsung, masing-masing mereka akan menjadikan pengalaman langsungnya sebagai modal untuk membangun kompetensinya berdasarkan pengalaman itu. Di sinilah, lagi-lagi kita diingatkan oleh kalimat hikmah yang berbunyi: pengalaman adalah guru terbaik. Pengalaman bisa mendewasakan kita. Dan pengalaman bisa mengajari kita kemuliaan.

Latihan dan praktik berselancar di Pantai Kuta Bali di atas mengajarkan bahwa pelatih selancar tak menghabiskan banyak waktu di tepi pantai untuk memberi briefing dasar kepada anak latih. Bagi para pemula sama sekali atas selancar, para pelatih memang mengajari teknik berselancar A sampai Z. Tapi, proses pembelajaran itu tak memakan waktu lama. Usai briefing dan pembelajaran singkat itu, para anak latih selancar langsung dibawa para pelatih untuk turun ke air pantai. Lalu secara pasti bergerak menengah. Hingga bertemu dengan tekanan ombak. Para pelatih itu memang terus membersamai, tapi mereka menggerakkan para anak latih untuk mengalami praktik selancar secara langsung. Mulai dari tengah hingga ke bibir pantai, lalu ke tengah kembali.

Bagi pelakunya, mengalami langsung sejatinya memberi wawasan tersendiri. Memunculkan pandangan konkret. Atas pekerjaan dan atau tugas yang diberikan. Karena itu, jangan sepelakan kesempatan. Jangan remehkan setiap tugas yang diamanahkan. Setiap kita yang bekerja di jenis pekerjaan apapun, melaksanakan tugas jabatan dan tanggung jawab pekerjaan adalah kesempatan emas. Ujungnya untuk meningkatkan kompetensi diri. Karena, sekali lagi, mengalami langsung membuat kita makin terampil. Akibat kecakapan yang timbul atasnya. Untuk itu, setiap pemimpin harus memberi kesempatan seluas-luasnya kepada mereka yang berada di bawah kepemimpinannya untuk terlibat dalam proses pelaksanaan tugasnya secara langsung. Begitulah para pelatih selancar mengajari anak latihnya. Dan pendampingan pun sangat dibutuhkan untuk memenangi hempasan ombak yang bisa bertubi-tubi datangnya.

Ombak adalah bagian dari kehidupan. Apalagi bagi pemimpin jempolan. Karakter pekerjaan mungkin saja berlainan. Antara satu dan lain kepemimpinan. Namun, tantangannya tetap saja dalam keserupaaan. Itu karena kepemimpinan adalah kemuliaan. Maka, semakin tinggi kepemimpinan, semakin besar potensi ombak yang berada di hadapan. Karena itu, tak pernah ada yang ringan pada kepemimpinan. Tanggung jawab yang semakin besar hampir bisa dipastikan. Tantangan pun juga sudah barang tentu terbentang. Ombak pun tak ketinggalan untuk pasti menghadang. Jangan pernah dibayangkan semua itu menghilang. Tak akan pernah terjadi walau hanya dalam angan yang membayang. Maka, semua harus disiapkan secara matang.

Lalu, pertanyaannya: mana yang Anda pilih, menjadi orang baik atau menjadi orang bermanfaat? Kepemimpinan idaman akan menempatkan pilihan ‘menjadi orang bermanfaat’ di atas pilihan ‘menjadi orang baik’. Karena pilihan menjadi orang baik itu lebih bersifat ke dalam. Untuk kepentingan dan kebaikan personal. Tapi pilihan menjadi orang bermanfaat itu lebih ke arah kebajikan umum. Tidak semua orang baik itu bermanfaat bagi sesama. Tapi orang yang bermanfaat bagi sesama pasti berawal dari orang baik. Maka, jangan pernah hindari ombak. Jangan pernah lelah hati karenanya. Jika semua itu dibutuhkan untuk kemaslahatan bersama. Kelolalah semua dengan seksama. Untuk lahirnya kinerja yang prima. Dan itulah esensi kepemimpinan utama.