Articles

Selama jelang pemilu 2024 hingga usai penyelenggaraan pesta demokrasi lima tahunan itu suara-suara keprihatinan dari berbagai komponen civil society terus menghiasi media. Salah satu pilar civil society yang menyuarakan suara keprihatinan adalah perguruan tinggi. Suara keprihatinan kalangan kampus terhadap kondisi negeri sejatinya sangat dirindukan masyarakat. Sejak lama dunia kampus seperti tertidur, nyaris tidak terdengar. Padahal, sebagai bagian kekuatan civil society perguruan tinggi penting memelopori gerakan moral untuk meluruskan kiblat bangsa.

Dunia kampus dengan sumber daya yang dimiliki tidak boleh hanya berada di menara gading. Sudah seharusnya civitas akademika kampus memfungsikan diri layaknya menara air. Secara simbolik, menara gading berarti tempat menyendiri yang mulia dan menyenangkan. Orang yang berada di menara gading acapkali merasa nyaman dengan kesendiriannya, tanpa memedulikan orang lain. Sebaliknya, terma “menara air” secara filosofis mengajarkan pentingnya memberi manfaat bagi kemanusiaan dan lingkungan. Layaknya sumber kehidupan, dari menara air mengalir air yang menghidupi masyarakat dan lingkungan.

Tanggung Jawab Sosial

Filosofi menara air mengajarkan agar setiap ilmuwan memiliki tanggung jawab sosial. Untuk membumikan ajaran tanggung jawab sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara rasanya civitas akademika kampus penting merenungkan penggalan kisah fisikawan ternama kelahiran Jerman, Albert Einstein. Pada 2 Agustus 1939, dari rumahnya di Long Island, New York, Einstein bersurat pada presiden Amerika Serikat Franklin Delano Roosevelt. Surat itu berisi dorongan agar presiden Amerika memfasilitasi kegiatan penelitian dan pengembangan atom.

Einstein tampak sangat khawatir dengan kepemilikan senjata mematikan berbahan Uranium yang dikembangkan pemimpin baru Nazi sekaligus penguasa Jerman, Adolf Hitler. Presiden Amerika merespon positif surat Einstein dengan membentuk Manhattan Project, sebuah komite pengembangan senjata nuklir. Komite bekerja dengan baik hingga sukses melakukan serangkaian uji coba bom atom pertama pada 16 Juli 1945 di padang pasir New Mexico.

Dengan dalih untuk melumpuhkan perlawanan Jepang, pasukan sekutu pimpinan Amerika menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Einstein sangat terkejut dan menyesalkan insiden itu. Karena proyek pengembangan nuklir yang digagasnya berubah menjadi pabrik senjata atom yang mematikan. Dampaknya, lebih dari 200 ribu orang terbunuh tatkala bom atom dijatuhkan pada 6 dan 9 Agustus 1945. Pengeboman Hiroshima dan Nagasaki juga mengakibatkan kerusakan lingkungan yang dahsyat.

Penggalan kisah Einstein mengajarkan bahwa setiap ilmuwan memiliki tanggung jawab individu dan sosial. Tanggung jawab individu ilmuwan adalah terus-menerus mengembangkan ilmu sesuai bidangnya. Sementara tanggung jawab sosial berkaitan dengan sumbangsih ilmuwan terhadap perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada konteks inilah seruan moral yang digelorakan civitas akademika dari berbagai kampus penting dipahami sebagai bentuk tanggung jawab sosial ilmuwan terhadap kondisi negeri.

Hijrah Menjadi Menara Air

Ilmuwan idealnya tidak boleh hanya berada di menara gading sehingga tidak merasakan denyut nadi kehidupan bermasyarakat. Aktivitas ilmuwan harus berkorelasi dengan kondisi bangsa. Pada konteks inilah ilmuwan penting menjadi menara air. Sebagai menara air, ilmuwan dapat berkontribusi pada pembangunan bangsa. Ilmuwan juga dituntut selalu risau jika kondisi negeri belum sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan para pendiri bangsa.

Dalam kondisi negeri yang sedang berjibun masalah itulah, maka civitas akademika kampus sejatinya dipanggil untuk menunaikan tanggung jawab sosialnya. Julien Benda dalam karya klasiknya: The Betrayal of the Intellectuals (1955), dengan tegas meminta ilmuwan memberikan solusi terhadap persoalan bangsa dan negara. Kaum intelektual yang abai terhadap kondisi bangsa dikatakan Benda layaknya “pengkhianat”. Agar tidak mendapat label “pengkhianat”, maka civitas akademika kampus penting berkontribusi untuk memperbaiki kondisi negeri. Bahkan, jika diperlukan civitas akademika kampus dapat menyampaikan kritik konstruktif pada pemerintah.

Tetapi sangat disayangkan, terkadang nalar kritis yang dikembangkan kaum intelektual terkadang dinilai sebagai ancaman. Padahal, seharusnya semua kritik dijadikan energi positif untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat. Apalagi jika suara-suara kritis itu disertai argumentasi dan data yang valid. Kelompok manapun tidak seharusnya merespon kritik dengan membuat narasi yang kontra produktif. Perang narasi dengan memanfaatkan jasa para pendengung suara (influencer) justru menghadirkan kegaduhan.

Semua pihak penting menyadari bahwa suara-suara kritis, apalagi datang dari akademisi kampus yang nir-kepentingan politik, merupakan bagian dari tanggung jawab sosial ilmuwan. Hal itu merupakan ekspresi hijrah ilmuwan dari menyendiri di menara gading menuju ke tengah-tengah kehidupan untuk menjadi menara air. Yang penting, suara-suara kritis itu disampaikan secara terhormat dan bertanggung jawab.

Nilai-nilai moral akademik kampus pasti tidak membenarkan model kritik bernada menghasut, menghujat, melecehkan, dan jauh dari kebenaran. Semua sikap buruk ini jelas bertentangan dengan filosofi menara air yang selalu menghadirkan kebermanfaatan bagimasyarakat, bangsa dan negara.

[BIYANTO; Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat]