Upacara tradisional Jawa, dengan serangkaian ritualnya, telah menjadi bagian dari budaya sejak sebelum Islam. Ritus-ritus ini seringkali terkait dengan aspek spiritualitas di mana sebagian orang Jawa masih ada yang percaya pada konsep keberuntungan dan kesialan karena pola interaksi dengan makhluk lainnya. Untuk menjaga keharmonisan dengan alam semesta, mereka melakukan selametan dan memberikan sesaji.
Melaui studi lapangannya di Desa Gajah, Kecamatan Baureno, Kabupaten Bojonegoro, Ailin Mumtaza, mahasiswa Prodi Sejarah Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Sunan Ampel Surabaya, menjumpai bahwa ritual selametan dilakukan dalam berbagai konteks, termasuk menandai siklus kehidupan manusia. Selametan kehamilan, misalnya, dilakukan pada bulan keempat dan ketujuh. Di bulan keempat, ngupati dilakukan ketika roh dipercaya masuk ke dalam janin. Selametan bulan ketujuh, tingkeban atau mitoni dilakukan ketika janin sudah mendekati cukup bulan. Di Desa Gajah, ada tradisi tambahan yang disebut gowoan, dilakukan pada bulan kedelapan atau kesembilan. Tradisi gowoan berakar pada kepercayaan bahwa praktik ini bisa membawa keselamatan. Tujuannya untuk memastikan kelancaran persalinan bagi calon ibu. Dalam tradisi ini, doa-doa dibacakan untuk memohon kepada Allah bagi keselamatan ibu dan bayinya.
Tradisi gowoan biasanya diadakan pada hari Jumat. Acara ini khusus untuk perempuan, yang melibatkan tetangga dekat tuan rumah. Tradisi ini dilakukan dengan menyiapkan hidangan tertentu, seperti nasi dengan kerak, sayur menir, ikan wader goreng, dan sambal. Para peserta duduk di atas tikar, mereka membaca Al-Fatihah, doa selamat dan panjang umur, Setelah doa selesai, beberapa ibu yang duduk di dekat masakan, membantu membungkus semua masakan. Ketika semua ibu telah mendapatkan berkat, mereka belum boleh meninggalkan kediaman tuan rumah terlebih dahulu. Pada saat ini modin akan membawa alu dan tikar yang berukuran kecil keluar rumah dengan membaca Shalawat Nabi.