Column

Muhammad Shodiq*

Tradisi dan adat istiadat di Indonesia sangat beragam. Sebagian dari tradisi ini masih asli, sementara yang lain telah berubah karena pengaruh agama.

Salah satu tradisi yang dimasuki adalah Halal Bihalal yang biasa dilakukan setelah lebaran Idul Fitri. Pada dasarnya, tradisi ini muncul dari inisiatif beberapa ulama terdahulu sebagai tradisi untuk mengemban amanah keagamaan, yaitu dalam bentuk silaturahmi.

Tradisi syawalan memiliki hubungan yang kuat dengan budaya dan agama. Pada awalnya, tradisi ini lebih ditujukan untuk berkomunikasi dengan orang lain seiring berjalannya waktu, tetapi kemudian sering digunakan sebagai ajang pertemuan.

Keluarga dalam komunitas muslim, terutama di Jawa, yang menyebut tradisi ini dengan berbagai nama, seperti Syawalan, Ketupatan, Los Raksasa, dan banyak lagi di berbagai daerah. Setelah berkembang menjadi etika keagamaan, tradisinya membantu menciptakan kerukunan masyarakat untuk menjaga stabilitas sosial.

Emile Durkheim dengan Teori Struktural Fungsional berbicara tentang fenomena halal bihalal di Indonesia melalui konsep solidaritas sosial. Durkheim menekankan betapa pentingnya solidaritas sosial untuk mempertahankan kohesi sosial dalam masyarakat.

Dalam tradisi halal bihalal, kebiasaan ini menunjukkan solidaritas sosial yang kuat di antara masyarakat Indonesia.

Saat halal bihalal, orang berkumpul untuk memaafkan satu sama lain dan memperkuat hubungan sosial mereka. Ini mencerminkan solidaritas sosial yang diungkapkan oleh Durkheim, yaitu ketika anggota masyarakat saling terhubung dan bergantung satu sama lain untuk mempertahankan kesatuan sosial. Dalam hal ini, kegiatan halal bihalal membantu memperkuat solidaritas sosial dalam masyarakat Indonesia.

Halal bihalal tetap menjadi tradisi yang berkembang hingga hari ini. Halalbihalal juga berkembang menjadi acara “open house”, di mana orang diundang ke rumah atau instansi untuk bersilaturahmi. Namun, selama pandemi, open house ditiadakan dan Halalbihalal dilakukan secara online.

Halal bihalal adalah tradisi asli Indonesia yang tidak ditemukan di negara lain. Apa sejarah Halal bihalal dan apa artinya?

Makna Halal Bihalal

Halal bihalal, meskipun terdengar seperti berasal dari bahasa Arab, sebenarnya berasal dari kata serapan “halal” dengan sisipan “bi”, yang berarti “dengan” di antara “halal”. Namun, itu bukan berasal dari Arab. Itu adalah tradisi Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia bahkan memasukkan istilah Halal bihalal ke dalamnya. Halal bihalal dalam KBBI berarti meminta maaf setelah berpuasa Ramadan, biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dan sebagainya) oleh sekelompok orang. Halalbihalal juga dapat digunakan untuk bersilaturahmi.

Konsep Halal Bihalal Versi Pertama

Istilah Halalbihalal berasal dari kata “alal behalal” dan “halal behalal”, yang pertama kali muncul dalam kamus Jawa-Belanda Dr. Th. Pigeaud pada tahun 1938.

Alal behalal dalam kamus ini berarti dengan salam (datang, pergi) untuk (memohon maaf atas kesalahan kepada orang tua atau orang lain setelah puasa (Lebaran, Tahun Baru Jawa), sementara halal behalal berarti dengan salam (datang, pergi) untuk (saling memaafkan satu sama lain di waktu Lebaran).

Istilah Halal bihalal berasal dari pedagang martabak India di Taman Sriwedari Solo dari tahun 1935 hingga 1936. Masyarakat Indonesia pada saat itu menganggap martabak sebagai makanan baru. Pedagang martabak, yang dibantu oleh pembantu lokal, kemudian menggunakan frase “martabak Malabar, halal bin halal, halal bin halal” untuk mempromosikan produknya. Istilah “halalbehalal” mulai digunakan oleh orang-orang Solo sejak saat itu.

Istilah ini kemudian digunakan oleh masyarakat untuk menyebut hal-hal seperti pergi ke Sriwedari di hari Lebaran atau bersilaturahmi di hari Lebaran. Kemudian, Halal bihalal berkembang menjadi acara silaturahmi dan bermaaf-maafan saat Lebaran.

Halal bihalal tidak bisa diartikan secara harfiah dan satu persatu antara halal, bi, dan halal. Istilah ‘halal’ berasal dari kata ‘halla’ dalam bahasa Arab, yang mengandung tiga makna, yaitu halal al-habi (benang kusut terurai kembali); halla al-maa (air keruh diendapkan); serta halla as-syai (halal sesuatu).

Ketiga makna Halal bihalal di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa makna halalbihalal adalah kekusutan,kekeruhan atau kesalahan yang selama ini dilakukan dapat dihalalkan kembali. Artinya, semua kesalahan melebur, hilang, dan kembali sedia kala.

Tradisi Halal bihalal Berlangsung Sejak Zaman Mangkunegara I.

Tradisi yang mirip dengan Halalbihalal diperkirakan sudah ada sejak masa Mangkunegara I, juga disebut sebagai Pangeran Sambernyawa. Saat itu, setelah salat Idulfitri, Pangeran Sambernyawa mengadakan pertemuan antara raja dan para punggawa dan prajurit secara bersamaan di balai istana untuk mengurangi waktu, tenaga, pikiran, dan biaya.

Pada pertemuan ini, ada kebiasaan untuk sungkem atau memaafkan satu sama lain. Semua tentara dan punggawa melakukan sungkem dengan tertib kepada raja dan permaisuri. Organisasi Islam kemudian meniru tindakan Pangeran Sambernyawa dengan istilah halal bihalal.

Oleh karenanya tradisi Halal bihalal setelah lebaran ini harus kita lestarikan karena bisa menghubungkan kembali silaturahim yang terputus dan kesalahan yang melebur bisa kembali sedia kala atau dihalalkan kembali. Maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan Ada pula versi panjangnya seperti berikut ini ‘Taqabbalallahu minna wa minkum taqabbal yaa kariim, wa ja’alanaallaahu wa iyyaakum minal ‘aaidin wal faaiziin wal maqbuulin kullu ‘ammin wa antum bi khair’. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1445 H / 2024 M. Mohon Maaf Lahir dan Batin.

*Dosen FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya dan Lebih Populer dengan sebutan Wak Kaji Shodiq serta Pemilik Akun Resmi @Youtube: Wak Kaji Shodiq TV, Instagram: @wakkajishodiq, TikTok: @wakkajishodiq dan SnacVideo: @wakkajishodiq