Berita

Dalam rangka memperkuat pemahaman calon guru terhadap keberagaman agama dan budaya, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK) UIN Sunan Ampel Surabaya kembali menyelenggarakan kegiatan Pengenalan Literasi Keagamaan Lintas Budaya, yang menjadi agenda tahunan sejak 2021. Kegiatan yang berlangsung pada 15 Juni 2023 ini diikuti oleh ratusan peserta, terdiri dari mahasiswa Pendidikan Profesi Guru (PPG), dosen pembimbing, dan guru pamong dari berbagai wilayah di Indonesia.

Mengusung tema “Guru Moderat di Era Global: Mengintegrasikan Literasi Keagamaan Lintas Budaya dalam Pembelajaran”, kegiatan ini bertujuan membekali calon guru profesional dengan pemahaman keagamaan yang inklusif, empatik, dan berorientasi pada perdamaian sosial. Literasi keagamaan lintas budaya diposisikan sebagai bagian dari kompetensi pedagogik dan sosial yang wajib dimiliki oleh pendidik di era disrupsi.

Acara dibuka secara resmi oleh Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Prof. Dr. Muhammad Thohir, M.Pd, yang menegaskan pentingnya literasi keagamaan dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk. Dalam sambutannya, beliau menyampaikan bahwa tugas guru tidak lagi sebatas mengajarkan materi, tetapi juga menjaga keharmonisan sosial dan menciptakan ruang belajar yang aman bagi semua identitas. “Kita hidup di negara yang sangat kaya akan perbedaan. Tugas guru bukan hanya mentransfer ilmu, tetapi juga membentuk watak dan karakter yang terbuka terhadap keberagaman. Literasi keagamaan lintas budaya adalah jembatan menuju harmoni,” tegasnya.

Prof. Thohir juga menyampaikan apresiasi terhadap konsistensi kegiatan ini yang telah berjalan sejak 2021, serta kontribusi dosen-dosen FTK yang memiliki pengalaman global dalam memperkaya diskursus dan praktik pembelajaran lintas budaya. Narasumber utama dalam kegiatan tahun 2023 adalah Dr. Siti Asmiyah, M.TESOL, dosen FTK UINSA yang menyelesaikan studi master di Australia. Dalam paparan berjudul “Spiritual Literacy and Cultural Empathy: Lessons from the Field”, beliau membagikan pengalamannya mengajar dan berdialog di lingkungan masyarakat multikultural, serta refleksi akademik mengenai praktik keagamaan yang adaptif dan damai.

Ia membuka sesi dengan kisah pribadinya tentang menjalani kehidupan sebagai Muslimah berhijab di lingkungan sekuler yang terbuka di Australia. Tantangan dan pengalaman itulah yang menurutnya menjadi sumber pembelajaran paling mendalam tentang pentingnya membangun empathy dan respek dalam konteks keberagaman. “Saya belajar bahwa menjadi Muslim tidak berarti menutup diri dari dunia luar. Justru, saya merasa iman saya tumbuh ketika saya dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan yang kritis, dan saya harus menjawabnya dengan ilmu dan kasih sayang,” ungkapnya.

Beliau juga menekankan bahwa pendidikan agama harus lebih dari sekadar hafalan ayat dan hukum; ia harus menyentuh aspek kemanusiaan dan menanamkan kemampuan siswa untuk hidup berdampingan secara damai di tengah perbedaan.

Setelah pemaparan, peserta dibagi ke dalam kelompok kerja untuk mengikuti simulasi pembelajaran berbasis toleransi dan analisis kasus nyata yang terjadi di beberapa sekolah. Setiap kelompok mendapat skenario berbeda, seperti Konflik antar siswa berbeda agama di sekolah negeri, Ketegangan karena penggunaan simbol keagamaan, Diskriminasi terhadap siswa minoritas.

Dari analisis tersebut, peserta diminta menyusun strategi intervensi berbasis pendekatan pendidikan damai. Kegiatan ini mendorong peserta berpikir kritis dan menyadari pentingnya peran guru dalam menciptakan lingkungan sekolah yang inklusif.

Nadia Rahmawati, mahasiswa PPG asal Tulungagung, mengaku sangat terbantu dengan pendekatan praktis ini. “Simulasi tadi membuat saya sadar, kalau saya nanti mengajar di sekolah dengan siswa beragam, saya harus siap dengan kebijakan dan pendekatan yang tepat agar semua siswa merasa aman,” katanya. Selain dialog dan simulasi, kegiatan ini juga menghasilkan produk awal berupa prototipe bahan ajar Pendidikan Agama Islam (PAI) yang mengintegrasikan tema keberagaman dan moderasi. Modul ini disusun oleh tim dosen dan mahasiswa, yang mencakup Rencana pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan lintas budaya, Evaluasi pembelajaran berbasis studi kasus keberagaman, Materi pembelajaran dengan narasi Islam rahmatan lil ‘alamin.

Menurut Ketua Tim Pengembang Modul, Ainun Syarifah, M.Pd.I., modul ini merupakan hasil dari tiga tahun pelaksanaan kegiatan literasi keagamaan lintas budaya yang terus dikembangkan dari tahun ke tahun. “Modul ini bukan hanya kumpulan materi, tetapi hasil refleksi dan praktik yang kami temukan dari diskusi dan pengalaman para peserta. Harapannya, modul ini bisa diterapkan secara nyata di kelas PAI di seluruh Indonesia,” jelasnya.

Pada sesi akhir, kegiatan ini juga meluncurkan inisiatif Forum Alumni Literasi Keagamaan FTK UINSA, yaitu sebuah jejaring alumni PPG yang telah mengikuti kegiatan ini selama tiga tahun berturut-turut. Forum ini akan menjadi ruang berbagi praktik baik, tantangan lapangan, dan pengembangan profesionalisme guru yang berbasis pada nilai-nilai toleransi, inklusi, dan kedamaian.

Forum ini diketuai oleh Ahmad Kurniawan, alumni PPG 2022 yang aktif mengembangkan program toleransi di sekolah tempatnya mengajar. Dalam sambutannya, ia menyampaikan harapannya agar forum ini menjadi motor penggerak guru-guru muda yang berpikiran terbuka dan bertanggung jawab dalam membangun pendidikan yang ramah bagi semua anak bangsa. “Kita butuh komunitas yang mendukung praktik moderat di lapangan. Forum ini adalah tempat kita belajar dari satu sama lain, dan menunjukkan bahwa moderasi bukan slogan, tetapi aksi nyata di ruang kelas,” tuturnya.

Kegiatan Pengenalan Literasi Keagamaan Lintas Budaya tahun 2023 ini menjadi penegasan bahwa UIN Sunan Ampel Surabaya terus berkomitmen menjadi pelopor dalam pendidikan Islam yang progresif, inklusif, dan berorientasi pada peradaban global. Melalui program PPG dan kegiatan literasi ini, kampus mendorong transformasi peran guru menjadi pelaku perubahan sosial.

Dekan FTK, Prof. Muhammad Thohir, dalam penutupan kegiatan menyampaikan refleksi sekaligus tantangan ke depan. “Kita telah memulai gerakan ini sejak 2021. Tahun ini, kita tidak hanya belajar, tapi memproduksi pengetahuan dan menyusun ekosistemnya. Ke depan, kita harus menjadikan literasi keagamaan lintas budaya sebagai bagian integral dari pendidikan guru di seluruh Indonesia,” tegasnya. Ia juga mendorong agar program ini diadopsi oleh kampus-kampus LPTK lainnya, agar pendidikan agama benar-benar menjadi kekuatan rekonsiliatif di tengah masyarakat yang terfragmentasi.