Surabaya, (16//10) Pascasarjana Universitas Negeri Islam Sunan Ampel Surabaya (UINSA) mengadakan International Postgraduate Conference for Interdiciplinary Islamic Studies (IPCIS) untuk pertama kalinya pada 16-17 Oktober 2023. Dilaksanakan di Amphitheatre, TwinTower UINSA kegiatan ini mengusung tema ” The New Paradigm of Research on Interdisciplinary Islamic Studies”.
Keynote speaker yang hadir tak tanggung-tanggung, mereka ialah Prof. Dr. H. Nadirsyah Hosen, LL.M.,M.A. (Hons), Ph.D Monash University; Prof. Timothy Lindsey, Melbourne University; Prof. Akh. Muzakki, Ph.D, Rector of UIN Sunan Ampel Surabaya; Prof. Masdar Hilmy, Ph.D Director Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya; Prof. Dr. Amin Abdullah.M.A, Universitas Islam Internasional Indonesia; Prof. Dr. Ismail Fajrie Alatas, New York University. Selain itu, juga tampak Prof. Moh. Ali Aziz, M.Ag, UIN Sunan Ampel Surabaya; Dr. Norsahril Saat, ISEAS Singapore; Prof. Abdullah Saeed, Melbourne University; Dr. Ahmad Nur Fuad, MA, UIN Sunan Ampel Surabaya.
Sebagai General Chair IPCIS 2023, Prof. Masdar Hilmy, Ph.D , membeberkan, kegiatan ini menerima sekitar 100 lebih karya dari berbagai negara sebagai representatif dari Asia dan negara-negara lain . Setelah melalui proses review, akhirnya diputuskan untuk menerima sekitar 70 paper yang mana acceptance rate menjadi 50% yang membuat persaingan tahun ini menjadi lebih kompetitif. “Agenda ini merupakan salah satu wujud dari langkah mengintegrasikan keilmuan islam yang juga bagian dari prinsip UINSA,” ucapnya.
Prof. Masdar Hilmy, Ph.D membuka acara tersebut secara resmi pada pukul 09.00 WIB di Amphitheater UINSA dan memberikan sambutan kepada para peserta. “Mari kita tumbuhkan semangat integrasi keilmuan. Bersama-sama kita akan menciptakan inovasi baru dan mendorong batas-batas pengetahuan dan studi islam” ucapnya.
Timothy lindsey memaparkan tema tentang mengenai Islam moderatisme dalam pendidikan di Indonesia. Ia membicarakan pendidikan Islam tradisional yang menekankan pada tradisi dibandingkan inovasi. Tim juga menyoroti lembaga pendidikan tradisional yang membekali siswa dengan ilmu agama namun tidak membekali mereka dengan kecakapan yang diperlukan di masa kini.
Sedangkan Amin Abdullah menyampaikan tentang Islam pogresif dengan mengajak peserta untuk melihat landasan teoritisnya tentang maqashidusy syariah dari kerja-kerja kemanusiaan. “Kemudian pemahaman muslim terhadap maqashidusy syariah yang lama itu penekanannya juga cenderung untuk individu, belum untuk masyarakat apalagi kemanusiaan yang merupakan tingkat pemikiran lebih tinggi. Nilai-nilai paling universal dan mendasar seperti keadilan itu kadang-kadang sulit difahami,” kata Prof. Amin Abdullah.
Pada sesi materi, Prof. Dr. Ismail Fajrie Alatas dari New York University membahas mengenai “Religious Authority” yang merupakan salah satu judul buku yang telah diterbitkan dalam dua bahasa. Dalam paparannya “Islam” menjadi produk dari sebuah praktik atau pekerjaan mengoneksikan Sunnah dengan jamaah. Sumber-sumber Sunnah adalah kehidupan Nabi atau masa lalu kenabian. Tapi, kita semua tidak mempunyai akses terhadap masa lalu itu. Masa lalu itu hanya hadir melalui periwayatan hadis dan memori-memori para sahabat yang pergi dan menetap di tempat-tempat yang berbeda. Saat mereka mengingat masa lalu kenabian itu, interpretasi mereka akan selalu bercampur dengan relevansi di masa dan tempat mereka hidup.
“Yang paling penting untuk kita pahami adalah Sunnah tidak bisa dipisahkan dari jamaah. Artinya, jamaah dan partikularitas dari sebuah jamaah itu membentuk realisasi Sunnah, atau Sunnah yang terealisasi di dalam partikularitas,” jelas Ismail.
Redaksi : Fathiyah Khasanah