Rabu, 21 Agustus 2024 Publik diramaikan dengan postingan Lambang Garuda dengan background berwarna biru dan bertuliskan “Peringatan Darurat”. Keramaian tersebut telah membanjiri beragam Media Sosial, baik Instagram, Twiiter bahkan Facebook dan WhatsApp. Bahkan postingan ini telah mencapai jutaan viewer dan menjadi trending di Asia. Banyak orang menanyakan, apakah Indonesia sedang tidak baik-baik saja? Ada apa dengan Indonesia?
Secara faktual, postingan tersebut dilatarbelakangi oleh sejumlah kondisi ketatanegaraan pasca putusan Mahkamah Konstitusi tentang uji materiil Undang-undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang atau sering disebut dengan UU Pilkada.
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024, tanggal 20 Agustus 2024 menafsirkan Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada yang semula mengatur persyaratan ambang batas pengusungan pasangan calon kepala daerah berdasarkan perolehan kursi dan suara di Pemilu DPRD, menjadi berdasarkan perolehan suara sah dalam pemilu pada provinsi/kabupaten/kota berdasarkan rasio jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap, dengan persentase yang setara dengan persentase pada pencalonan perseorangan. Ketentuan tersebut memberikan keadilan dan kesetaraan kompetisi bagi seluruh partai politik, baik yang memperoleh kursi di DPRD maupun yang tidak memperoleh kursi di DPRD, serta membuka peluang hadirnya calon kepala daerah alternatif untuk bertanding melawan dominasi koalisi gemuk. Artinya, Partai atau gabungan partai politik tak lagi harus mengumpulkan 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah untuk mencalonkan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Sekaligus ambang batas pencalonan berada di rentang 6,5 persen hingga 10 persen, tergantung jumlah daftar pemilih tetap (DPT) di daerah tersebut.
Selain itu, pada Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024, tanggal 20 Agustus 2024, MK menegaskan bahwa secara historis, sistematis, praktik selama ini, dan perbandingan dengan pemilihan lainya, syarat usia pencalonan kepala daerah dihitung dari titik sejak penetapan pasangan calon oleh KPU, bukan saat pelantikan pasangan calon terpilih, sebagaimana anomali yang ditetapkan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2024. Artinya, secara kausalitas putusan ini dapat menggulung karpet merah bagi putra Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep untuk mencalonkan sebagai Wakil Gubernur Jawa Tengah yang belum memenuhi syarat usia saat penetapan pasangan calon.
Perlu diketahui, berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU MK, Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).
Ironisnya, tak berselang lama pasca putusan tersebut, Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR RI) melaksanakan rapat kerja untuk membahas serta memberikan persetujuan terkait revisi Undang-Undang Pilkada yang pada subtansi poinya hanya melaksanakan sebagian putusan Mahkamah Konstitusi terkait syarat pencalonan kepala daerah. Publik menilai keputusan yang diambil dalam rapat kerja di Badan Legislasi DPR pada tersebut dianggap sebagai sebuah “pembangkangan” terhadap konstitusi bahkan berpotensi menghasilkan proses “demokrasi palsu” dalam pilkada 2024.
Menyimak hasil rapat kerja pada laman YouTube Baleg DPR RI bahwa salah satu kesepakatan Baleg menyatakan bahwa ambang batas parlemen dalam pilkada hanya berlaku untuk partai yang tidak memiliki kursi di DPRD. Artinya, partai dalam kategori ini dapat mendaftarkan calon gubernur dan calon wakil gubernur dengan syarat yang tidak berkaitan dengan jumlah kursi mereka di DPRD. Ketentuan ini serupa dengan putusan Mahkamah yang diambil satu hari sebelumnya. Meski begitu, Baleg tidak memasukkan dua putusan Mahkamah yang lain dalam Revisi RUU Pilkada. Konsekuensinya, partai maupun koalisi partai yang memiliki kursi di DPRD harus memiliki setidaknya 20% kursi di dewan legislatif daerah atau 25% akumulasi suara di daerah tersebut untuk dapat mengajukan calon kepala daerah. Selain itu, dalam rancangan perubahan UU Pilkada, batas usia paling rendah untuk calon gubernur dan wakil gubernur adalah 30 tahun saat pelantikan. Sementara batas usia terendah kepala daerah di tingkat kabupaten/kota adalah 25 tahun pada saat pelantikan. Syarat batas usia itu tidak sesuai dengan putusan MK sebagaimana diuraikan sebelumnya.
Jika di potret dari suduh pandang hukum ketatanegaraan, sebenarnya putusan MK baik Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 merupakan bentuk jaminan hak konstitusional Parpol. Pertimbangan hukum MK pada putusan a quo apabila dikaitkan dengan permohonan pengujian Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada, kata “atau” dalam Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada pada prinsipnya membuka peluang bagi calon dari partai yang tidak memiliki kursi di DPRD tetapi memiliki akumulasi suara sah, in casu suara 25%. Namun, karena berlakunya norma Pasal 43 ayat (3) UU Pilkada, maka peluang bagi partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD menjadi hilang atau tertutup.
Sebab, pasal tersebut telah menegasikan norma yang telah memberikan alternatif, in casu Pasal 40 ayat (1) UU 10 Tahun 2016. Batasan 25% sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) UU 10 Tahun 2016 adalah akumulasi perolehan suara karena partai politik tetap diakui keabsahannya dan diakui eksistensinya sebagai partai politik menurut Undang-Undang Partai Politik maupun Undang-Undang Pemilu, sampai Pemilu berikutnya sesuai dengan threshold dan persyaratan yang akan ditentukan ke depan oleh pembentuk undang-undang.
Dengan telah dinyatakan Pasal 40 ayat (3) UU 10 Tahun 2016 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, oleh karena keberadaan Pasal a quo merupakan tindak lanjut dari Pasal 40 ayat (1) UU 10 Tahun 2016, maka terhadap hal demikian Mahkamah harus pula menilai konstitusionalitas yang utuh terhadap norma Pasal 40 ayat (1) UU 10 Tahun 2016 a quo, sebagai bagian dari norma yang mengatur mengenai pengusulan pasangan calon. Sebelumnya, Mahkamah telah menyatakan Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sehingga dalam konteks ini, Mahkamah telah menjamin hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang telah memeroleh suara sah dalam pemilu serta dalam upaya menghormati suara rakyat dalam pemilu.
Moh. Bagus, M.H
Dosen dan Peneliti pada Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi (PUSKOLEGIS)
Fakultas Syariah dan Hukum – UIN Sunan Ampel Surabaya