INJEKSI ETIKA KE DALAM OTOKRITIK RETORIKA DAKWAH
Sokhi Huda
(Kaprodi KPI, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Ampel Surabaya)
Dakwah, sebagai aktivitas penyebaran ajaran Islam, tidak hanya berfungsi untuk menyampaikan pesan-pesan spiritual-keagamaan tetapi juga memainkan peran besar dalam pembentukan pola pikir masyarakat. Dalam konteks ini, dakwah tidak hanya dilihat sebagai tugas mulia agama tetapi juga sebagai seni komunikasi yang efektif. Akan tetapi dalam perjalanan dakwah yang semakin berkembang, munculnya tantangan-tantangan baru dalam komunikasi sering kali mengundang perhatian tentang dakwah agar dapat disampaikan dengan cara yang lebih baik dan lebih etis. Salah satu cara yang urgen adalah melakukan injeksi etika ke dalam otokritik retorika dakwah. Urgensi ini tampak semakin kuat ketika kita konfirmasikan dengan retorika sejumlah pendakwah terkenal yang dianggap tidak etis oleh publik, misalnya fenomena terbaru “es teh-Gus Miftah.” Hal ini dipandang kontras terhadap idealisme fungsi dakwah tersebut. Karena itulah artikel singkat ini bermaksud membahas pentingnya penerapan etika dalam retorika dakwah. Hal ini diharapkan dapat memperbaiki dan meningkatkan cara kita menyampaikan pesan dakwah agar lebih sehat dan konstruktif.
Pentingnya Etika dalam Dakwah
Etika dakwah merujuk pada prinsip-prinsip moral yang harus dijunjung tinggi dalam setiap kegiatan penyampaian pesan agama. Etika ini mencakup berbagai aspek, mulai dari sikap, cara berbicara, hingga tindakan yang dilakukan oleh para pendakwah. Dakwah yang dilakukan tanpa memperhatikan etika yang baik dapat berpotensi menimbulkan perpecahan, kebingungan, bahkan ketegangan dalam masyarakat. Oleh karena itu, penerapan etika dalam dakwah tidak hanya menjadi kewajiban tetapi juga merupakan bagian dari tanggung jawab moral pendakwah.
Etika dalam dakwah berfungsi untuk menjaga agar pesan yang disampaikan tidak menimbulkan dampak negatif, seperti menyinggung perasaan orang lain, memperburuk hubungan antarindividu atau kelompok, atau bahkan menciptakan polarisasi dalam masyarakat. Sebagai contoh, dakwah yang dilakukan dengan cara menghina orang atau kelompok lain, atau menyebarkan ujaran kebencian bertentangan dengan nilai-nilai etika Islam yang mengajarkan kasih sayang dan penghormatan terhadap sesama.
Seorang pendakwah dapat memperhaatikan etika dakwah yang meliputi: keikhlasan dalam tugas dakwah, penguasaan ilmu dan keterampilan komunikasi, menggunakan pendekatan bijaksana, kesabaran menghadapi penolakan, menjadi teladan dalam perilaku, dan menghindari diskriminasi.
Retorika Dakwah sebagai Seni Berkomunikasi
Retorika dakwah merupakan seni dan ilmu berkomunikasi untuk mempengaruhi, membimbing, dan membangun pemahaman kepada orang lain. Retorika ini dapat berupa ceramah, artikel, atau bentuk komunikasi lainnya yang bertujuan untuk menyampaikan pesan dakwah secara efektif. Retorika dakwah yang kuat akan mampu menarik perhatian audien dan mengubah perspektif mereka sesuai dengan ajaran Islam.
Kenyataannya, dalam retorika dakwah kadangkala terjadi kekeliruan cara penyampaian pesan. Penyampaian yang terlalu keras, tidak sensitif, atau mengandung bias terhadap orang atau kelompok tertentu dapat mengarah ke komunikasi yang tidak konstruktif. Di sinilah pentingnya melakukan otokritik dalam retorika dakwah. Otokritik adalah kemampuan untuk mengevaluasi dan merefleksikan kembali cara kita berkomunikasi, agar pesan dakwah yang disampaikan tetap relevan dan efektif dalam usaha membangun masyarakat yang harmonis dan penuh kasih sayang.
Injeksi Etika ke dalam Otokritik Retorika
Otokritik dalam retorika dakwah menjadi sangat penting ketika kita mempertimbangkan dampak dari penyampaian pesan terhadap audiens. Oleh karena itu, injeksi etika dalam proses otokritik retorika dakwah sangat diperlukan untuk memastikan bahwa pesan yang disampaikan tidak hanya benar dari segi agama, tetapi juga dapat diterima dengan baik oleh audiens yang beragam.
Ada empat tindakan yang dapat dilakukan dalam injeksi etika ke dalam otokritik retorika dakwah, yaitu
1. Menghindari Ujaran Kebencian dan Intoleransi
Dalam proses otokritik retorika dakwah, pendakwah harus menghindari ujaran kebencian dan intoleransi terhadap orang atau kelompok lain. Dakwah yang menceritakan keburukan kelompok tertentu atau memojokkan pandangan agama lain dapat memperburuk situasi sosial dan menciptakan ketegangan. Etika dakwah mengajarkan pentingnya mengedepankan hikmah, nasihat yang baik, dan dialog yang penuh rasa hormat. Ceramah dakwah yang mengandung ujaran kebencian tidak hanya merusak citra agama tetapi juga memperburuk hubungan sosial antarumat beragama.
2. Mengutamakan Empati dan Sensitivitas Sosial
Empati merupakan salah satu kunci komunikasi yang efektif. Dalam retorika dakwah, pendakwah harus mampu melihat dunia dari sudut pandang audiensnya. Dengan memahami kondisi sosial, kultural, dan emosional audiens, dakwah dapat disampaikan dengan cara yang penuh perhatian dan relevan. Sebagai contoh, dakwah tentang kesabaran akan lebih diterima dengan baik jika disampaikan dalam konteks yang sesuai dengan pengalaman dan tantangan hidup audiens, bukan dengan cara yang terasa menggurui.
3. Memperhatikan Konteks Sosial dan Budaya
Konteks sosial dan budaya sangat penting dalam penentuan xara dakwah harus disampaikan. Dalam otokritik retorika dakwah, pendakwah perlu melakukan evaluasi terhadap konteks sosial dan budaya audiens yang mereka sasar. Dakwah yang dilakukan tanpa memperhatikan budaya lokal atau nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dapat terkesan tidak sensitif dan bahkan mengasingkan audiens.
4. Menggunakan Bahasa yang Positif dan Konstruktif
Penyampaian dakwah harus mengedepankan bahasa yang positif dan konstruktif. Hindari penggunaan bahasa yang menuduh, menyalahkan, atau menyerang pihak lain. Sebaliknya, gunakan bahasa yang dapat membangkitkan semangat untuk berbuat baik dan memperbaiki diri. Dengan bahasa yang penuh kasih dan optimisme, dakwah akan lebih mudah diterima dan diapresiasi oleh audiens.
Dakwah yang Membangun Masyarakat Harmonis
Injeksi etika dalam retorika dakwah memiliki dampak positif yang luas, terutama dalam usaha menciptakan masyarakat yang harmonis. Ketika dakwah disampaikan dengan penuh etika dan sensitivitas, pesan yang disampaikan akan membangun pemahaman yang lebih baik antara individu, kelompok, dan agama. Dalam jangka panjang, hal ini akan mengarah pada terciptanya dialog yang konstruktif antarumat beragama, pengurangan konflik, dan peningkatan kualitas kehidupan sosial.
Pendakwah yang mampu melakukan otokritik terhadap retorika dakwahnya akan lebih mampu beradaptasi dengan tantangan zaman dan audiens yang semakin beragam. Melalui dakwah yang berbasis etika, kita dapat menghindari penyebaran informasi yang keliru, memperkuat nilai-nilai moral, serta membentuk umat yang bijaksana, adil, dan saling menghormati.
Muhasabah Dakwah
Injeksi etika ke dalam otokritik retorika dakwah bukan hanya soal menjaga kesopanan atau menghindari kesalahan dalam berkomunikasi tetapi juga merupakan langkah strategis untuk menciptakan dakwah yang relevan, konstruktif, dan mampu membawa kebaikan bagi seluruh lapisan masyarakat. Dakwah yang tidak hanya berdasar pada kebenaran agama tetapi juga etika dalam berkomunikasi akan menghasilkan dampak yang lebih luas dan bertahan lama. Oleh karena itu, penting bagi setiap pendakwah untuk terus melakukan otokritik terhadap cara berkomunikasi dan memastikan bahwa setiap pesan yang disampaikan tidak hanya mengedepankan kebenaran agama tetapi juga mendukung terciptanya masyarakat yang harmonis dan penuh kasih sayang.
Wa Allah a`lam.